WEEKLY PROFILE KE-21 PROF. DR. IBRAHIM SHALAH AL-HUDHUD
-------------------------------
Pada Weekly Profile ke-14 lalu, SEMA-FU mengangkat profil tokoh legendaris al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Abu Musa, pakar sastra Arab terkemuka dan juru kunci pusaka-pusaka Imam Abdul Qahir Al-Jurjani yang diestafeti dari gurunya al-'Allamah al-Muhaqqiq Syekh Mahmud Muhammad Syakir, murid terbaik dari sastrawan kawakan Mesir Syekh Musthafa Shadiq al-Rafi'i. Dalam produktifitas berkarya, Abu Musa tak hanya menukil rumusan-rumusan ilmu yang sudah ada. Dari penelitiannya, ia banyak menawarkan pemikiran baru yang luput (novelty) dari pembicaraan ulama balaghah masa lampau yang dikumpulkan dalam kitabnya "al-Maskūt 'Anhu".
Walaupun kini telah memasuki usia
senja, sang pendidik hebat itu telah sukses melakukan regenerasi penerus estafet. Banyak dari
murid-muridnya yang kini telah menjadi raksasa ilmu bahasa Arab, antara lain Prof.
Dr. Ibrahim Sholah al-Hudhud, mantan rektor Universitas al-Azhar.
Al-Hudhud
adalah guru besar Balaghah dan Kritik Sastra di Universitas al-Azhar. Keahliannya
dalam beretorika dengan bahasa yang vokal dan lantang, membuat siapapun yang
mendengarkan terkesima. Dalam pembicaraannya, ia banyak menyingkap rahasia-rahasia
keindahan uslub al-Quran, al-Sunnah dan syair-syair Arab. Ia juga produktif dalam
menelurkan karya ilmiah dan karya sastra dengan tidak kurang dari 50 buah bahts.
Walaupun memegang beberapa jabatan strategis, ia banyak meluangkan waktu
memberikan pengajian mingguan di Masjid al-Azhar, menyampaikan khutbah Jumat dan
menjadi pemateri daurah. Dalam berinteraksi, ia terkenal ramah dan terbuka
termasuk kepada pelajar wafidin.
Gembelengan Muhammad Abu Musa
Bakat brilian yang dimiliki Ibrahim
al-Hudhud dipantau pertama kali oleh Abu Musa saat diajar mata kuliah Qā'atul
Bahts (Metodologi Penelitian) di tahun keduanya di
Fakultas Bahasa Arab. Abu Musa berkharisma di mata mahasiswa, dengan haibah
ulama yang melekat, rambutnya yang beruban dan bahasanya yang selalu Fusha. Dari
awal masuk hingga keluar kelas, jarang sekali lidahnya tersandung berbicara 'ammiyah. Karena menurutnya, jalan terbaik menghidupkan bahasa Fusha adalah dengan menerapkannya
langsung dalam komunikasi sehari-hari.
Dengan karismanya itu ia menukil
kalimat samth mukhayyam yang menggetarkan seluruh mahasiswa:
"Semoga Allah melaknat kendaraan yang membawa saya ke hadapan kalian,
membinasakan kalian, dan mengganti kalian dengan makhluk-Nya yang lebih baik
untuk menghuni ruangan yang mulia ini!"
Kemudian ia menyeru mahasiswa dengan panggila eksentrik: "Yā
A'laj al-A'ājim!"
Kata-kata itu masih melekat dalam memori al-Hudhud walau telah berlalu lebih 30
tahun. Ia memerintahkan seorang mahasiswa untuk membaca nash syair. Mahasiswa
itu membaca dengan tidak baik. Lalu memerintahkan mahasiswa di belakangnya
menggantikan. Itulah Ibrahim al-Hudhud yang kemudian membaca dengan cara yang
elegan dengan nada 'arudhiyyah. Abu Musa kagum dengan caranya membaca dan
memintanya mengulang, karena itu adalah syair jahili milik al-Nabigah
al-Dzibyani yang terkenal sulit. Usai kuliah, Abu Musa menghadiahkan kepadanya beberapa kitab berharga, dengan tulisan tangan:
"Saya hadiahkan buku ini kepada anakku Ibrahim al-Hudhud sebagai
pengharagaan atas prestasinya dalam belajar."
Sebagai murid
gembelengan Abu Musa, perjalanan akademis al-Hudhud berjalan dengan cemerlang.
Ia menuntaskan S1-nya dengan nilai tertinggi Summa Cumlaude tahun 1987,
Menyelesaikan studi magister dalam waktu empat tahun dan meraih gelar doktor
tiga tahun berikutnya.
