Pendahuluan
Dalam buku Journal of
Islamic Studies yang diterbitkan Universitas Oxford, Universitas alAzhar
Kairo berkali-kali disebutkan sebagai kampus dengan kajian keislaman terbaik,
bahkan dinobatkan sebagai kampus yang paling berpengaruh dalam penyebaran
ajaran keislaman di dunia. Hal ini dikarenakan sistem pembelajarannya yang
masih cenderung autentik dari ratusan tahun yang lalu, yaitu dengan
bermulazamah terhadap seorang guru atau yang dikenal sebagai ‘syekh’ serta
menggunakan kurikulum keilmuan yang sudah disusun sesempurna mungkin oleh para
pendahulu.
Sistem pembelajaran ini kemudian dikenal dengan istilah at-Ta’alum fi al-Jami’ wa al-Jami’ah, tentu istilah tersebut tidak
asing dalam pengetahuan mahasiswa Indonesia di Universitas alAzhar Kairo
(masisir). At-Ta’alum fi al-Jami’
adalah kegiatan belajar-mengajar yang diikuti oleh murid di luar wilayah
kampus, seperti di dalam masjid al-Azhar. Sebaliknya, at-Ta’alum fi al-Jami’ah adalah kegiatan belajar-mengajar para
mahasiswa al-Azhar di dalam kampus pada fakultas dan jurusannya
masing-masing.
Adapun istilah ‘talaqqi’ merujuk kepada proses belajar
masisit terkait suatu ilmu agama tertentu yang dilaksanakan secara face to
face (bertatapan langsung) dengan seorang syekh atau guru, baik di madyafah, masjid, atau tempat lainnya
yang diadakan diluar kegiatan perkuliahan.
Istilah talaqqi dan ta’alum fi
al-jami’ memiliki keterkaitan, yaitu hubungan antara umum dan khusus secara
mutlak (dalam ilmu logika disebut ‘alaqah
baina al-umum wa al-khusus mutlaqan).
Rincinya, semua pembelajaran di dalam masjid al-Azhar
disebut talaqqi, namun tidak semua talaqqi dilaksanakan di masjid al-Azhar.
Walaupun demikian, term talaqqi baru ramai di lingkungan masisir beberapa tahun
belakangan ini, tepatnya pasca wabah Covid-19. Banyak dari madyafah bahkan
sampai lingkungan kekeluargaan membuka talaqqi di berbagai macam keilmuan
Islam.
Tren talaqqi ini tentu disambut dengan respon positif di
lingkungan masisir, tren ini mempermudah masisir dalam meningkatkan wawasan
keilmuan yang mungkin tidak dapat ditemukan di dalam kegiatan belajar selama di
kuliah, atau mungkin menjadi komplemen pengetahuan mereka dalam mencapai level
tertentu pada kajian keislaman. Selain kemudahan fasilitas pembelajaran yang
didapat oleh masisir tersebut, tren talaqqi tetap mendapat spotlight negatif dari beberapa elemen masisir. Misalnya, banyaknya
kegiatan talaqqi yang diadakan di sekitar wilayah Darasah menyebabkan kepadatan
masisir yang bermukim di sana, atau banyaknya talaqqi mengakibatkan penurunan
kualitas moral masisir karena kepadatan tersebut dan berbagai narasi negatif
lainnya.
Dalam esai ini penulis akan berupaya memaparkan bagaimana
dinamika talaqqi dalam lingkungan masisir, mulai dari sejarah petalaqqian
tersebut hingga dampak yang dihasilkan dari fenomena talaqqi ini. Isi dari esai
akan terbagi menjadi 4 pembahasan: Pertama,
sejarah dari fenomena talaqqi hingga dapat ramai seperti saat ini. Kedua, jenis-jenis talaqqi. Ketiga, dampak positif dan negatif dari
tren talaqqi. Keempat, kesimpulan dan
penutup.
Fenomena dan Dinamika Talaqqi: Sebuah Sejarah
Sabtu lalu, tepatnya pada tanggal
26 Oktober 2024, penulis mengunjungi salah satu senior penulis bersama
teman-teman Kajian al-I’jaz Center IKPM Mesir, beliau baru saja menyelesaikan
sidang magisternya beberapa bulan yang lalu. Penulis banyak mendapat insight tentang dinamika masisir
terkhusus dunia pertalaqqian sejak 2010 hingga saat ini. Pada esai ini, penulis
akan banyak mengutip informasi dari hasil kunjungan Kajian al-I’jaz Center
dengan Saudara Saiful Lutfi, Lc., MA.
