Langsung ke konten utama

Fenomena dan Dinamika Talaqqi: Sebuah Analisa Terhadap Optimasi Keilmuan Masisir






Pendahuluan

Dalam buku Journal of Islamic Studies yang diterbitkan Universitas Oxford, Universitas alAzhar Kairo berkali-kali disebutkan sebagai kampus dengan kajian keislaman terbaik, bahkan dinobatkan sebagai kampus yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran keislaman di dunia. Hal ini dikarenakan sistem pembelajarannya yang masih cenderung autentik dari ratusan tahun yang lalu, yaitu dengan bermulazamah terhadap seorang guru atau yang dikenal sebagai ‘syekh’ serta menggunakan kurikulum keilmuan yang sudah disusun sesempurna mungkin oleh para pendahulu.

Sistem pembelajaran ini kemudian dikenal dengan istilah at-Ta’alum fi al-Jami’ wa al-Jami’ah, tentu istilah tersebut tidak asing dalam pengetahuan mahasiswa Indonesia di Universitas alAzhar Kairo (masisir). At-Ta’alum fi al-Jami’ adalah kegiatan belajar-mengajar yang diikuti oleh murid di luar wilayah kampus, seperti di dalam masjid al-Azhar. Sebaliknya, at-Ta’alum fi al-Jami’ah adalah kegiatan belajar-mengajar para mahasiswa al-Azhar di dalam kampus pada fakultas dan jurusannya masing-masing. 

Adapun istilah ‘talaqqi’ merujuk kepada proses belajar masisit terkait suatu ilmu agama tertentu yang dilaksanakan secara face to face (bertatapan langsung) dengan seorang syekh atau guru, baik di madyafah, masjid, atau tempat lainnya yang diadakan diluar kegiatan perkuliahan.  Istilah talaqqi dan ta’alum fi al-jami’ memiliki keterkaitan, yaitu hubungan antara umum dan khusus secara mutlak (dalam ilmu logika disebut ‘alaqah baina al-umum wa al-khusus mutlaqan). 

Rincinya, semua pembelajaran di dalam masjid al-Azhar disebut talaqqi, namun tidak semua talaqqi dilaksanakan di masjid al-Azhar. Walaupun demikian, term talaqqi baru ramai di lingkungan masisir beberapa tahun belakangan ini, tepatnya pasca wabah Covid-19. Banyak dari madyafah bahkan sampai lingkungan kekeluargaan membuka talaqqi di berbagai macam keilmuan Islam.

Tren talaqqi ini tentu disambut dengan respon positif di lingkungan masisir, tren ini mempermudah masisir dalam meningkatkan wawasan keilmuan yang mungkin tidak dapat ditemukan di dalam kegiatan belajar selama di kuliah, atau mungkin menjadi komplemen pengetahuan mereka dalam mencapai level tertentu pada kajian keislaman. Selain kemudahan fasilitas pembelajaran yang didapat oleh masisir tersebut, tren talaqqi tetap mendapat spotlight negatif dari beberapa elemen masisir. Misalnya, banyaknya kegiatan talaqqi yang diadakan di sekitar wilayah Darasah menyebabkan kepadatan masisir yang bermukim di sana, atau banyaknya talaqqi mengakibatkan penurunan kualitas moral masisir karena kepadatan tersebut dan berbagai narasi negatif lainnya.

Dalam esai ini penulis akan berupaya memaparkan bagaimana dinamika talaqqi dalam lingkungan masisir, mulai dari sejarah petalaqqian tersebut hingga dampak yang dihasilkan dari fenomena talaqqi ini. Isi dari esai akan terbagi menjadi 4 pembahasan: Pertama, sejarah dari fenomena talaqqi hingga dapat ramai seperti saat ini. Kedua, jenis-jenis talaqqi. Ketiga, dampak positif dan negatif dari tren talaqqi. Keempat, kesimpulan dan penutup.


Fenomena dan Dinamika Talaqqi: Sebuah Sejarah

Sabtu lalu, tepatnya pada tanggal 26 Oktober 2024, penulis mengunjungi salah satu senior penulis bersama teman-teman Kajian al-I’jaz Center IKPM Mesir, beliau baru saja menyelesaikan sidang magisternya beberapa bulan yang lalu. Penulis banyak mendapat insight tentang dinamika masisir terkhusus dunia pertalaqqian sejak 2010 hingga saat ini. Pada esai ini, penulis akan banyak mengutip informasi dari hasil kunjungan Kajian al-I’jaz Center dengan Saudara Saiful Lutfi, Lc., MA.

