Universitas Al-Azhar Kairo, merupakan kampus agama tertua yang masih bersinar hingga saat ini. Kampus ini telah mencetak banyak tokoh-tokoh agama ternama mulai dari negara kampus itu sendiri, Mesir, hingga negara-negara lain, bahkan Indonesia. Dengan segudang prestasi yang diraih, sosok Prof. Quraish Shihab menjadi mainpower keberadaaan alumni Al-Azhar dari Indonesia. Beliau banyak diapresiasi dari berbagai kalangan, termasuk tokoh agama internasional seperti Syekh Ahmad Thayyib. Dikisahkan, imam besar dari Al-Azhar itu pernah meminta izin untuk menafsirkan suatu ayat kepada Prof. Quraish Shihab. Sorotan ini berimplikasi pada paradigma masyarakat tentang kualitas kampus Al-Azhar Mesir. Para orang tua kemudian berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya ke kampus yang sama dengan harapan mereka lulus menjadi orang yang sama seperti para alumni sebelumnya. Sayangnya, ekspetasi ini perlu diturunkan karena iklim lingkungan mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir) sudah berbeda dari yang sebelumnya. Pembludakan mahasiswa, masisir overstay, dan minimnya kesadaran masisir dalam menuntut ilmu juga menjadi alasan perubahan iklim lingkungan masisir yang sudah tidak lagi kondusif seperti dahulu. Lantas, bagaimana seharusnya masisir melewati tantangan ini? Apakah masisir sekarang mampu mengembalikan masa keemasannya seperti pada zaman para seniornya?
Untuk menjawab pernyataan diatas, pertama-tama kita perlu mengamini
bahwa kondisi masisir sekarang cenderung mengalami degredasi dari berbagai
segi. Rendahnya kualitas keilmuan merupakan penurunan yang paling tampak dan measurable.
Banyaknya jumlah masisir yang tidak lulus tepat waktu, adanya bimbingan belajar
setiap ujian dan rendahnya minat baca masisir menjadi parameter degredasi ini.
Artinya, penurunan ini suatu hal yang absolut dan tidak perlu lagi
memperdebatkan pernyataan ini.
Kedua, kita harus sepakat kenaikan kuantitas masisir bertambah sangat
drastis. Menurut data dari PPLN Kairo, jumlah masisir yang menjadi daftar
pemilih tetap sebanyak 11209 orang[1].
Angka ini sayangnya bukan rekapitulasi mutlak jumlah masisir, karena beberapa
variabel seperti pelajar ma’had di bawah umur, pemilih sementara dan pemilih di
luar Kairo tidak dihitung. Terlepas dari itu, peningkatan jumlah masisir sangat
impulsif dan berdampak banyak bagi konstruktif sosial-budaya masisir, mulai
dari padatnya pengurusan administrasi kuliah dan izin tinggal, peningkatan
angka pelanggaran masisir baik dari masalah sosial maupun moral dan naiknya
jumlah kriminalitas yang berkorban kepada masisir. Tentu akar dari semua ini
adalah kuantitas masisir yang kian bertambah.
Terakhir, kita juga harus sepakat perubahan iklim masisir ini
adalah tanggung jawab kita bersama, tak hanya sebagai objek permasalahan,
masisir juga perlu menjadi subjek pembaharuan. Jadi, tidak perlu saling
menuding bahwa ini adalah tanggung jawab pihak tertentu, seperti Kemenag, OIAA,
PPMI, senat, dan lain sebagainya. Kita perlu membangun kesadaran kolektif agar
dapat bersinergi dalam membangun kualitas masisir yang lebih baik, karena siapa
lagi yang akan mengetahui realitas keadaan mahasiswa Indonesia di Mesir kalau
bukan masisir itu sendiri?
Setelah menyamakan perspeksi dengan menyetujui premis-premis di
atas, beranjak kepada pertanyaan “Apakah masisir dapat mengembalikan masa
gemilang seperti sebelumnya, dan bagaimana masisir menghadapi tantangan ini?”
Tentu pertanyaan ini dengan mudah dapat dijawab dengan kata “bisa”. Karena
eksistensi dari setiap sesuatu memiliki bentuk oponen dari sesuatu tersebut[2],
maka pertanyaan atau permasalahan ini pasti mempunyai jawaban berupa solusi.
