Sebagaimana judul dari kitab ini, Qîmatu al-Zaman
Inda al-Ulamâ yang menggambarkan bagaimana urgensitas waktu menurut para
ulama. Kitab ini ditulis karena kekaguman muallif kepada ayahnya; yang
merupakan seorang alim serta baik budi pekertinya. Bahkan dari ayahnya juga
muallif menemukan adanya dorongan dan motivasi untuk beliau.
Selain menjadikan sang ayah sebagai motivasi dalam
belajar, muallif juga menjadikan ayahnya sebagai motivasi dalam ibadah;
sebagaimana beliau tidak pernah mendapati sang ayah melainkan dalam keadaan
belajar atau berdzikir. Tak jarang juga beliau mendapati ayahnya sedang
menangis ketika sedang membaca al-Quran, sehingga beliau benar-benar menjadikan
sang ayah sebagai qudwah terbaik dalam mengatur waktunya..
Itulah beberapa alasan yang menjadi sebab terkuat
muallif menulis kitab ini, selain agar kita mengetahui bagaimana para ulama
mengatur waktu, namun agar kita juga mengetahui bagaimana para ulama mendalami
dan mengamalkan ilmu mereka.
Berkaitan dengan urgensitas waktu dan tadbîru
al-Auqât (cara memanfaatkan waktu) para ulama telah banyak memberikan
contoh terbaiknya, di antaranya:
Pertama,
Imam Abu Bakar An-Nahsyili (wafat 166 H): diceritakan dari Muhammad bin Sabih
bahwa suatu ketika ia datang ke rumah Imam Abu Bakar An-Nahsyili, dan ia selalu
mendapatinya dalam keadaan mengajarkan berbagai ilmu dan beribadah.
Kedua,
Imam Ahmad bin Salamah (lahir 91 H dan wafat 167 H): beliau merupakan seorang
ulama yang ahli dalam berbagai macam bidang keilmuan (nahwu, hadist, fikih
dsb). Mengenai keseharian beliau, disebutkan bahwa Imam Ahmad bin Salamah tidak
akan melewati hari-harinya melainkan untuk mengajarkan ilmu, membaca,
bertasbih, atau shalat. Imam Abdurrahman bin Mahdi yang merupakan murid beliau
pernah menuturkan bahwa Imam Ahmad bin Salamah selalu berandai jika hari esok
adalah hari kematiannya, sehingga dari sinilah beliau selalu berusaha melakukan
apapun seakan-akan beliau tidak bisa mengerjakannya esok hari. Dan indahnya,
Allah Swt begitu mencintai beliau hingga dalam nafas terakhirnya, Allah Swt
memanggil beliau saat mendirikan shalat.
Ketiga,
Imam Muhammad bin Nadhar: Imam Mufadhal bin Yunus berkata: “Suatu hari aku
melihat Muhammad bin Nadhar –seorang yang zuhud dan taat- sedang bersedih,
kemudian aku bertanya: ‘apa yang terjadi kepadamu?’ dan dia berkata: ‘aku telah
melewati malamku tanpa suatu hal apapun, dan aku juga telah melewati siangku
tanpa suatu hal apapun”.
Keempat,
Imam al-Khalil bin Ahmad: Imam al-Khalil bin Ahmad merupakan salah satu guru
dari Imam Sibawaih. Abu Hilal al-Askari dalam kitabnya al-Hatssu ala Thalabi
al-Ilmi wa al-Ijtihâd fî Jam’ihi menuliskan bahwa Imam al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi al-Bashri merupakan salah satu cendekiawan muslim (lahir 100 H dan
wafat 170 H). Kala itu Imam al-Khalil bin Ahmad berkata bahwa waktu terberat
dalam hidup beliau adalah satu jam saja waktu yang beliau gunakan untuk makan.
Kelima,
Imam Abu Yusuf: nama lengkap beliau adalah Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari
al-Khufi (lahir 113 H dan wafat 187 H). Beliau merupakan salah satu murid Imam
Abu Hanifah; yang menyebarkan dan mengamalkan ilmunya. Imam Abu Yusuf merupakan
orang pertama yang dijuluki sebagai Qâdhi Qudhâti al-Dunya (Hakim dari
seluruh hakim dunia) dikarenakan beliau pernah menjadi hakim di tiga kerajaan
pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Selain menjadi hakim, Imam Abu Yusuf merupakan seorang
ulama dalam ilmu Fikih. Disebutkan bahwa beliau masih saja membahas
permasalahan Fikih sampai menjelang wafatnya. Ibrahim bin Jarah –salah satu
murid beliau- mengatakan bahwa saat itu beliau mengunjungi Imam Abu Yusuf yang
sedang dalam keadaan sakit. Kemudian Imam Abu Yusuf justru menanyakan kepadanya
tentang berbagai permasalahan dalam Fikih.