Sebelum reformasi kedua Mesir, tempat talaqqi hanya terbatas di dalam masjid al-Azhar, belum ditemukan madyafah hingga sebanyak saat ini, malahan hanya tersedia satu madyafah di wilayah Darasah, yaitu Madyafah Syekh Isma’il Shaddiq al-Adawi. Madyafah tersebut adalah madyafah satu-satunya yang ada pada zaman tersebut. Implikasinya, dunia pertalaqqian masih jarang digemari oleh para masisir.

Para mahasiswa pada masa tersebut apabila hendak mengikuti talaqqi di masjid al-Azhar juga tidak bisa serta merta langsung bergabung duduk di majelis begitu saja, perlu berbagai rangkaian ‘izin pendaftaran’ dari pihak administrasi masjid, hingga masing-masing mahasiswa memiliki surat rekomendasi untuk dijadikan syarat bergabung di dalam majelis talaqqi tersebut.

Setelah terjadi reformasi kedua Mesir, kegiatan keilmuan dalam lingkungan masjid al-Azhar sedikit diperlonggar, hal ini ditandai dengan munculnya beberapa madyafah baru seperti madyafah Syekh Imran Dah pada tahun 2016, pada fase ini kegiatan belajar di luar kampus mulai ramai dikenal, dengan catatan setiap perorangan atau lembaga yang hendak mengadakan sebuah madyafah dan kajian, maka harus meminta izin kepada pemerintah Mesir. Setiap madyafah yang didirikan atau kajian yang diadakan tanpa seizin pemerintah, maka kajian dan madyafah tersebut akan dianggap sebagai tempat ilegal dan siap untuk dipidanakan.

Meskipun begitu, aturan ini justru mendapat respon baik dari berbagai pihak, termasuk dari masyayikh al-Azhar, sebab hal ini menjadi koridor bagi siapapun yang ingin belajar dan sesuai dengan manhaj al-Azhar yang berlaku, bisa jadi dengan tiadanya aturan ini, ajaran al-Azhar dapat ‘tersaingi’ dengan berbagai pemikiran dari kelompok yang tidak sesuai dengan nilai-nilai al-Azhar as-Syarif.

Kegiatan pertalaqqian di wilayah Darosah terpaksa tawaquf (berhenti) dikarenakan wabah Covid-19 sebelum mencapai puncaknya. Tidak hanya itu, aktivitas perkuliahan tatap muka di kampus juga terpaksa diliburkan demi memutus penyebaran wabah ini. Baru kemudian di penghujung 2021 hingga permulaan 2022, madyafah-madyafah dan berbagai majelis talaqqi kembali memulai kegiatan belajarnya bertepatan dengan wabah Covid yang mulai mereda.

Pasca covid dunia pertalaqqian akhirnya mengalami masa puncak keramaiannya, hal ini ditandai dengan bervariasinya ragam dars (pelajaran) yang diselenggarakan oleh madyafahmadyafah tersebut, juga beberapa indikasi lainnya seperti digitalisasi kajian yang digaungkan oleh berbagai madyafah, hingga muncul banyaknya madyafah-madyafah baru, seperti Sahah Imam Laits dan Akademi Imam al-Asy’ari.

Selain itu, banyak dari berbagai komunitas masisir yang mendirikan rumah binaan dengan tujuan sitematisasi kurikulum talaqqi dari cabang ilmu keislaman tertentu. Contohnya seperti Rumah Syariah yang mengkhususkan kepada pembelajaran ilmu fiqih dan beberapa perangkat ilmu pelengkap bagi para pesertanya, Bait Imam al-Ghazali yang menargetkan para peserta rumah binaan tersebut agar menguasai cabang ilmu aqliyat, dan Darul Waseela yang mengkhususkan pada bidang tahfidz dan qiraah.  

Jika dilihat dari perkembangannya selama satu dasawarsa ini, dinamika talaqqi mengalami peningkatan yang sangat progresif, dimana saluran belajar untuk mahasiswa al-Azhar secara umum atau masisir pada khususnya tidak hanya terbatas pada dunia perkuliahan saja. Kebutuhan akan talaqqi sudah mempunyai posisi primer dalam paradigma masisir. Hal ini terbukti, sejak madyafah dan dunia pertalaqqian mulai ramai dikenal, para masisir ramai berbondong-bondong untuk bermukim di wilayah Darasah dan sekitarnya, meskipun Darasah dinilai mempunyai sanitasi lingkungan yang buruk.