Walaupun masalah ini sangat kompleks, sebagai penuntut ilmu agama kita tetap
perlu memandangnya dengan kacamata optimis dan penuh semangat agar tetap
tersambung dari rahmat Tuhan[3],
karena hanya dengan kehendaknya segala sesuatu dapat berubah[4].
Sekali lagi, semua rangkaian solusi dari opini penulis nanti akan
bermuara sia-sia apabila seluruh elemen masisir tidak bersinergi dan tidak
didasari atas kesadaran bersama. Sebab, syarat utama dari penegakan agama
adalah tidak separatis atau tidak berpecah belah[5].
Kebersamaan juga menjadi determinasi dalam memperoleh perubahan nasib dari
Tuhan untuk suatu kaum ataupun komunitas[6].
Islam juga memberikan status penting kebersamaan semacam memberikan pahala
sholat berjamaah sebanyak 27 kali lipat dibanding sholat sendiri. Dari sini,
kesadaran kolektif menjadi kunci penting sebelum langkah penyelesaian
selanjutnya. Secara pribadi, kita dapat mengajak orang-orang di sekitar kita
untuk bersama-sama memberi kesadaran akan memikul tanggung jawab besar ini, yang
dapat diimplementasikan mulai dari komunitas terkecil kita seperti anggota
rumah, almameter, atau teman terdekat masing-masing.
Langkah saling menyadarkan juga perlu dilakukan oleh
organisasi-organisasi di lingkungan masisir. PPMI Mesir dengan GBHO[7]
yang dimilikinya sebaiknya difokuskan kembali agar berujung kepada penyelesaian
yang solutif. Sebagai perwakilan masisir, PPMI Mesir sebaiknya mendesak
pihak-pihak terkait yang dapat berwenang dalam upaya peningkatan kualitas
masisir. Kemenag contohnya, PPMI Mesir dapat merekomendasikan kepada kemenag
agar kualifikasi calon mahasiswa baru dapat ditingkatkan, atau merekomendasikan
limitasi gerbang penerimaan camaba hanya dari Kemenag. Memang keduanya belum
pasti menjadi solusi pamungkas yang dapat Kemenag lakukan, sehingga perkara ini
dapat dikaji kembali oleh PPMI Mesir dan Kemenag.
Setelah membangun kesadaran secara personal dan kolektif, prosedur
selanjutnya adalah saling bekerja sama dengan mengambil peran masing-masing. Apalah
arti kesadaran yang kemudian tidak dilanjutkan dengan langkah aktif bersama,
atau apalah arti kesadaran bersama yang tidak diteruskan dengan eksekusi
sinergis dari seluruh elemen masisir, sehingga langkah aktif harus dihentakkan
secara komperehensif. Rangkaian langkah atau cara tidak mesti satu warna,
masing-masing personal atau kelompok dapat mengambil perannya masing-masing,
tetapi dengan visi atau perspektif yang sama. Karena masing-masing dari kita
adalah leader dan bertanggung jawab dengan kepemimpinannya masing-masing[8].
Untuk itu, setiap elemen masisir dapat membantu mengembangkan nilai atau
kualitas masisir sesuai caranya masing-masing. Bagi organisasi senat dapat
mempertahankan atau bahkan meningkatkan proker keilmuannya. Bagi rumah binaan,
mungkin dapat meningkatkan kuota penerimaan anggota. Kekeluargaan pun menjadi
pemeran penting dalam mengontrol warganya agar sesuai dengan koridor keilmuan
yang diharapkan, contoh baik timbul dari beberapa kekeluargaan misalnya KMA
(Keluarga Mahasiswa Aceh), di sana mahasiswa
baru diwajibkan untuk mengambil takhosus keilmuan yang berbentuk seperti
halaqah selama setahun atau dua tahun. Atau lembaga-lembaga kemasisiran lain
yang pasti dapat mengambil peran masing-masing dalam meningkatkan kualitas
masisir.
