Akan
tetapi untuk bisa menjawab pertanyaan dengan Al-Quran, menyelesaikan
permasalahan dengan solusi Al-Quran, tentu membutuhkan keterampilan khusus
untuk itu, bukan sembarang orang bisa memahami atau menafsirkan Al-Quran lalu
kemudian mengambil sebagian dari petunjuknya untuk dijadikan sebagai problem
solving. Ada beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang yang
menginginkan untuk mengambil pelajaran melewati teks Al-Quran. Imam Syuyuthi di
dalam kitabnya al-Itqan fi ulum al-Quran menyebutkan, setidaknya ada 15
macam ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir; mulai dari ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan bahasa Arab (Nahwu, Sharraf, Balaghah), ulum al-Quran (Asbabun
Nuzul, Nasikh Mansukh dll), ilmu fikih, ilmu sejarah dan seterusnya.
Apakah
cukup sampai di situ? Ternyata tidak. Seorang mufasir selain harus menguasai
ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, untuk menafsirkan Al-Quran, ia juga harus
menjahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian mufasir –baik mufasir
terdahulu atau kontemporer– di dalam menafsirkan Al-Quran. Jika tidak, maka Al-Quran
yang seharusnya menjadi petunjuk dan penerang, akan di salahpahami yang
kemudian dengan kesalahanpahaman ini akan menyebabkan kekacauan di dalam
kehidupan. Sungguh ini merupakan hal yang tidak diinginkan oleh Dzat yang
menurunkan Al-Quran atau Rasulullah SAW yang diturunkan kepadanya Al-Quran.
Prof.
Dr. Muhammad Salim Abu Ashi di dalam buku beliau yang berjudul Min mawathin
al-Zalal fi Tafsir al-Quran menyebutkan, ada beberapa macam kesalahan dalam
menafsirkan Al-Quran, di antaranya: minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh
seorang mufasir, terjebak dalam penafsiran dengan menggunakan riwayat yang
bersumber dari israiliyat, ketidaktahuan mufasir terhadap sunnah yang
menjadi penjelas terhadap ayat-ayat Al-Quran, kecondongan mufasir terhadap
ayat-ayat mutasyabihat dengan mengabaikan ayat-ayat muhkamat, kurangnya
kehati-hatian dalam mentakwil suatu ayat, menempatkan teks tidak pada
tempatnya, kesalahpahaman dalam bab nasikh mansukh, mengabaikan apa-apa yang
telah menjadi kesepakatan umat, mengeluarkan teks dari segi susunan kalimatnya,
adanya tendensius pribadi ketika memahami Al-Quran dan lain-lain.
Sebagaimana
judul dari kitabnya, Min mawathin al-Zalal fi Tafsir al-Quran (Sebagian
dari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al-Quran), tentu yang beliau
sebutkan di atas –walaupun sudah demikian banyaknya– itu masih sebagiannya
saja, tidak semuanya. Dalam artian di sana tidak menutup kemungkinan masih
banyak kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan oleh sebagian mufasir. Akan
tetapi walaupun demikian, setidaknya yang beliau sebutkan di atas merupakan
kesalahan-kesalahan yang paling banyak terjadi di dalam menafsirkan Al-Quran
sehingga dengan mengetahui itu minimal kita sudah mempunyai beberapa
pengetahuan yang bisa kita jadikan bekal untuk tidak terjerumus ke dalam
kesalahan menafsirkan Al-Quran.
Bil
mitsal yattdhihul maqal (dengan
menyertakan contoh, suatu permasalahan akan menjadi lebih jelas). Di sini saya
akan memberikan salah satu contoh dari kesalahan-kesalahan mufasir di dalam
menafsirkan Al-Quran.
Menempatkan Teks Tidak Pada Tempatnya
Maksudnya adalah memahami ayat Al-Quran dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud diturunkannya sebuah ayat tertentu. Hal ini terkadang didorong oleh minimnya pengetahuan atau tendensius kepentingan pribadi atau kelompok.