Jenis-Jenis Talaqqi dan Optimasi Terhadap Keilmuan Masisir

Sajian dars kajian keislaman yang diadakan oleh madyafah mengalami berbagai inovasi yang selalu menyesuaikan dengan pasar ‘minat talaqqi’ mahasiswa al-Azhar secara umum. Pada pembahasan ini, penulis berupaya mengurai pembagian talaqqi dari berbagai segi, serta bagaimana optimasinya terhadap kebutuhan keilmuan mahasiswa al-Azhar secara umum dan masisir secara khusus.

Jika dilihat dari durasi pelaksanaanya, dars dalam talaqqi dapat dibagi menjadi dua: mukatsaffah (kilat) dan non-mukatsaffah (reguler). Mukatsaffah adalah talaqqi atau dauroh yang diadakan secara intensif dalam jangka waktu tertentu saja, seperti tiga hari, sebulan, hingga 3 bulan tergantung dengan kitab atau objek yang dikaji. 

Sebaliknya, non-mukatsaffah  adalah dauroh yang dilakukan dalam jangka waktu lama, seperti dars hadits Imam Bukhori oleh Syekh Yusri al-Gabr yang diadakan di masjid Dardir, dauroh ini telah selesai tahun lalu setelah diselenggarakan selama kurang lebih 10 tahun.

Dauroh non-mukatsaffah biasanya diadakan untuk mengkaji kitab yang memiliki isi yang cukup tebal sehingga memakan waktu yang lama untuk dikaji, meskipun tidak menutup kemungkinan ada dauroh yang mengkaji kitab-kitab tebal yang diadakan dalam waktu yang singkat, seperti majelis qiraah kutubussittah di masjid Sholeh al-Ja’fari pada tahun 2023 lalu.

Sedangkan dauroh mukatsaffah, biasa diminati oleh pelajar-pelajar yang baru pertama kali mempelajari objek kajian tersebut dan pelajar yang sudah mempelajarinya tetapi ingin mereview kembali wawasan yang telah mereka peroleh dalam kitab tersebut. Salah satu ciri khas dari jenis dauroh ini adalah syarat mengikutinya yang berbayar, harganya bervariasi tergantung berapa lama kajian tersebut diselenggarakan.

Meskipun secara kebutuhan kedua jenis dauroh ini saling melengkapi, tetapi banyak dari masisir yang masih belum bisa mengoptimalisasikan kedua jenis dauroh ini. Dari mereka ada yang mengharapkan pengetahuan yang mendalam atau insightful knowledge dari dauroh kilat, padahal dalam tipe dauroh ini penjelasan cenderung singkat dan tidak mendalam.

Agaknya kita perlu menegaskan kembali bahwa diantara syarat menuntut ilmu yang telah dinasihatkan oleh Imam Syafi’I adalah thuluzzaman atau lamanya waktu. Memang untuk mendalami sebuah cabang ilmu secara advance tidak cukup dilakukan sekali dua kali talaqqi saja, akan tetapi diperlukan usaha tambahan seperti membaca kembali, menghafal atau mengikuti dauroh serupa di lain kesempatan.

Untuk mengoptimalkan kedua jenis dauroh ini diperlukan pengetahuan basic tentang esensi dan urgensi dari masing-masing jenis dauroh, hal ini dapat timbul dari kesadaran masingmasing masisir, atau juga dapat melalui sosialisasi dari berbagai lembaga keilmuan masisir yang dapat disebarkan melalui postingan informatif di sosial media.

Pembagian talaqqi juga dapat dilihat dari jenis dars atau talaqqi yang dikaji, dalam pembagian ini tergantung dari segi fann ilmu yang diampu, bisa berupa ilmu-ilmu syariah seperti: ushulfiqh, fiqih, fiqih muqaran dan tafsir seputar ayat-ayat hukum. Atau berupa ilmu-ilmu ushuluddin seperti aqidah dan ilmu-ilmu aqliyat, dan dapat juga berupa ilmu-ilmu seputar kebahasaan arab atau lughah.

Pemanfaatan jenis-jenis talaqqi ini biasanya dilakukan oleh masisir yang ingin mendapatkan sebuah ilm dari luar jurusannya atau yang tidak diajarkan di dalam kampus. Pembagian talaqqi berdasarkan fann tersebut juga membantu mahasiswa untuk menentukan level kesulitan objek dars yang dipelajari, biasanya terbagi menjadi tiga level: mubtadi’ (pemula), mutawasith (menengah), dan muntahi (keatas).

