DINAMIKA MAHASISWA INDONESIA DI MESIR; KOMBINASI MENARIK ANTARA TANTANGAN DAN POTENSI DALAM MEMBANGUN BUDAYA INTELEKTUAL DI ZAMAN MODERN
Dasawarsa terakhir ini, angka
pertumbuhan mahasiswa Indonesia di Mesir (yang selanjutnya akan disingkat
Masisir) mengalami pertumbuhan kuantitas yang sangat signifikan. Hal tersebut
sebagaimana yang dikemukakan oleh K. H Ma’ruf Amin ketika menyambut kunjungan
kehormatan Wakil Grand Syekh (Imam Besar) Al-Azhar Kairo, Mesir,
Mohammed Abdel Rahman Ad Duweiny pada hari Jumat, 21 Juni 2024. Beliau
mengungkapkan “Saat ini jumlah pelajar Indonesia di Al-Azhar telah mencapai
15 Ribu orang. Tingginya angka tersebut menjadi indikator dari tingginya minat
mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan study di instansi tersebut”.[1]
Selain karena Universitas Al-Azhar merupakan qiblat al-Ilmi
(Kiblatnya Ilmu) umat
Islam, keberhasilan para alumni dalam menanamkan nilai-nilai Azhari di tanah
air, dan banyaknya kuota yang mencapai kurang lebih 800 mahasiswa per tahun menjadi faktor utama dari meningkatnya angka
pertumbuhan Masisir.[2]
Laksana dua sisi mata uang yang saling berdampingan, tingginya angka Masisir
saat ini yang disertai dengan percepatan globalisasi,
perkembangan teknologi, dan transformasi sosial yang mendalam seakan menjadi
tantangan yang sangat kompleks untuk dipecahkan. Kalaulah hal tersebut tidak mendapatkan
perhatian yang lebih untuk diselesaikan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa
Masisir di zaman modern ini akan terjerumus ke dalam jurang degradasi
intelektual dalam skala yang besar.
Sebagai respon terhadap fenomena di atas, di dalam
opini sederhana ini penulis akan menyajikan dinamika aktual yang terjadi
akhir-akhir ini di kalangan Masisir “Dari sudut pandang yang berbeda dari
biasanya dan belum pernah ada sebelumnya”. Penulis juga akan mencoba
menganalisis bagaimana proses ini mempengaruhi budaya intelektual Masisir di
zaman modern. Penulis juga akan menyoroti tantangan dan peluang yang akan dihadapi
beserta strategi-strategi fundamental yang diharapkan bisa membantu dalam upaya
menciptakan Azhari dan Azhariyah yang kelak akan menjadi pemimpin global di
masa yang akan datang dan akan menjadi penerus dari ulama-ulama yang ada pada
saat ini.
Dinamika
dan Tantangan
Dinamika Masisir di zaman modern menunjukan kombinasi
yang menarik antara tantangan dan potensi. Di satu sisi, Masisir di zaman
modern dipaksa untuk beradaptasi dengan budaya dan culture lingkungan
setempat, yang dalam hal ini penulis
kira dinamika mengenai adaptasi culture dan budaya sudah semakin
kompleks jika dibandingkan dengan beberapa puluh tahun ke belakang. Tingginya
angka mahasiswa dalam dasawarsa terakhir ini dan serba mudahnya akses terhadap
sesuatu karena dibantu oleh canggihnya teknologi, sedikit banyaknya sangat
berpengaruh terhadap adaptasi dari mahasiswa itu sendiri. Implikasi dari hal
tersebut adalah sulitnya melepaskan budaya dan culture asal di
lingkungan yang baru.
