Sumber: Wikipedia |
Aisyah bintu Muhammad Ali Abdurrahman yang akrab
dengan panggilan Bintu Syāthi’
merupakan tokoh wanita pemikir, peneliti, dosen dan penulis berkebangsaan Mesir.
Ia adalah wanita pertama yang menjadi dosen di Al-Azhar Asy-Syarif dan
universitas lainnya. Di antara wanita pertama yang berprofesi sebagai jurnalis
di Mesir, khususnya di Harian Al-Ahram. Wanita pertama di Arab yang dianugerahi
penghargaan Raja Faisal di bidang sastra dan studi Islam. Padahal dia hidup di
zaman hak wanita dikekang. Untuk masuk sekolah dasarpun dilarang, apalagi
sampai meraih gelar doktor dan mengajar di perguruan tinggi.
Kelahiran
dan Keluarga
Aisyah lahir tak jauh dari tepi Nil di
perkampungan Dimyath, 6 November 1913 M. Putri mungil itu lahir di tengah
keluarga alim Azhari, ayahnya Syaikh Muhammad bin Ali bin Abdurrahman adalah pengajar
di Ma'had Al-Azhar Dimyath. Kakeknya dari ibu Syaikh Muhammad Ad-Damhuji adalah
seorang Ulama besar Al-Azhar yang nasabnya bersambung kepada Sayidina Husein
bin Ali RA.
Pendidikan
Awal
Tumbuh di tengah lingkungan taat beragama, oleh sang
ayah, ia dimasukkan ke kuttab Syaikh
Mursi dan Ma’had Diniyah Al-Azhar setempat. Baru menginjak usia enam tahun, 15
Juz Al-Qur’an sudah dihafalnya. Sebenarnya Ayahnya dulu ingin menimang anak
laki-laki untuk dikaderkan menjadi ulama, maka Aisyah dididik dengan ketat dan
tidak diperkenankan banyak bermain sebagaimana anak sebayanya.
Setelah menggenggam ijazah Ibtidaiyah di usia 10
tahun dengan nilai tertinggi, idealisme sang ayah meminta Aisyah untuk putus
sekolah dan menetap di rumah, konservatif dengan budaya saat itu. Namun jiwa
ambisius Aisyah bersikeras melanjutkan pendidikan. Berkat sokongan ibu,
dukungan kakek dan guru-gurunya, sang ayah luluh dan Aisyah dapat melanjutkan sekolah.
Bahkan sang kakek yang langsung turun tangan mengurus pendaftaran. Semula sang
Ibu merekomendasikan putrinya masuk Madrasah Mu’allimat Favorit di Manshuroh, tetapi
sang ayah lebih memilih putrinya di Madrasah Thanta.
Tentang sikapnya ini, Bintu Syathi mengatakan: “Aku
belajar berlandaskan manhaj Al-Azhar. Kitab pertama yang menjadi concern-ku
adalah Al-Qur’an, ialah inspirasi terbesar yang mendorongku mabuk mencintai
ilmu dan semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku juga seorang Alim, dia
yang menanamkan kecintaan ilmu. Tapi mengapa dia juga yang menghalangi jalanku?
Maka ku tabrak halauannya dan aku yang berhak menang.”
Pengaruh
Sang Kakek dalam Bakat Jurnalistik
Semasa belajar di sekolah menengah, sang kakek
sering menitip lewat Aisyah untuk membelikan Koran Al-Ahram dan Koran
Al-Muqattam untuk dibaca sebagai kewajiban harian. Sang kakek adalah seorang
aktivis yang kerap menulis kritik kepada pemerintah untuk perbaikan pengelolaan
sungai Nil, karena limbah yang terbuang dari kota mengalir ke Dimyath
mengganggu kebersihan dan mengancam keselamatan para nelayan.
Untuk menulis surat itu, ia mendiktekan kepada
cucunya Aisyah yang saat itu masih tidak suka dengan dunia literasi. Secara
tidak langsung, Aisyah terus berusaha menguatkan uslub tulisannya demi memuaskan
sang kakek.
Melanjutkan
SMA dan Masuk Kuliah
Setelah menuntaskan masa belajar di SMP Thanta,
ia kembali mati-matian meyakinkan sang ayah untuk menginjikannya melanjutkan ke
Madrasah Mu'allimat Helwan. Dengan dukungan sang ibu dikuatkan saran mursyid
Thariqahnya yang bernama Abu Haikal Al-Syarqawi, Aisyah mendapatkan lampu
hijau.
