[Salah
Fatal dalam Memahami Sirah Nabawiyah]
Oleh: Prof. Dr.
Syauqi ‘Allam
Alih bahasa:
Tim Terjemah SEMA-FU
Pendahuluan
Satu
hal yang perlu digarisbawahi dari tulisan-tulisan dan pandangan-pandangan kaum neo-Khawarij
dan orang-orang yang berpemikiran radikal adalah bahwa mereka kerapkali menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis, dan sejarah Nabi sebagai landasan argumentasi.
Padahal, sebagai teks wahyu, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
dan berinteraksi dengan keduanya, dibutuhkan berbagai perangkat ilmiah. Dan,
orang-orang radikalis ini sebenarnya—seperti yang telah saya ulas dalam artikel
di edisi sebelumnya—sangat membutuhkan perangkat
tersebut.
Tak
hanya itu, perangkat ilmiah tersebut sebenarnya juga sangat mereka butuhkan untuk
memahami sirah nabawiyah[1] dan
berbagai peristiwa penting (peperangan, misalnya) yang dialami Nabi serta para
sahabat di Jazirah Arab kala itu. Dikatakan demikian, lantaran sirah nabawiyah tersebut
dianggap sebagai metodologi yang sangat lengkap yang dimiliki umat Islam untuk
menjelaskan sisi-sisi akhlak, sosial, politik, administrasi, dan kemiliteran
pada masa Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain, ia merupakan metodologi yang
lengkap untuk memahami konsep wahyu dan maqashid syariah (tujuan-tujuan
tertinggi diturunkannya Islam (syariah)).
I
Oleh
karena peristiwa-peristiwa yang terekam dalam sirah nabawiyah itu banyak, dan ia
terbagi menjadi beberapa fase sejarah yang berbeda-beda, serta dalam
masing-masing fase tersebut memiliki watak dan sudut pandang yang beragam—di antaranya
fase sebelum peristiwa kenabian dan setelahnya, sebelum hijrah dan setelahnya,
sebelum penakhlukan kota Makkah dan sesudahnya—maka sudah semestinya dalam memahami
masing-masing fase sejarah tersebut kita letakkan sesuai dengan konteksnya. Hanya
saja, kaum radikal itu sama sekali tidak mengindahkan berbagai perbedaan dan
ketentuan yang berlaku pada masing-masing fase tersebut.
Apabila
kita merujuk pada berbagai referensi yang benar-benar menghadirkan narasi sejarah
yang sesuai dengan kenyataan sejarah Nabi, maka kita akan dapati berbagai
klasifikasi peristiwa penting di sana. Anehnya, klasifikasi peristiwa tersebut
seringkali mereka samakan secara paksa dengan berbagai fenomena yang terjadi
saat ini. Bahkan, tak hanya itu, mereka secara semena-mena menerapkan hukum-hukum
yang ada dalam setiap klasifikasi peristiwa tersebut dalam realitas kehidupan
saat ini.
Hal
ini, misalnya dapat kita lihat dalam berbagai kasus—bahkan sebenarnya, kasus
ini amatlah banyak kita temui. Sekadar contoh, ketika kaum radikal ini ingin
membuat perselisihan dengan kaum non-muslim, mereka mengambil dalil dari apa
yang pernah dilakukan Rasulullah[2]—seperti
keputusan Nabi mengusir kaum Yahudi Bani Bainuqa. Sebaliknya, ketika kaum
radikal ini ingin hidup damai dengan mereka, mereka mengambil dalil peritiwa perjanjian
damai Nabi dengan kaum Yahudi Bani ‘Auf, pada saat beliau bersama kaum muslimin
berhijrah ke Madinah dan kemudian menetap di sana.
Berikut
ini, saya jelaskan lebih jauh beberapa contoh kesalahpahaman secara fatal kaum radikal
terhadap sejarah Nabi.
Kesalahan dalam Memahami Peristiwa yang Dialami Kaum Yahudi Bani Quraizah
Sebagian
peristiwa yang dijadikan dalil oleh kaum radikal—dan tentu saja, dapat menodai
agama Islam yang penuh dengan kasih sayang—sebagaimana yang diklaim oleh ISIS
dan orang-orang yang sepaham dengan mereka adalah sikap Nabi Muhammad Saw.
mengenai nasib Bani Quraizah, setelah berakhirnya perang Ahzab. Mengacu pada
peristiwa tersebut, mereka berdalil bahwa: umat Islam diperbolehkan menganiaya
tawanan perang, bahkan bila perlu membunuhnya; diperbolehkan menghukum secara
massal bagi mereka yang kalah dalam peperangan; dan tiadanya keharusan
memegangi secara teguh kesepakatan perjanjian dan kepercayaan dengan negara
musuh, utamanya mengenai tidak-bolehnya melakukan penyiksaan terhadap tawanan, membunuhnya,
bahkan memperlakukannya secara tidak manusiawi.
Bila
dilihat dari sudut pandang keislaman, tindakan kaum radikal tersebut sebenarnya
telah keluar dari koridor syariat Islam yang benar. Sebab keputusan menyatakan perang
ataupun tidak, itu murni berada pada otoritas pemerintah (negara) bukan pada otoritas
individu ataupun kelompok. Dan, peraturan semacam inilah yang sudah disepakati
oleh seluruh umat manusia (negara-negara).
Peraturan
semacam ini semestinya kita jadikan sebagai acuan dalam mengatasi buih-buih pemikiran
radikal sejak dini, baik itu pemikiran radikal yang dapat melahirkan tindakan
terorisme ataupun tidak, atau yang dapat mengarahkan pada legalitas pengambilan
keputusan perang pada otoritas individu-invidu yang terlepas dari otoritas
negara. Sebab tindakan mereka tersebut sesungguhnya tidak mendapatkan
legalitasnya dari syariat Islam dan tidak pula sesuai dengan pemahaman para fuqaha.
Bersambung…
Sumber : Majalah Al-Azhar edisi Rabiul Akhir 1439 H/Desember 2017 M
Sumber : Majalah Al-Azhar edisi Rabiul Akhir 1439 H/Desember 2017 M
[1] Yang meliputi
segala sesuatu yang ada pada Nabi baik dari sisi perkataan, perbuatan,
ketetapan (yang bersifat haqiqi dan hukmi), sifat-sifatnya baik
itu sifat khilqiyyah maupun khuluqiyah.
[2] Meskipun diakui,
terkadang apa yang mereka lakukan dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan
kenyataan, tetapi ini sangat sedikit sekali. Dan, dalam konteks artikel ini,
tentu saja kasus-kasus yang objektif seperti ini tidak termasuk dalam
pembahasan di sini.
Komentar