Optimalisasi pertalaqqian masisir dalam penentuan level di setiap darsnya sudah berjalan dengan baik, dikarenakan banyak dari organisasi-organisasi keilmuan, salah satunya seperti ESI (Egypt Student Information) menyantumkan tingkatan level disetiap dars yang mereka share.


Positif dan Negatif Tren Talaqqi, Suatu Kemajuan atau Kemunduran?

Setelah pemaparan sejarah dan dinamika pertalaqqian dan juga pembahasan jenis-jenis talaqqi dari berbagai segi pembagiannya, kali ini penulis akan berusaha menganalisa bagaimana dampak yang dihasilkan dari tren talaqqi ini. 

Telah diketahui sebelumnya, bahwa sebelum terjadi reformasi kedua Mesir dunia pertalaqqian tidak seramai sekarang. Wilayah Darasah hanya dikenal sebagai tempat belajar untuk kuliah saja. Tidak ada intensi sama sekali dari masisir untuk bermukim di wilayah Darasah, sebab menurut mereka lingkungan tersebut kumuh dan tidak layak huni. Pada masa tersebut masisir lebih memilih wilayah yang lebih nyaman untuk dihuni seperti di Rab’ah dan Hayy Ashir. 

Menurut riwayat pengalaman senior penulis, Ust. Saiful Lutfi, Lc., MA., Masisir yang bermukim di wilayah Darasah hanya sekitar 5 rumah saja, yang tersebar separuhnya di

Gamaliya dan separuhnya lagi di Darb al-Ahmar. Baru setelah talaqqi dan madyafah ramai dikenal, masisir mulai berbondong-bondong untuk memukim di Darasah dengan dalih lebih dekat dengan lingkungan talaqqi.

Pasalnya setelah tahun 2013, pertumbuhan jumlah masisir yang bermukim di Darasah tidak pernah mengalami penurunan, selalu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang disajikan oleh Kajian Strategis PPMI Mesir 2022 lalu, jumlah masisir yang menempati Darasah sudah lebih dari 5000 orang. Jikalau kita merujuk kepada data PPLN Kairo 2023 kemarin, jumlah seluruh masisir seluruhnya yang tercantum sebagai DPT ada 11209 orang, artinya hampir separuh masisir bertempat tinggal di Darasah. 

Secara anekdotal alasan-alasan masisir yang lebih memilih bermukim di Darasah dan berdamai dengan kondisi lingkungan yang kumuh itu adalah agar lebih dengan kampus dan pusat pertalaqqian. Tentu perkara ini sah-sah saja untuk dijadikan alasan sebuah tindakan tersebut, sebab memang setiap orang memiliki wasilah tersendiri untuk meraih ilmu. Akan tetapi, bakal menjadi masalah jika kepadatan ini mempengaruhi pada kualittas hidup masisir, baik kualitas hidup jasmani seperti kesehatan, atau kualitas hidup rohani seperti keilmuan, dan kualitas moralitas masisir seperti norma dan tata perilaku masisir.

Menurut Thomas Malthus dalam bukunya berjudul An Essay on the Principle of Population, Ia menjelaskan dampak negatif dari pertumbuhan populasi yang melebihi kapasitas dukung lingkungan, dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan kelebihan sumber daya. Artinya, jika masisir Darasah ini sudah dapat dikategorikan dalam permasalahan overpopulated, maka secara teori yang disebutkan oleh Thomas Malthus tersbut akan timbul permasalahan lainnya seperti penurunan kualitas hidup.

Terdapat teori lain yang serupa, dari seorang psikolog asal Perancis bernama Gustave Le Bon yang menulis sebuah buku bernama The Crowd: A Study of the Popular Mind, dalam buku tersebut ia mengatakan: "In the midst of a crowd, a man is no longer himself; he is no longer an individual. He is not the same being he was before." (Di tengah kerumunan, seseorang tidak lagi menjadi dirinya sendiri; ia tidak lagi sebagai individu. Ia bukan makhluk yang sama seperti sebelumnya.)

Menurut Le Bon perilaku individu dapat berubah ketika mereka berada dalam kerumunan. Dalam konteks ini, individu sering kali kehilangan identitas pribadi dan kontrol diri, yang dapat memicu perilaku yang tidak biasa atau tidak etis. Tentu saja, teori ini dapat dibuktikan dengan realitas yang terjadi dalam lingkungan masisir.