Kalaulah Masisir mau merujuk kepada cara beradaptasi
yang ideal dan efektif, maka cara pertama yang harus dilakukan adalah tidak
membawa budaya dan culture lingkungan asal ke tempat yang baru yang
dalam hal ini adalah ke Mesir. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Devinta, Hidayah & Hendrastomo yang dikutip oleh Patawari dalam jurnalnya, bahwasanya ketika sudah memasuki
budaya dan lingkungan yang baru, maka semua petunjuk (Cues) dan pegangan
tentang budaya asal harus ditinggalkan. Dan kalaulah hal ini tidak
diaktualisasikan, maka hal ini akan berdampak pada keterhambatan peningkatan
kemampuan berbahasa atau berkomunikasi dengan warga setempat.[3]
dan salah satu indikator ketidakberhasilan beradaptasi adalah tidak adanya
kemampuan linguistik yang menempel dalam diri Masisir.
Ketika disuguhkan realita seperti di
atas, yang harus pertama kali kita teliti untuk memecahkan masalah tersebut
adalah mencari akar masalah dari permasalahan yang ada. Dalam hal ini, dinamika
tersebut bermuara kepada 2 hal. Pertama adalah tingginya angka Masisir yang
berpengaruh terhadap adaptasi culture dan budaya. Dan yang kedua adalah
pesatnya perkembangan zaman yang menjadikan masalah pertama semakin kompleks.
Selain berimpact pada
kemampuan linguistik Masisir di zaman modern, kesulitan adaptasi tentang budaya
dan culture juga akan berimpact kepada kemerosotan aspek intelektual
dari Masisir itu sendiri. Karena pada dasarnya, bahasa Arablah yang dijadikan
bahasa pengantar dalam proses transfer ilmu pengetahuan dari para masyaikh
kepada para mahasiswa, baik itu dalam instansi resmi yang berada di dalam
kampus ataupun di madyafah-madyafah tempat para masyaikh
memberikan ilmunya.
Apakah
hanya sebatas itu impact yang akan diterima oleh Masisir apabila Masisir
di zaman modern ini gagal dalam beradaptasi dengan culture dan budaya
karena disebabkan oleh tingginya angka Masisir? Tentu tidak, jika ditarik lebih
jauh, gagalnya adaptasi mengenai budaya dan culture akan sangat berpengaruh
terhadap psikis dan mental. Hal tersebut selaras dengan apa yang
dituliskan Dayaksini dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Lintas Budaya bahwasanya keterbatasan
bahasa mengakibatkan putusnya komunikasi
antar pribadi dan hal ini akan mengarahkan pada frustasi, kecemasan, serta
krisis identitas yang memaksa seseorang kembali mengevaluasi gambaran tentang
dirinya yang akan memperparah gejala gegar budaya[4].[5]
Itulah analisis sederhana dari
tantangan pertama yang sepaket dengan dampak yang dihasilkan mengenai tingginya
angka Masisir di zaman modern. Beralih pada tantangan kedua yang harus dilalui
oleh Masisir di zaman modern dalam mempertahankan warisan dan budaya
intelektual para alumni Al-Azhar yaitu mengenai pesatnya perkembangan zaman.
Pesatnya
perkembangan zaman yang ditandai dengan percepatan globalisasi dan pesatnya
perkembangan teknologi, hal tersebut berhasil menjadikan manusia sebagai budak
dari teknologi itu sendiri[6]. Kebiasaan
berlama-lama dalam memainkan gadget seakan menjadi bukti nyata nyata
bahawasanya teknologi berhasil membius Masisir di zaman modern. Implikasi dari
hal tersebut adalah tersebut adalah mampu mengalihkan orientasi Masisir yang
notabene nya adalah memberikan porsi lebih kepada waktu untuk belajar guna
membangun budaya intelektual yang tajam, tetapi kenyataannya malah dihabiskan
dengan hal yang tidak bermanfaat dalam penggunaan gadget tersebut.
Lebih jauh dari itu, lunturnya
solidaritas, kebersamaan, silaturahmi, dan ketergantungan lebih terhadap
teknologi, adalah dampak yang ditimbulkan dari pesatnya perkembangan zaman yang
akan berpengaruh terhadap budaya intelektual apabila tidak disikapinya dengan
baik. Lantas, apakah kedua sumber masalah tadi hanya akan membawa Masisir di
zaman modern ini kepada keterbelakangan? Tentu saja jawabannya “TIDAK”,
melihat, ada banyak sekali potensi yang bisa digali lebih dalam dari kedua hal
tersebut.