Setelah lulus dengan tetesan keringat
perjuangan, ambisinya tidak berhenti sampai titik ini. Sang ayah merestui dia menjadi
guru di Madrasah Banat Manshuroh. Semangat mengajarnya terlihat dengan jam
mengajar 34 jam dalam sepekan. Padahal, ia bercerita masa-masa awal mengajarnya lumayan menjenuhkan, karena hanya mengajar ekstrakulikuler. Itu yang mendorongnya belajar Bahasa Inggris dan Prancis kemudian mengajarkannya.
Keuletan dan kecerdasannya membuat kagum pengawas, maka dia dimutasi sebagai sekretaris di Kulliyatul Banat di Giza. Dari sana, dia mendapatkan sertifikat yang mengantarkannya masuk ke gerbang Universitas Kairo. Dengan demikian, dia menjadi wanita ketiga sepanjang sejarah Mesir yang menjadi mahasiswi setelah Aminah Al-Sa'id dan Sahir Al-Qolmawi.
Keuletan dan kecerdasannya membuat kagum pengawas, maka dia dimutasi sebagai sekretaris di Kulliyatul Banat di Giza. Dari sana, dia mendapatkan sertifikat yang mengantarkannya masuk ke gerbang Universitas Kairo. Dengan demikian, dia menjadi wanita ketiga sepanjang sejarah Mesir yang menjadi mahasiswi setelah Aminah Al-Sa'id dan Sahir Al-Qolmawi.
Keahliannya dalam menulis terus ia asah selama
menjadi mahasiswi. Secara rutin, ia aktif mengirim naskah tulisannya kepada tim
redaksi majalah. Tulisan-tulisan berupa cerita, puisi dan artikel kritis
kebangkitan kaum wanita miliknya mulai tersebar sehingga dipinang untuk
menjadi penulis tetap di Koran terbesar Mesir Al-Ahram tahun 1935. Untuk
menjaga privasi, ia enggan menggunakan nama asli, ia memilih nama Bintu
Syāthi (Putri
Pesisir) sebagai pena. Ketika masih duduk di tingkat 2, dia sudah menyelesaikan buku berjudul
“Pedesaan Mesir”.
Aisyah lulus dari Fakultas Sastra Arab pada tahun 1939 M dengan nilai Mumtaz, skripsinya mengangkat penelitian
terhadap karya Abu Al-‘Alā’ Al-Ma'arri yang berjudul “Al-Hayāh
Al-Insāniyyah”.
Kecerdasannya mengantarkannya menjadi asisten dosen sembari melanjutkan kuliah
pascasarjana. Tiga tahun berikutnya, ia meraih gelar Magister dengan nilai Summa
Cumlaude dengan Tesis berjudul “Studi Kritis Risalah Al-Gufrōn”.
Dia menikah dengan dosennya Dr. Amin Al-Khuli,
pemilik sanggar sastra dan pemikir terkenal di Madrasah Al-Umana. Dari
pernikahan ini, ia melahirkan 3 orang anak.
Setelah menikah dia tetap melanjutkan studi
hingga berhasil meraih gelar doctoral setelah berhasil mempertahankan disertasi
dalam sidang yang diuji langsung oleh dekan fakultas, Prof. Dr. Thoha
Husein pada tahun 1950.
Jabatan akademiknya sebagai dosen terus melejit,
pada 1962 M dikukuhkan sebagai Profesor Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Ain
Syams. Sementara di Universitas Al-Qorowiyyun Maroko dia diangkat menjadi guru
besar Tafsir tahun 1970 dan menghabiskan waktu mengajar di sana selama 20 tahun.
Guru-Guru
Diantara dosen-dosennya yang berpengaruh: Prof.
Musthafa Abdurraziq, Prof. Ahmad Luthfi Sayyid dan Prof. Thoha Husein. Termasuk
juga orientalis Jerman yang masyhur, Yusuf Asy-Syahat. Bintu Syathi’ bercerita:
“Asy-Syahat dosen kami, mengajar Fiqih dan Bahasa, saat mengajar dia disiplin
mengenakan jubah kebesaran Al-Azhar.”
Yang paling berpengaruh dari guru-gurunya tentu saja
Amin Al-Khuli. “Dia lebih dari seorang guru. Aku menemukan dari dirinya sosok
pembimbing, sahabat dan teman. Meskipun aku tetap menghormatinya layaknya murid
menghormati guru. Ketika aku merasa tak bisa jauh darinya karena keterikatan
ruh, kesejalanan pemikiran dan saling pengertian, maka kami menikah.”