Misalnya penafsiran yang dilakukan oleh kaum khawarij terhadap ayat إن الحكم إلا لله QS: Al-An’am: 57. Mereka menafsirkannya dengan semboyan mereka bahwa hukum hanyalah milik Allah SWT semata (la hukma illa lillah). Lalu dengan penafsiran ini mereka menjadikan ayat itu sebagai alat politik untuk menjadikan manusia –dengan keniscayaan perbedaan yang Allah izinkan untuk ada pada diri mereka masing-masing; mulai dari lingkungan dimana mereka hidup, tradisi dan lain-lain– bersatu pada satu payung hukum.
Memang
ini adalah kalimat yang hak (bahwa hukum adalah milik Allah) akan tetapi
menempatkannya pada yang demikian adalah perkara bathil (kalimatu hakkin
urida bihal bathil). Karena ayat di atas turun untuk menjelaskan bahwa pensyariatan
(halal-haram) itu hanya bisa ditetapkan oleh Allah SWT.
Contoh ayat yang serupa
adalah di surah al-Maidah:44 Allah SWT berfirman:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Barang
siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang kafir.
Ayat
ini ditafsirkan oleh sebagian kalangan yang tidak mempunyai pemahaman yang
memadai untuk memahami Al-Quran bahwa barang siapa yang memutuskan dengan
selain Al-Quran maka ia telah menolak ketuhanan Allah. Akibatnya, mereka
menghalalkan darah para pemimpin dan juga rakyat yang memutuskan suatu perkara
dengan selain Al-Quran.
Penafsiran
yang seperti ini berbeda dengan penafsiran turjuman al-Quran, Abdullah
Ibnu Abbassahabatmulia yang mendapatkan doa khusus dari baginda Nabi
Muhammad SAW allahumma faqqihhu fi al-din wa allimhu al-ta’wil. Beliau
berkata: bahwa kufur di sini bukan kekafiran yang mengeluarkan seorang
dari Islam (kufrun duna kufrin). (HR Hakim di dalam kitabnya Al-Mustadrak).
Lebih
lanjut Bara’ Ibn ‘Azib di dalam kitab Shahih Muslim berkata: bahwa ayat ini
begitu juga dua ayat setelahnya yang berbunyi فأولئك هم الظالمون dan فأولئك هم الفاسقون turun kepada orang-orang kafir
yang memutuskan sesuatu dengan selain apa yang diturunkan Allah, bukan turun
kepada orang-orang muslim.
Baiklah, jika ditanya, ayat ini bisa bermakna umum, artinya tidak dikhususkan kepada orang-orang kafir saja. Maka jawabannya, di sana ada ayat lain yang juga umum yang bertentangan dengan ayat ini, yaitu ayat yang berbunyi ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمنا (Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam’’ (yang dimaksud adalah ucapan kalimat syahadah yang menunjukkan atas keislaman orang itu) kepadamu “kamu bukan seorang yang beriman” (lalu kamu membunuhnya). (QS: An-Nisa:94).
Cara menggabungkan dua ayat umum di atas yang –secara dzahir– bertentangan adalah dengan takhsis. Jika tidak, maka dua ayat tersebut akan kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Maka firman Allah SWT bahwa barang siapa yang memutuskan sesuatu dengan selain apa yang diturunkan Allah, maksudnya tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah dengan cara mengingkari hukum itu.
Maka dengan demikian barang siapa yang menempatkan ayat di atas secara umum; yaitu kepada orang yang menghukumi dengan selain apa yang diturunkan Allah, baik orang itu mengingkari atau tidak mengingkari, maka orang tersebut sudah menempatkan ayat-ayat al-Maidah, 44, 45 dan 47 di atas bukan pada tempatnya. Inilah yang dimaksud dengan kesalahan dalam menafsirkan Al-Quran dengan cara menempatkan ayat Al-Quran tidak pada tempatnya.
Itulah satu contoh dari sekian banyak contoh-contoh dari kesalahan dalam menafsirkan Al-Quran yang mana disebabkan karena kesalahan dalam menafsirkan ayat di atas, tatanan kehidupan sosial bermasyarakat atau bahkan berbangsa dan bernegara bisa kacau seperti yang disinggung pada paragraf ketiga tulisan ini. Sekian, waffaqanallahu lima yuhibbu wa yardha.
( Khalilurrahman Zubaidi, Lc. )
Komentar