Kehidupan yang sarat dengan aktivitas ilmiah tak
menjadi penghalang bagi Srikandi Tafsir Prof. Dr. Aisyah bintu Syāthi'
untuk menjalani kisah cinta yang indah. Semua rentetan kisah itu ia tuangkan
dalam buku berjudul 'Alā al-Jisr.
Artikel
singkat ini mustahil mewakili novel luar biasa karya sastrawati itu. Artikel ini bermaksud memberi sedikit
gambaran keindahan muatan novel dan semoga menularkan semangat seorang tokoh wanita tangguh, bertepatan dengan peringatan hari wanita 8 Maret 2018.
Sumber Foto: http://breakingnews.sy/ar/article/89606.html |
Mengapa diberi
Judul 'Alā Al-Jisr (Di atas Jembatan)?
'Alā al-Jisr merupakan judul otobiografi bernuansa
roman yang ditulis oleh Aisyah Bintu Syāthi.
Biografi ini ia tulis kala hatinya masih dirundung sedih dan kalut setahun
setelah kepergian suami sekaligus guru terkasih Syaikh Amīn Al-Khūlī
tahun 1960-an.
Sebagai
penulis papan atas, kisah hidup penuh dengan tantangan dan rintangan yang ia
lalui dapat menjadi sumber inspirasi untuk ia tuangkan dalam tulisan dari
berbagai sudut pandang, namun dalam otobiografi ini, ia memilih menumpah-ruahkan
sisi kemalangannya menyusul musibah kehilangan seorang belahan jiwa yang selama
ini menemaninya membangun rumah-tangga, belajar dan berkarya.
Novel
'Alā al-Jisr memang tidak tebal, hanya memuat 152
halaman. Namun sarat akan makna yang membuat pembaca tidak cukup menghabiskan
sekali saja. Setiap kali diulang, pembaca akan meraup maklumat-maklumat baru
yang ia titipkan melalui gaya bahasa menawan nan sarat makna (uslūb balīgh).
Dalam
al-Jisr, kejadian yang penulis tekankan terpusat pada kisah cinta antara
dirinya dan Al-Khuli. Terlihat bagaimana penulis menggambarkan fase sebelum
pertemuan; mulai dari proses pembelajaran, pematangan berfikir dan pendewasaan
diri semua adalah masa-masa persiapan dan pemantasan diri untuk menemui
kekasihnya. Melalui perjalanan panjang penuh lika-liku itu, ia memperoleh kecerdasan
dan multi-skill yang seakan menjadi jisr (jembatan) yang menjembetani
pertemuannya dengan sang kekasih.
Ia
seakan masih tidak menyana, gadis kampung yang lahir dan tumbuh di pesisir seperti
dirinya akan bertemu dengan salah seorang pemikir terhebat di Mesir pada
zamannya, perintis metode kritik sastra dalam Tafsir Alquran, guru besar di Universitas Negeri nomor wahid di Mesir.
Sebagaimana
syiir pembuka di halaman 13 (cetakan al-Hay'ah al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab),
ia mengaku dirinya dan Al-Khuli terpisah oleh ruang dan waktu, dipisahkan oleh
jarak, usia dan status sosial yang meregangkan. Seakan ia berada di sebuah tepi
daratan, sedangkan Al-Khuli berada di daratan lain yang begitu jauh, terpisah oleh
jurang yang sangat panjang dan curam. Sulit mengimajinasikan terjadinya pertemuan. Maka jalan terjal yang dilalui Aisyah semenjak kecil beruntun mendekat, bagaikan jembatan untuk menautkan cinta suci itu.
Keberhasilannya
melalui jembatan angker itu membuat dirinya berbangga "Kisah kami ini
bagaikan dongeng mitos yang sulit terulang di dunia nyata."
Sumber: https://yossr.com/ |
Pandangan Pertama
Ia
merasa telah mengenal Al-Khūli sebelum ia berjumpa dengan sosoknya
untuk pertama kali dalam kenyataan. Pada halaman 121 novel, ia mengaku pertemuan pertama itu terasa
De Javu baginya. Ia bercerita:
"Ketika
pertama-kali menyaksikan Al-Khuli menyampaikan kuliah, murid-murid yang
mengitarinya menyimak dengan penuh perhatian. Akupun mendekat untuk ikut
menyimak, sektika aku terkesiap.
Dadaku
berdebar. "Aisyah, Suara ini benar-benar tidak asing. Tapi kapan dan dimana aku
pernah mendengarnya?"
Pertanyaan
itu terus-menerus berputar di otakku. Ku pandang wajahnya dengan lekat, semakin
menyulut api kebingungan. Kapan dan di mana aku pernah melihatnya?