Dinamika
dan Potensi
Jika sub pembahasan di atas berbicara tentang sisi dinamika
dan tantangan, maka untuk menyempurnakan sisi yang lain agar terlihat seperti
halnya nilai mata uang, penulis juga akan menyajikan beberapa potensi besar
yang bisa diperoleh dari tingginya angka Masisir di Zaman modern. Karena bukan
sebuah kemustahilan untuk menyetarakan kuantitas yang banyak dengan kualitas
yang sempurna.
Potensi pertama apabila Masisir di zaman modern ini
berhasil beradaptasi dengan culture dan budaya setempat, maka hal ini tidak
hanya akan membantu pada aspek intelektual yang meliputi pembelajaran, baik itu
pembelajaran di kuliah ataupun di tempat-tempat talaqqi lainnya. Tetapi keberhasilan
dari adaptasi yang beragam itu juga akan menjadi modal utama dalam
mempertahankan eksistensi alumni dalam membangun agama juga negara. Tokoh-tokoh seperti HAMKA, Quraish
Shihab, Raden Fathul Rahman Kafrawi, Djanan Thaib, Muhammad Rasjidi, Kahar
Muzakkir, Harun Nasution, Fuad Fachrudin, Yusuf Saad dan Abdurrahman Wahid
merupakan gambaran alumni yang berhasil beradaptasi dengan culture dan
budaya Mesir yang buah dari keberhasilan itu adalah sukses menyebarkan
nilai-nilai Azhari nya di tanah air.[7] Kiranya nama-nama besar di atas
bisa menjadi bahan refleksi dan pecutan semangat bagi Masisir di zaman modern
untuk bisa lebih menguatkan tekad dalam membangun budaya intelektual yang
tajam.
Selain itu, banyaknya angka Masisir di zaman modern juga
bisa menjadi sarana untuk memperkaya perspektif global mereka, memungkinkan
pertukaran budaya yang berharga, memperluas jaringan profesional di tingkat
internasional, memperkuat identitas Masisir sebagai bagian dari komunitas
mahasiswa internasional , dan hal yang paling jauh nya adalah bisa berperan
penting dalam mempertahankan hubungan bilateral antara Indonesia dan Mesir
melalui berbagai inisiatif yang dilakukan bersama dengan mahasiswa dari negara
lain.
Hal tersebut akan jauh lebih sempurna jika Masisir di
zaman modern ini mampu dengan bijak menyikapi perkembangan zaman dan mampu
mengoperasikan teknologi yang berkembang sehingga bisa mencetak Masisir yang
berkualitas di berbagai sektor. Bijak dan kompeten dalam menggunakan teknologi
merupakan langkah awal yang harus dikuasai di zaman modern dalam Upaya membangun
budaya intelektual ke arah yang lebih tajam. Karena pada dasarnya, kemajuan
teknologi adalah salah satu hal yang yang sudah tidak lagi dapat dihindari
dalam kehidupan di zaman modern ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan
sesuai dengan kemajuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hemat penulis,
kemajuan teknologi saat ini benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan
banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia.
Strategi-strategi
Penting
Mempertahankan
keberhasilan alumni dalam menyebarkan nilai azhariyah di tanah air dan membangun
budaya intelektual yang tajam di zaman modern, tentu ini bukan merupakan suatu
hal yang mudah. Terlebih, menyeimbangkan antara kuantitas yang banyak dan
kualitas yang sempurna di zaman modern menjadikan keduanya lebih kompleks. Untuk itu, perlu diadakan
strategi-strategi yang rasional, visioner, dan relevan dengan keadaan masisir
di zaman modern ini. Adapun strategi-strategi yang bisa diaplikasikan di zaman
modern ini, di antaranya:
Pertama: Penguatan subjek internal Masisir.