Sebelum reformasi kedua Mesir,
tempat talaqqi hanya terbatas di dalam masjid al-Azhar, belum ditemukan madyafah hingga sebanyak saat ini,
malahan hanya tersedia satu madyafah di
wilayah Darasah, yaitu Madyafah Syekh Isma’il Shaddiq al-Adawi. Madyafah
tersebut adalah madyafah satu-satunya yang ada pada zaman tersebut.
Implikasinya, dunia pertalaqqian masih jarang digemari oleh para masisir.
Para mahasiswa pada masa tersebut
apabila hendak mengikuti talaqqi di masjid al-Azhar juga tidak bisa serta merta
langsung bergabung duduk di majelis begitu saja, perlu berbagai rangkaian ‘izin
pendaftaran’ dari pihak administrasi masjid, hingga masing-masing mahasiswa
memiliki surat rekomendasi untuk dijadikan syarat bergabung di dalam majelis
talaqqi tersebut.
Setelah terjadi reformasi kedua Mesir, kegiatan keilmuan
dalam lingkungan masjid al-Azhar sedikit diperlonggar, hal ini ditandai dengan
munculnya beberapa madyafah baru seperti madyafah Syekh Imran Dah pada tahun
2016, pada fase ini kegiatan belajar di luar kampus mulai ramai dikenal, dengan
catatan setiap perorangan atau lembaga yang hendak mengadakan sebuah madyafah
dan kajian, maka harus meminta izin kepada pemerintah Mesir. Setiap madyafah
yang didirikan atau kajian yang diadakan tanpa seizin pemerintah, maka kajian
dan madyafah tersebut akan dianggap sebagai tempat ilegal dan siap untuk
dipidanakan.
Meskipun begitu, aturan ini
justru mendapat respon baik dari berbagai pihak, termasuk dari masyayikh al-Azhar, sebab hal ini
menjadi koridor bagi siapapun yang ingin belajar dan sesuai dengan manhaj
al-Azhar yang berlaku, bisa jadi dengan tiadanya aturan ini, ajaran al-Azhar
dapat ‘tersaingi’ dengan berbagai pemikiran dari kelompok yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai al-Azhar as-Syarif.
Kegiatan pertalaqqian di wilayah
Darosah terpaksa tawaquf (berhenti)
dikarenakan wabah Covid-19 sebelum mencapai puncaknya. Tidak hanya itu,
aktivitas perkuliahan tatap muka di kampus juga terpaksa diliburkan demi
memutus penyebaran wabah ini. Baru kemudian di penghujung 2021 hingga permulaan
2022, madyafah-madyafah dan berbagai majelis talaqqi kembali memulai kegiatan
belajarnya bertepatan dengan wabah Covid yang mulai mereda.
Pasca covid dunia pertalaqqian
akhirnya mengalami masa puncak keramaiannya, hal ini ditandai dengan
bervariasinya ragam dars (pelajaran)
yang diselenggarakan oleh madyafahmadyafah tersebut, juga beberapa indikasi
lainnya seperti digitalisasi kajian yang digaungkan oleh berbagai madyafah,
hingga muncul banyaknya madyafah-madyafah baru, seperti Sahah Imam Laits dan
Akademi Imam al-Asy’ari.
Selain itu, banyak dari berbagai
komunitas masisir yang mendirikan rumah binaan dengan tujuan sitematisasi
kurikulum talaqqi dari cabang ilmu keislaman tertentu. Contohnya seperti Rumah Syariah yang mengkhususkan kepada
pembelajaran ilmu fiqih dan beberapa perangkat ilmu pelengkap bagi para
pesertanya, Bait Imam al-Ghazali yang
menargetkan para peserta rumah binaan tersebut agar menguasai cabang ilmu aqliyat, dan Darul Waseela yang mengkhususkan pada bidang tahfidz dan qiraah.
Jika dilihat dari perkembangannya
selama satu dasawarsa ini, dinamika talaqqi mengalami peningkatan yang sangat
progresif, dimana saluran belajar untuk mahasiswa al-Azhar secara umum atau
masisir pada khususnya tidak hanya terbatas pada dunia perkuliahan saja.
Kebutuhan akan talaqqi sudah mempunyai posisi primer dalam paradigma masisir.
Hal ini terbukti, sejak madyafah dan dunia pertalaqqian mulai ramai dikenal,
para masisir ramai berbondong-bondong untuk bermukim di wilayah Darasah dan
sekitarnya, meskipun Darasah dinilai mempunyai sanitasi lingkungan yang buruk.