Aku
merasa sudah akrab dengannya."
Sebelum
menceritakan kisah pertemuan pertama yang menjadi awal tumbuhnya benih-benih
cinta yang kemudian dibina menjadi sebuah kebersemaan erat di atas landasan al-'urwah
al-wutsqo; penulis menceritakan, berawal dari kegundahan yang ia alami
setelah menuntaskan tahun pertama di bangku perkuliahan. Tahun keduanya di Kampus
adalah masa-masa membingungkan. Terutama dengan kondisi Negara saat itu tengah genting
dengan revolusi, beberapa mahasiswa di kampus bahkan gugur sebagai korban.
Dia
mulai berpikir "Apa yang akan ku dapatkan dari perkuliahan ini? Sejauh
mana timbal balik antara aku dan kampus? Bagaimana kampus sesungguhnya berhasil
membentuk alur pikir dan mengasah kemampuanku membaca turats?"
Di
balik kegundahan itu, Bintu Syathi' tidak mendapatkan support kuat dari
sang ayah, karena keputusan masuk Universitas adalah atas kenekatannya sendiri, di zaman mengecap pendidikan tinggi bagi wanita sangat tabu di Arab bahkan di
dunia saat itu. Seakan menjadi mahasiswi saat itu adalah sebuah bid'ah dan kelakuan
keji. Namun ia selalu merasa ada sebuah power besar yang mendorongnya dengan
kuat untuk melalui jalan melawan arus.
Di
hari pertama perkuliahan tingkat II, hari itu tepat peringatan hari ulang
tahunnya, itulah hari pertama perjumpaan manis.
"Aku
mencoba mengenyahkan jauh-jauh kegundahanku. Aku mengambil tempat di ruang
kuliah dengan penuh rasa semangat, dengan tekad kuat untuk meraih prestasi
tertinggi.
Seorang
dosen gagah penuh wibawa memasuki kelas kami. Ia menyampaikan salam dan tanpa
membuang-buang waktu, ia berkenalan dengan langsung membicarakan sistem SKS dan
kontrak kuliah bersama kami. Ia mengampu Mata Kuliah Ulum al-Qur'an. Mahasiswa
ia beri kebebasan untuk memilih sendiri tema pembahasan untuk diangkat sebagai pembahasan
makalah yang akan dipresentasikan.
Dengan
penuh semangat, aku menjadi mahasiswa pertama yang mengacungkan tangan dan
menawarkan diri mendapat giliran pertama dengan pembahasan pertama tentang Nuzūl
Al-Qur'an."
Dengan tetap Cool, sang dosen menjawab
tantanganku: "Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menyiapkan
materi?"
"Bagi saya cukup sehari, Pak. Atau bahkan setengah hari."
Jawabku dengan tegas.
Beliau
menyergahku: "Jawablah dengan realistis! Tidak masalah kalian meminta waktu
yang cukup panjang untuk deadline."
Aku
sedikit membuat pertimbangan, tapi pantang bagiku menarik perkataan yang telah
keluar. Kutanyakan lagi sekaligus menginformasikan kelengkapan referensi yang
ku punya: "Apakah cukup saya merujuk untuk pembahasan ini pada kitab Al-Burhān karya Badr Al-Zarkasyi, kitab Al-Itqān dan Al-Lubāb karya Jalal al-Suyuthi ditambah
dengan Sīrah al-Hasyīmiyah, Thabaqāt Ibnu Sa'd dan Tafsir Ibnu Jarir al-Thobari?"
"Satu
kitab saja dari yang kau sebutkan itu cukup apabila kau mampu membacanya dengan
baik". Jawabnya dengan tetap tenang.
Inilah
awal pertemuan yang membuat hati seorang gadis pesisir Dimyath itu campur aduk
oleh pesona sang dosen. Ia semakin yakin, setiap langkah yang ia tempuh selama
ini seakan tersusun untuk perjalanan menemukan Amin Al-Khuli yang nanti akan
menjadi dosen dan belahan jiwa yang membuktikan kemaha-besaran Allah yang
menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dari rumah itulah mereka bersama mengarungi
bahtera rumah tangga selama 20 tahun, mengeluarkan ide-ide besar yang dikatakan
oleh Prof. Dr. Thoha Jabir Al-Ilwani: "Pemikir seperti kita ini tidak bisa
menyumbangkan sepersepuluh apa yang telah disumbangkan oleh sepasang suami
istri ini."
@Muhammad Zainuddin (Tingkat II Fakultas Ushuluddin)
Komentar