Sudah menjadi barang yang pasti Ketika kita ingin merubah tatanan fundamental
seperti merubah budaya intelektual ke arah yang lebih berkualitas, maka yang
harus pertama kali dijaga dan diperbaiki adalah subjeknya itu sendiri. Ada dua
hal penting yang harus tetap dipupuk untuk menjaga budaya intelektual yang tajam
di zaman modern, yaitu akal dan hati. Kenapa hati dan akal? Logikanya
sederhana, segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia itu bermuara pada akal
dan hatinya. Apabila hati dan akalnya beres, maka beres pula seluruh urusanya.
Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw bahwasanya seluruh
perbuatan itu bermuara kepada hati.[8]
Hati yang dipenuhi dengan semangat, kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik
dan keyakinan terhadap agama dan kebermanfaatan, juga akal yang tajam dalam
mengidentifikasi segala sesuatu akan mampu mempertahankan eksistensi alumni
dalam menyebarkan nilai azhariyah nya di tanah air, juga merupakan langkah awal
untuk menyukseskan semua potensi yang telah disebutkan di atas.
Kedua: Mengadakan
Pembinaan yang masif dalam jangka Panjang yang melibatkan seluruh elemen yang
ada di kalangan Masisir. Penting kiranya strategi kedua ini dilakukan sebagai
bentuk follow up dari strategi pertama. KBRI, PPMI, Kekeluargaan, Senat,
dan Afiliatif semuanya harus mempunyai satu visi yang sama yaitu meningkatkan
kualitas masisir yang meliputi moral, intelektual, dan spiritual. Tanpa adanya
kolaborasi dari semua elemen, maka hal ini akan sangat sulit untuk
diaktualisasikan.
Ketiga: Menciptakan
lingkungan yang kritis dan konstruktif tentang kemajuan bangsa, agama, dan
negara. Setelah diadakan pembinaan, dukungan lingkungan akan sangat berpengaruh
terhadap penguatan keberhasilan maksud tersebut. Bentuk konkret dari strategi
ketiga ini adalah mengajarkan keterampilan berpikir kritis, evaluasi informasi,
kebebasan berpendapat, diskusi kritis dengan cara mengadakan forum diskusi
terbuka dan bisa juga melalui metode debat ilmiah. Hal ini dapat membantu
Masisir di zaman modern dalam mempertahankan budaya intelektual yang terbuka
dan dinamis.
Keempat: Kolaborasi
antar generasi. Strategi keempat ini mendorong pertukaran pengetahuan dan
pengalaman antar generasi yang berbeda melalui program mentorship dan kegiatan
intergenerasional. Strategi ini juga mampu menjadi wasilah untuk lebih menguatkan
networking satu sama lain.
Kelima: Memaksimalkan
perkembangan teknologi. Teknologi akan berperan sangat penting dalam kehidupan
manusia di zaman modern ini jika disikapinya dengan bijak. Media sosial dan Artificial
Intelligence (AI) adalah dua diantara contoh teknologi yang bisa
dimanfaatkan oleh Masisir untuk membentuk dan mempertahankan budaya intelektual
yang tajam. Penyebaran edukasi yang konsisten berupa poster, tulisan, dan
hal-hal yang membangun lainya akan sangat berdampak terhadap perkembangan
Masisir di zaman modern. Pemaksimalan penggunaan AI juga akan sangat membantu
kehidupan manusia di zaman modern. Untuk itu, diperlukan adanya kesadaran
Masisir di zaman modern untuk lebih bijak dalam memaksimalkan teknologi, supaya
menghilangkan stigma bahwa manusia di zaman modern merupakan budak dari
teknologi.