Karya-Karya
Bintu Syathi’ meninggalkan lebih dari 40 karya
keislaman, kesusastraan, sejarah serta riset teks-teks manuskrip. Di antara
karyanya:
·
Tafsir Bayāni li Al-Qur’ān
Al-Karīm
·
Al-Qur’ān wa Qodhōya al-Insān
·
Sayyidāt bait an-Nubuwwah (Biografi Ahlu Bait Wanita)
·
Kajian Risālah Al-Gufrōn: Kritik Sastra atas Prosa milik Penyair dan Filosof
Abu ‘Alā Al-Ma’arri.
Al-Ma'aari dalam karyanya ini seolah berdialog melalui alam imajinasi dengan
penyair-penyair besar pendahulunya seperti Zuhair bin Abi Sulma di surga dan
Imru’ul Qois di Neraka.
·
Analisa Syair-Syair milik Al-Khonsa’, penyair jahiliy.
·
Novel berjudul ‘ala Al-Jisr oto-biografi yang merekam kisah
hidupnya. Ditulis setelah meninggalnya sang suami dengan Bahasa yang puitis dan
menyentuh.
·
“Ksatrianita Karbala”: tentang kepahlawanan Sayyidah Zainab binti Ali
bin Abi Thalib pada tragedi Karbala tahun 61 Hijriah.
·
Bintu Syathi' menyumbangkan gagasan-gagasan baru dalam sastra Arab,
ia memiliki konsentarsi serius dalam ilmu Bahasa Arab, lantaran menurtnya: “50
% dari ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah ilmu Bahasa Arab.”
King Faisal Prize |
Prestasi
- · Wanita pertama yang menulis tafsir
- · Dosen Universitas Al-Qorowiyyun 20 tahun
- · Penghargaan sastra Nasional Mesir 1978
- · Medali dari kerajaan Maroko
- · Pengharagaan Sastra dari Kuwait 1988
- · Satu-satunya wanita yang diberikan jabatan di Lembaga Riset Islami Kairo, Al-Majalis Al-Qoumiyyah Al-Mutakhassishah.
- · Lulusan mu'allimat terbaik se-Mesir 1929
- · Mengajar di 9 negara, di setiap universitas menjadi dosen favorit dan mencetak ilmuan berkelas
- · Serius mendalami ilmu humaniora dan Arab
Aisyah Bintu Syathi dan
Emansipasi Wanita
Dalam
setiap tulisannya Bintu Syathi sangat kritis menyentil hukum-hukum yang zalim,
sehingga patut digelari Mujāhidah
(pejuang
wanita). Medan jihad utamanya adalah memerdekakan kaum wanita dari cengkraman
kebodohan yang membelenggu wanita Arab berabad lamanya.
Namun
gerakan ini emansipasinya sangat genuine dan proporsional yang memegang
teguh landasan syari'at dan dengan memerhatikan fitrah wanita, ia mengaku tidak
ingin menyamakan lelaki dan wanita secara mutlak. Ia mengakui hukum yang sudah Qath'iyy
dalam Alquran seperti kebolehan poligami, bagian warisan separuh dari bagian
laki-laki dan sangsi suami kepada istri yang nusyuz.
Ia اhanya ingin agar saudari-saudarinya dikembalikan hak-hak mereka yang telah ditetapkan
oleh Islam namun dirampas oleh kaum laki-laki dengan kejahilan dan ambisi ingin
menguasai dengan tabir agama, padahal sesungguhnya Islam sangat memuliakan wanita.
"Saya
ingin memelihara hak yang telah diatur, bukan memberi hak kebebasan. Bedakan
antara keduanya! Saya ingin wanita diberikan pendidikan yang layak dan
diberikan hak berparsitipasi dalam perjuangan, bukan berarti saya mempersilakan
mereka meminum khamr, pergaulan bebas dan menanggalkan prinsip malu."
Kritik
Aisyah langsung menukik pada desakan perubahan undang-undang ahwal
syakhsyiyyah tentang hak-hak istri dan ibu-ibu tua.
Wafat
Hidupnya ia habiskan untuk membela agama Allah, memperjuangkan hak kaum wanita dan
mengangkat derajat mereka sesuai yang telah diatur oleh Islam. Akhirnya Allah
Ta'ala meletakkan amanah itu dengan mengambil ruh sang Mufassirrah Kitab
Suci-Nya itu kepada rahmat-Nya pada 8 Desember 1998 setelah hidup dengan
mengukir banyak prestasi yang membuat namanya abadi, tidak hilang terkubur bersama
jasadnya.
@Muhammad Zainuddin
Komentar