Jenis-Jenis Talaqqi dan Optimasi Terhadap
Keilmuan Masisir
Sajian dars kajian keislaman yang diadakan oleh madyafah
mengalami berbagai inovasi yang selalu menyesuaikan dengan pasar ‘minat
talaqqi’ mahasiswa al-Azhar secara umum. Pada pembahasan ini, penulis berupaya
mengurai pembagian talaqqi dari berbagai segi, serta bagaimana optimasinya
terhadap kebutuhan keilmuan mahasiswa al-Azhar secara umum dan masisir secara
khusus.
Jika dilihat dari durasi pelaksanaanya, dars dalam talaqqi
dapat dibagi menjadi dua: mukatsaffah
(kilat) dan non-mukatsaffah
(reguler). Mukatsaffah adalah talaqqi
atau dauroh yang diadakan secara intensif dalam jangka waktu tertentu saja,
seperti tiga hari, sebulan, hingga 3 bulan tergantung dengan kitab atau objek
yang dikaji.
Sebaliknya, non-mukatsaffah
adalah dauroh yang dilakukan dalam
jangka waktu lama, seperti dars hadits Imam Bukhori oleh Syekh Yusri al-Gabr
yang diadakan di masjid Dardir, dauroh ini telah selesai tahun lalu setelah
diselenggarakan selama kurang lebih 10 tahun.
Dauroh non-mukatsaffah
biasanya diadakan untuk mengkaji kitab yang memiliki isi yang cukup tebal
sehingga memakan waktu yang lama untuk dikaji, meskipun tidak menutup
kemungkinan ada dauroh yang mengkaji kitab-kitab tebal yang diadakan dalam
waktu yang singkat, seperti majelis qiraah kutubussittah
di masjid Sholeh al-Ja’fari pada tahun 2023 lalu.
Sedangkan dauroh mukatsaffah,
biasa diminati oleh pelajar-pelajar yang baru pertama kali mempelajari objek
kajian tersebut dan pelajar yang sudah mempelajarinya tetapi ingin mereview
kembali wawasan yang telah mereka peroleh dalam kitab tersebut. Salah satu ciri
khas dari jenis dauroh ini adalah syarat mengikutinya yang berbayar, harganya
bervariasi tergantung berapa lama kajian tersebut diselenggarakan.
Meskipun secara kebutuhan kedua jenis dauroh ini saling
melengkapi, tetapi banyak dari masisir yang masih belum bisa
mengoptimalisasikan kedua jenis dauroh ini. Dari mereka ada yang mengharapkan
pengetahuan yang mendalam atau insightful
knowledge dari dauroh kilat, padahal dalam tipe dauroh ini penjelasan
cenderung singkat dan tidak mendalam.
Agaknya kita perlu menegaskan kembali bahwa diantara syarat
menuntut ilmu yang telah dinasihatkan oleh Imam Syafi’I adalah thuluzzaman atau lamanya waktu. Memang
untuk mendalami sebuah cabang ilmu secara advance
tidak cukup dilakukan sekali dua kali talaqqi saja, akan tetapi diperlukan
usaha tambahan seperti membaca kembali, menghafal atau mengikuti dauroh serupa
di lain kesempatan.
Untuk mengoptimalkan kedua jenis dauroh ini diperlukan
pengetahuan basic tentang esensi dan
urgensi dari masing-masing jenis dauroh, hal ini dapat timbul dari kesadaran
masingmasing masisir, atau juga dapat melalui sosialisasi dari berbagai lembaga
keilmuan masisir yang dapat disebarkan melalui postingan informatif di sosial media.
Pembagian talaqqi juga dapat dilihat dari jenis dars atau
talaqqi yang dikaji, dalam pembagian ini tergantung dari segi fann ilmu yang diampu, bisa berupa
ilmu-ilmu syariah seperti: ushulfiqh, fiqih, fiqih muqaran dan tafsir seputar
ayat-ayat hukum. Atau berupa ilmu-ilmu ushuluddin seperti aqidah dan ilmu-ilmu
aqliyat, dan dapat juga berupa ilmu-ilmu seputar kebahasaan arab atau lughah.
Pemanfaatan jenis-jenis talaqqi ini biasanya dilakukan oleh
masisir yang ingin mendapatkan sebuah ilm dari luar jurusannya atau yang tidak
diajarkan di dalam kampus. Pembagian talaqqi berdasarkan fann tersebut juga membantu mahasiswa untuk menentukan level
kesulitan objek dars yang dipelajari, biasanya terbagi menjadi tiga level: mubtadi’ (pemula), mutawasith (menengah), dan muntahi
(keatas).