Pada tahun 2022 lalu, dunia masisir dikejutkan dengan sekumpulan masisir yang merokok di area kampus banin. Atau mungkin contoh lain seperti maraknya penggunaan sarung di luar rumah yang tentu menabrak dengan nilai norma masyarakat Mesir. Jika merujuk kepada teori Le Bon, peristiwa ini dapat terjadi karena masisir telah lost control atau kehilangan kontrol diri terhadap mereka. Faktor keramaian yang dijelaskan oleh Malthus juga termasuk penyebab utama dari penurunan kualitas masisir dari segi norma ini.

Penulis tidak menafikan berbagai pengaruh positif dengan maraknya tren talaqqi yang telah ramai belakangan ini. Beberapa dampak positif sudah penulis urai dalam pembahasan sebelumnya, yaitu mereka dapat mengeksplorasi berbagai keilmuan yang mungkin belum ditemukan di lingkungan perkuliahan. 

Selain itu, talaqqi dan dars mulai menjadi suatu reputasi penting di berbagai kekeluargaan, banyak dari kekeluargaan seperti KSW, KMA, Gamajatim, dan lainnya membuka madrasah khusus untuk menekuni ilmu-ilmu dasar diniyah dari level mubtadi’. Tentu ini menjadi ajang tren positif karena implikasinya akan berimbas kepada peningkatan kualitas keilmuan masisir.

Beberapa bulan lalu, KMNTB berhasil menginisiasi dauroh berjenjang yang diadakan secara kerja sama dengan pihak al-Azhar. Program ini patut diapresiasi sepenuhnya karena diikuti oleh masisir secara ramai dan konsisten. Harapannya setiap instansi dari elemen-elemen masisir seperti kekeluargaan lainnya, almameter atau lembaga lainnya mampu berinovasi dan turut serta meramaikan tren talaqqi ini.

Tren talaqqi ini juga menyebabkan masisir menjadi melek literasi, dalam artian, mereka tahu dan mengerti berbagai literasi keilmuan seputar ilmu-ilmu diniyah, dari ragam kitabnya, tarjamah penulisnya serta corak-corak di setiap cabang keilmuan, dan asih banyak berbagai pengaruh positif lainnya. 

Hemat penulis, talaqqi, dars dan dauroh sudah menjadi bagian nafas masisir, bagi mereka yang sadar akan orientasi belajar di al-Azhar as-Syarif, mereka pasti akan mengoptimalkan kemudahan ini untuk menggapai berbagai wawasan ilmu diniyyah di Mesir, sebab talaqqi adalah wasilah terbesar untuk menggapai ilmu secara dirayah dan riwayah, suatu ibarah ushul fiqh mengatakan “Apa yang tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan itu, maka sesuatu itu menjadi wajib.” (maa laa yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib).


Penutup

Telah diketahui bagaimana kurikulum atau manhaj belajar di dalam al-Azhar as-Syarif adalah at-ta’alum fi al-jami’ wa al-jami’ah yang kemudian al-jami’ tersebut mengalami peluasan makna yang serupa dengan kata talaqqi. Juga telah diketahui agaiman sejarah dan fenomena talaqqi selama satu dasawarsa ini, serta bagaimana pengaruh positif dan negatifnya.

Talaqqi telah menjadi penggerak utama dalam optimasi kualitas keilmuan masisir, akan tetapi, seperti yang telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya, tren ini menimbulkan suatu permasalahan dari sisi lain yang tidak dipengaruhi secara langsung dari media-media talaqqi itu sendiri. Titik permasalahannya terdapat pada migrasi besar-besaran ke distrik Darasah dalam waktu relatif singkat.

Migrasi secara masif ini akhirnya menimbulkan kepadatan wilayah mukim yang mengakibatkan ancaman terhadap penurunan kualitas sosial seperti yang dipaparkan dalam penjelasan kedua teori pakar di atas. Dengan demikian perkara ini tentu harus kita tangani bersama, agar kebiasaan baik dari semangat keilmuan ini tidak dikotori oleh kebiasaan buruk dari teman-teman masisir.

Esai ini akan penulis tutup dengan hadis Nabi SAW., Beliau bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah saja.” 


Written By: Latif Ivanur Mustofa Alhikam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan p...

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) da...

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent...

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Mege...

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suat...