Sebagai
penutup, penulis ingin menegaskan bahwa orientasi kelima strategi ini tidak
boleh dipandang sebelah mata. Semua ini memiliki memiliki peran signifikan bagi
Masisir di zaman modern dalam membangun budaya intelektual yang tajam. Dan
dalam kesimpulannya, keberagaman Masisir yang ditandai dengan tingginya angka
Masisir di zaman modern adalah sebuah fenomena yang kaya dan kompleks. Meskipun
membawa tantangan dalam hal budaya dan culture, keberagaman ini juga
membawa dampak positif yang signifikan dalam memperluas pandangan dunia dan
mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi pemimpin global di masa yang akan datang.
Dengan bermodalkan intelektual yang tajam inilah, semua Masisir diharapkan bisa
menjadi pelanjut perjuangan para ulama dalam menegakan nilai-nilai washatiyah
di tanah air, bukan malah sebaliknya menjadi pemutus dari perjuangan.
Wallahu a’lam
bil al-Shawwab
Daftar
pustaka
Al-Bukhāri, Muhammad bin Ismā’īl Abū Abdullah
al-Ja’fī. (2021). Shāhīh
al-Bukhāri, ed. Muhammad Zuhair Nāshir al-Nāshir. Cairo: Darl Thauq
al-Najāh.
Azra, Ayumardi. (1993). Melacak Pengaruh
dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo. Studia Islamika, Vol. 2, No. 3,
hlm. 199-219.
Dayaksini,
Tri. (2012). Psikologi Antar Budaya. Malang: UMM Press
Patawari, M. Y.
(2020). Adaptasi budaya pada maha- siswa pendatang di kampus Universitas
Padjadjaran Bandung. Jurnal Manajemen Komunikasi, 4 (2), 103–122.
Ngafifi,
Muhammad. (2014). Kemajuan
Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial Budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan
Aplikasi Volume 2, Nomor 1, 2014
Website:
https://www.wapresri.go.id/kepada-wapres-wakil-grand-syekh-al-azhar-puji-prestasi-mahasiswa-indonesia-di-mesir/ diakes 06 Juni 2024
https://kumparan.com/kumparannews/al-azhar-mesir-akan-permudah-penerimaan-mahasiswa-ri-meski-ada-isu-pembeludakan-22yrG0n6wFL/1 diakses pada 06 Juni 2024
[1] https://www.wapresri.go.id/kepada-wapres-wakil-grand-syekh-al-azhar-puji-prestasi-mahasiswa-indonesia-di-mesir/
diakes 06 Juni 2024
[2] https://kumparan.com/kumparannews/al-azhar-mesir-akan-permudah-penerimaan-mahasiswa-ri-meski-ada-isu-pembeludakan-22yrG0n6wFL/1
diakses pada 06 Juni 2024
[3]
Yunus Patawari, Muhamad. Adaptasi Budaya Pada Mahasiswa Pendatang di Kampus
Universitas Padjadjaran Bandung, (Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 4 No.
2, April 2020) Hal 105
[4]gegar budaya adalah reaksi emosi terhadap perbedaan budaya yang
tidak terduga dan terjadi kesalahpahaman pada pengalaman yang berbeda, sehingga
mengakibatkan munculnya perasaan tidak berdaya, mudah terpancing emosi, takut
akan dibohongi, dan dilukai serta diacuhkan (Bock, 1970; Adler, 1975; Pedersen,
1995).
[5] Dayaksini, Tri. Psikologi antar budaya , (UMM Press, Malang, 2012). Hal 74
[6] Ngafifi, Muhammad. Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif
Sosial Budaya, (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Volume
2, Nomor 1, 2014) hal 34
[7] Azra, Azyumardi. Melacak Pengaruh dan
Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo. (Studia Islamika, Vol. 2, No. 3, 1995)
hal 205
[8] Al-Bukhāri, Muhammad bin Ismā’īl Abū
Abdullah al-Ja’fī. Shāhīh al-Bukhāri, (ed. Muhammad Zuhair Nāshir
al-Nāshir. Cairo: Darl Thauq al-Najāh, 2021).
Komentar