Optimalisasi pertalaqqian masisir dalam penentuan level di
setiap darsnya sudah berjalan dengan baik, dikarenakan banyak dari
organisasi-organisasi keilmuan, salah satunya seperti ESI (Egypt Student Information) menyantumkan tingkatan level disetiap
dars yang mereka share.
Positif dan Negatif Tren Talaqqi, Suatu
Kemajuan atau Kemunduran?
Setelah pemaparan sejarah dan
dinamika pertalaqqian dan juga pembahasan jenis-jenis talaqqi dari berbagai
segi pembagiannya, kali ini penulis akan berusaha menganalisa bagaimana dampak
yang dihasilkan dari tren talaqqi ini.
Telah diketahui sebelumnya, bahwa
sebelum terjadi reformasi kedua Mesir dunia pertalaqqian tidak seramai
sekarang. Wilayah Darasah hanya dikenal sebagai tempat belajar untuk kuliah
saja. Tidak ada intensi sama sekali dari masisir untuk bermukim di wilayah
Darasah, sebab menurut mereka lingkungan tersebut kumuh dan tidak layak huni.
Pada masa tersebut masisir lebih memilih wilayah yang lebih nyaman untuk dihuni
seperti di Rab’ah dan Hayy Ashir.
Menurut riwayat pengalaman senior penulis, Ust. Saiful
Lutfi, Lc., MA., Masisir yang bermukim di wilayah Darasah hanya sekitar 5 rumah
saja, yang tersebar separuhnya di
Gamaliya dan separuhnya lagi di
Darb al-Ahmar. Baru setelah talaqqi dan madyafah ramai dikenal, masisir mulai
berbondong-bondong untuk memukim di Darasah dengan dalih lebih dekat dengan
lingkungan talaqqi.
Pasalnya setelah tahun 2013,
pertumbuhan jumlah masisir yang bermukim di Darasah tidak pernah mengalami
penurunan, selalu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang disajikan
oleh Kajian Strategis PPMI Mesir 2022 lalu, jumlah masisir yang menempati
Darasah sudah lebih dari 5000 orang. Jikalau kita merujuk kepada data PPLN
Kairo 2023 kemarin, jumlah seluruh masisir seluruhnya yang tercantum sebagai
DPT ada 11209 orang, artinya hampir separuh masisir bertempat tinggal di
Darasah.
Secara anekdotal alasan-alasan
masisir yang lebih memilih bermukim di Darasah dan berdamai dengan kondisi
lingkungan yang kumuh itu adalah agar lebih dengan kampus dan pusat
pertalaqqian. Tentu perkara ini sah-sah saja untuk dijadikan alasan sebuah
tindakan tersebut, sebab memang setiap orang memiliki wasilah tersendiri untuk meraih ilmu. Akan tetapi, bakal menjadi
masalah jika kepadatan ini mempengaruhi pada kualittas hidup masisir, baik
kualitas hidup jasmani seperti kesehatan, atau kualitas hidup rohani seperti
keilmuan, dan kualitas moralitas masisir seperti norma dan tata perilaku
masisir.
Menurut Thomas Malthus dalam
bukunya berjudul An Essay on the
Principle of Population, Ia menjelaskan dampak negatif dari pertumbuhan
populasi yang melebihi kapasitas dukung lingkungan, dapat mengakibatkan
penurunan kualitas hidup dan kelebihan sumber daya. Artinya, jika masisir
Darasah ini sudah dapat dikategorikan dalam permasalahan overpopulated, maka secara teori yang disebutkan oleh Thomas
Malthus tersbut akan timbul permasalahan lainnya seperti penurunan kualitas
hidup.
Terdapat teori lain yang serupa,
dari seorang psikolog asal Perancis bernama Gustave Le Bon yang menulis sebuah
buku bernama The Crowd: A Study of the
Popular Mind, dalam buku tersebut ia mengatakan: "In the midst of a crowd, a man is no longer himself; he is no
longer an individual. He is not the same being he was before." (Di
tengah kerumunan, seseorang tidak lagi menjadi dirinya sendiri; ia tidak lagi
sebagai individu. Ia bukan makhluk yang sama seperti sebelumnya.)
Menurut Le Bon perilaku individu
dapat berubah ketika mereka berada dalam kerumunan. Dalam konteks ini, individu
sering kali kehilangan identitas pribadi dan kontrol diri, yang dapat memicu
perilaku yang tidak biasa atau tidak etis. Tentu saja, teori ini dapat
dibuktikan dengan realitas yang terjadi dalam lingkungan masisir.