Karier
akademis dan jabatannya terus melejit. Pada akhir tahun 2015, tanpa melalui pencalonan ia ditunjuk
untuk mengemban amanah sebagai Rektor Universitas al-Azhar. menggantikan Prof. Dr. Abdul Hay 'Azb yang tahun itu genap
berusia 65 tahun yang harus mengundurkan diri setelah peraturan baru kepensiunan
dari jabatan rektorat di usia itu.
Bukan
bahagia melihat muridnya menduduki jabatan tertinggi dalam civitas akademika Universitas, Syaikh Muhammad Abu Musa
bersedih di hadapan muridnya akan pengangkatan al-Hudhud. Menurutnya muridnya ini telah memikul amanah besar dan khawatir, serta mengeluarkan statemen: "Padahal hampir dia menjadi
ulama sejati, tapi disibukkan oleh jabatan." Begitulah penilaian ulama
zahid yang berbeda dengan penilaian manusia biasa yang senang dengan jabatan
tinggi. Barangkali, inilah sebabnya pada tahun 2017 ketika dicalonkan untuk
menjadi rektor tetap, Prof. Ibrahim al-Hudhud memilih mundur dari pencalonan dan melepaskan
amanah itu. Tak dipungkiri banyak kemajuan-kemajuan yang dialami al-Azhar selama
jabatannya menjadi rektor dalam 1,5 tahun.
Pada 2016,
ia turut mendampingi Grand Syaikh Ahmad al-Thayyib dalam kunjungan ke
Indonesia. Setahun berikutnya juga hadir dalam Konferensi Internasional Alumni
al-Azhar yang diadakan di NTB.
Masa Kecil al-Hudhud
Al-Hudhud lahir dari keluarga biasa
di Kampung Thahlah, Banha, Qalyubiyyah. Sebuah desa kecil yang telah memunculkan banyak
ulama berpengaruh yang menjadi inspirasi bagi al-Hudhud, antara lain Syaikh
Abdul Fattah Badawi, yang menjadi guru Imam Mutawalli Sya'rawi, Syaikh Al-Baquri
dan masyaikh besar lainnya.
Pendidikan agama ia mulai di Kuttab
dengan belajar dan menghafal Alquran dari Syaikh
Musa Abdul Ghani Ahmad Sya'lan. Dari didikan syaikh itu, tak hanya al-Hudhud seorang, banyak santri sebaya penghafal Alquran yang tumbuh menjadi orang-orang hebat
dalam berbagai bidang: fisika, kedokteran dan lainnya.
Keterbatasan
fasilitas di perkampungan yang minim aliran listrik dan koneksi jaringan
elektronik, mendukung al-Hudhud untuk belajar dan menghafal dengan giat. Selain
Alquran, ia banyak menghafal matan kitab dan syi'ir.
Cita-citanya
sejak belia untuk menjadi ulama besar Bahasa Arab membuatnya mencintai al-Azhar.
Ia juga ingat ketika masa kecil ia banyak menghabiskan waktu berdiam di Masjid,
bantu menyapu dan merapikan tempat orang shalat. Suatu ketika guru agama
bernama Syekh Muhammad Itr kala datang ke masjid menemuinya sedang menyapu.
Syekh pun mendoakannya: "Wahai Ibrahim, nanti kau akan menjadi guru besar
dalam Bahasa Arab dan menjadi dekan fakultasnya!" Doa itu kini telah
terealisasi.
Tak heran, setelah menamatkan Tsanawi dengan meraih peringkat ke-4 terbaik se-Republik Mesir, ia memilih melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar.
Tak heran, setelah menamatkan Tsanawi dengan meraih peringkat ke-4 terbaik se-Republik Mesir, ia memilih melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar.
Al-Hudhud
dan Karya Sastra
Di samping produktif menulis karya ilmiah dan kritikus sastra, al-Hudhud juga terjun menjadi aktor
menyemarakkan dunia sastra melalui karya-karya syairnya yang terkumpul dalam dalam
Dīwan al-Shadr dan Dîwan tahta al-Shudūr. Naluri (saliqah) bersyairnya ia asah sejak menjadi
mahasiswa. Ia kerap berparsitipasi dalam festival syair, termasuk dalam
solidaritas Palestina. Dari para penyair, ia mengidolakan Al-Mutanabbi, sang
pemilik pena setajam pedang dalam menuliskan syair-syair hikmah yang menjadi inspirasi baginya.
____
By DP SEMA-FU 2017-2018
Petugas Piket: Ibrahim Zaelani dan Medinfo
Caption: Muhammad Zainuddin & Misbahul Badri
Editor: Hamidatul Hasanah, dkk.
____
By DP SEMA-FU 2017-2018
Petugas Piket: Ibrahim Zaelani dan Medinfo
Caption: Muhammad Zainuddin & Misbahul Badri
Editor: Hamidatul Hasanah, dkk.
Komentar