Hal lain yang menjadi bukti akan kecintaan Imam Abu
Yusuf terhadap ilmu juga dibuktikan saat sang putra wafat. Di saat seperti itu,
bahkan Imam Abu Yusuf tetap pergi untuk menghadiri majlis ilmu dan mewakilkan
segala proses pemakaman sang anak.
Keenam,
Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani: beliau merupakan salah satu murid dari
Imam Abu Hanifah (lahir 132 H dan wafat 189 H). Mengenai pembagian waktu dalam
hidupnya, beliau membagi malamnya menjadi tiga: bagian untuk tidur, shalat, dan
belajar. Bahkan, karena begitu sibuknya beliau untuk ilmu, sampai-sampai
bajunya kusut dan kotor. Namun, beliau tidak pernah melepas bajunya sampai
diberikan baju yang baru.
Dikatakan oleh al-Alamah Thasykubri dalam Miftâhu
al-Sa’âdah wa Misbâhu al-Siyâdah bahwa Imam Muhammad bin Hasan tidak tidur
pada malam hari –kecuali hanya sangat sedikit-. Beliau menghabiskan malamnya
untuk belajar, kemudian saat rasa bosan menghampirinya, beliau berpindah dari
satu kitab ke kitab lainnya. Begitu pula saat rasa kantuk datang
menghampirinya, beliau menghilangkan kantuknya dengan air dan berkata:
“Sesungguhnya tidur itu adalah sesuatu yang panas”.
Ketujuh,
Imam Syafi’i: beliau membagi waktunya menjadi tiga: bagian untuk menulis,
shalat, dan tidur. Bahkan dalam keadaan tidurnya, beliau bisa menyelesaikan 70
permasalahan umat dengan segala penyelesaiannya.
Kedelapan,
Imam Abu Ubaid dan Imam al-Hafidz
al-Hashiri: sebagaimana Imam Syafi’I yang membagi waktu malamnya, beliau juga
membagi malamnya menjadi tiga: bagian untuk shalat, tidur, dan belajar.
Kesembilan, Imam Abu Zaid al-Anshari (wafat 215 H): Imam Abu
Utsman al-Mazani yang merupakan salah satu murid dari Imam Abu Zaid al-Anshari,
bahwa saat itu beliau sedang mengunjungi gurunya yang sedang dalam keadaan
sakit parah, yang kemudian beliau wafat. Namun, Imam Abu Utsman al-Mazani
dikejutkan karena sikap gurunya yang masih terus membicarakan perkara ilmu
bahkan hingga detik-detik kematian menghampirinya.
Kesepuluh,
Imam Isham al-Balkhi (wafat 215 H) dan Imam Muhammad bin Salam al-Bikandi (227
H): beliau rela membeli sebuah polpen dalam suatu majlis ilmu –saat tinta
polpennya habis- dengan harga 1 dinar. Imam Isham berkata: al-‘Umru Qashîrun
wa al-‘Ilmu Katsîrun (umur kita sangat sedikit, sedangkan ilmu itu sangat
banyak).
Kesebelas,
Imam Ubaid bin Ya’isy al-Khufi: Ammar bin Raja’ berkata bahwa ia mendengar Imam
Ubaid bin Ya’isy berkata: “Aku hidup 33 tahun, dan aku tidak pernah makan
dengan tanganku sendiri, melainkan disuapi oleh saudari perempuanku dan aku
sedang menulis hadist”.
Dari beberapa kisah ulama di atas, dapat kita ketahui
bahwa para ulama begitu rapi mengatur waktunya, bahkan mereka tidak rela jika
sedikitpun waktu yang mereka punya hilang karena suatu hal yang tidak
bermanfaat. Semoga Allah sang Maha Pemilik waktu selalu membimbing kita dalam
jalan ketaatan-Nya. Allahumma Aamin.
Sumber: Kajian Internal DP SEMA-FU, kitab Qîmatu
al-Zaman Inda al-Ulamâ oleh M.
Shihabuddin Alawy dan Anisa Zahrah. (Kamis, 23/09/20).
Notulis: Alya Mafaiz
Komentar