Pada tahun 2022 lalu, dunia
masisir dikejutkan dengan sekumpulan masisir yang merokok di area kampus banin.
Atau mungkin contoh lain seperti maraknya penggunaan sarung di luar rumah yang
tentu menabrak dengan nilai norma masyarakat Mesir. Jika merujuk kepada teori
Le Bon, peristiwa ini dapat terjadi karena masisir telah lost control atau kehilangan kontrol diri terhadap mereka. Faktor
keramaian yang dijelaskan oleh Malthus juga termasuk penyebab utama dari
penurunan kualitas masisir dari segi norma ini.
Penulis tidak menafikan berbagai
pengaruh positif dengan maraknya tren talaqqi yang telah ramai belakangan ini.
Beberapa dampak positif sudah penulis urai dalam pembahasan sebelumnya, yaitu
mereka dapat mengeksplorasi berbagai keilmuan yang mungkin belum ditemukan di
lingkungan perkuliahan.
Selain itu, talaqqi dan dars
mulai menjadi suatu reputasi penting di berbagai kekeluargaan, banyak dari
kekeluargaan seperti KSW, KMA, Gamajatim, dan lainnya membuka madrasah khusus
untuk menekuni ilmu-ilmu dasar diniyah dari level mubtadi’. Tentu ini menjadi ajang tren positif karena implikasinya
akan berimbas kepada peningkatan kualitas keilmuan masisir.
Beberapa bulan lalu, KMNTB
berhasil menginisiasi dauroh berjenjang yang diadakan secara kerja sama dengan
pihak al-Azhar. Program ini patut diapresiasi sepenuhnya karena diikuti oleh
masisir secara ramai dan konsisten. Harapannya setiap instansi dari elemen-elemen
masisir seperti kekeluargaan lainnya, almameter atau lembaga lainnya mampu
berinovasi dan turut serta meramaikan tren talaqqi ini.
Tren talaqqi ini juga menyebabkan
masisir menjadi melek literasi, dalam artian, mereka tahu dan mengerti berbagai
literasi keilmuan seputar ilmu-ilmu diniyah, dari ragam kitabnya, tarjamah penulisnya serta corak-corak di
setiap cabang keilmuan, dan asih banyak berbagai pengaruh positif lainnya.
Hemat penulis, talaqqi, dars dan
dauroh sudah menjadi bagian nafas masisir, bagi mereka yang sadar akan
orientasi belajar di al-Azhar as-Syarif, mereka pasti akan mengoptimalkan
kemudahan ini untuk menggapai berbagai wawasan ilmu diniyyah di Mesir, sebab
talaqqi adalah wasilah terbesar untuk menggapai ilmu secara dirayah dan riwayah, suatu ibarah
ushul fiqh mengatakan “Apa yang tidak
dapat dilaksanakan kecuali dengan itu, maka sesuatu itu menjadi wajib.” (maa laa yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa
wajib).
Penutup
Telah diketahui bagaimana
kurikulum atau manhaj belajar di dalam al-Azhar as-Syarif adalah at-ta’alum fi al-jami’ wa al-jami’ah
yang kemudian al-jami’ tersebut
mengalami peluasan makna yang serupa dengan kata talaqqi. Juga telah diketahui
agaiman sejarah dan fenomena talaqqi selama satu dasawarsa ini, serta bagaimana
pengaruh positif dan negatifnya.
Talaqqi telah menjadi penggerak
utama dalam optimasi kualitas keilmuan masisir, akan tetapi, seperti yang telah
diterangkan pada pembahasan sebelumnya, tren ini menimbulkan suatu permasalahan
dari sisi lain yang tidak dipengaruhi secara langsung dari media-media talaqqi
itu sendiri. Titik permasalahannya terdapat pada migrasi besar-besaran ke
distrik Darasah dalam waktu relatif singkat.
Migrasi secara masif ini akhirnya
menimbulkan kepadatan wilayah mukim yang mengakibatkan ancaman terhadap
penurunan kualitas sosial seperti yang dipaparkan dalam penjelasan kedua teori
pakar di atas. Dengan demikian perkara ini tentu harus kita tangani bersama,
agar kebiasaan baik dari semangat keilmuan ini tidak dikotori oleh kebiasaan
buruk dari teman-teman masisir.
Esai ini akan penulis tutup dengan hadis Nabi SAW., Beliau bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah saja.”
Written By: Latif Ivanur Mustofa Alhikam
Komentar