Meski secara lahir langkah-langkah yang dilakukan terkesan bergerak
sendiri, setiap elemen perlu menanamkan rasa kebersamaan dengan saling bekerja
sama. Islam telah memberikan anjuran penting kebersamaan dalam kebaikan dan
melarang kebersamaan dalam segala hal yang nir manfaat[9].
Ibarat pesawat, seluruh komponen pesawat saling merangkai dan membantu pesawat agar
dapat terbang. Islam pun memberikan penggambaran unik bahwa seluruh pemeluknya
seperti satu rangkaian badan[10].
Untuk itu, kebersamaan menjadi nilai terpenting dalam mengambil langkah solutif
demi peningkatan kualitas masisir.
Kebersamaan perlu diterapkan dalam melakukan evaluasi bersama, atau
biasa dikenal saling mengingatkan dan menasihati. Pada hakikatnya seluruh orang
islam bersaudara, dan diperintahkan untuk berkonsolidasi antar sesama yang
berselisih[11]. Jika maksud
ikatan ini adalah persaudaraan keseluruhan umat muslim, maka
komunitas-komunitas kecil di dalamnya secara lazim juga termasuk, karena setiap
keseluruhan atau entirety mencakup semua komponen di dalamnya[12]
Dengan ini secara lazim berimbas kepada ranah masisir, atau lebih jelasnya,
komunitas masisir adalah bagian dari ikatan persaudaraan antar muslim itu
sendiri,
Secara garis besar, penyelesaian hanya terfokus pada kesadaran dan
peran aktif bersama, mengingat permasalahan ini sangat kompleks dan
komperehensif, pastinya restorasi taraf masisir tidak dapat diselesaikan dengan
instan, butuh langkah yang progresif serta berkelanjutan. Progresif berarti
berkemajuan, naik, dan meningkat. Sedangkan berkelanjutan berarti kontinu,
estafet, terus-menerus. Apalah arti perubahan ke arah lebih baik jika trend ini
hanya ramai diperbincangkan 1-2 bulan saja, pun, apalah arti perubahan apabila
permasalahan ini tidak diselesaikan dengan solutif? Maka langkah-langkah
penyelesaian harus progresif dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, apa yang terjadi di lingkungan masisir ini bukan
berarti hari kiamat bagi penuntut ilmu agama atau bagi masisir itu sendiri.
Melihat realita sebenarnya, masih banyak masisir yang memiliki minat tinggi di
bidang keilmuan, masih banyak masisir yang berhasil menjaga keseimbangannya
sehingga memiliki tingkat keilmuan seperti yang diharapkan, madyafah
atau sanggar pengajian juga masih banyak diminati bahkan didominasi oleh
pelajar dari Indonesia, sampai-sampai ada mahasiswa yang mendirikan sanggar
pengajian sendiri, Madrasah Imam Laits misalnya. Semua ini sangat layak
diapresiasi dan perlu ditingkatkan oleh kita sebagai objek dan subjek
pengembangan masisir. Untuk itu, mari kita pahami bersama bahwa peristiwa ini
hanya sebatas menjadi stimulan untuk evaluasi bersama, agar jargon yang selama
ini kita gaungkan tidak terkubur dalam kesibukan kita. Al-Qahiratu In Lam
Taqharha Qaharatka.
Latif Ivanur Mustofa Al-Hikam
[1]
Data diambil dari hasil rekapitulasi DPT oleh PPLN Kairo tahun 2023.
[2]
Kaidah mantiq berbunyi "تحقق الشيء يتحقق بضده"
sebagai contoh: adanya baik melazimkan adanya jahat, adanya kanan melazimkan
adanya kiri, dan lain sebagainya.
[3]
QS. Az-Zumar: 53
[4]
QS. Hud: 107
[5]
QS. Asy-Syura: 13
[6]
QS. Ar-Ra’d: 11
[7]
Garis Besar Halauan Organisasi, berisi tugas-tugas besar PPMI yang harus
diselesaikan dalam kurun waktu tertentu.
[8]
HR. Bukhari 7138
[9]
QS. Al-Maidah: 2
[10]
HR. Muslim 2586
[11]
QS. Al-Hujurat: 10
[12]
Kaidah mantiq yang berbunyi "الكل حكمنا على
المجموع"
Komentar