Oleh: Muhammad Zainuddin Ruslan
Gerakan sekularisme merupakan sebuah arus revolusi di Eropa yang dilatar-belakangi faktor kuat, karena mampu melumpuhkan kekuatan gereja yang pada masa pertengahan berada pada puncak adikuasa.
Gerakan sekularisme merupakan sebuah arus revolusi di Eropa yang dilatar-belakangi faktor kuat, karena mampu melumpuhkan kekuatan gereja yang pada masa pertengahan berada pada puncak adikuasa.
Faktor itu lebih tepat dikatakan terpantik oleh gejala kemanusiaan (Zhāhirah Insāniyyah), bukan gejala
keilmuan (Zhāhirah 'Ilmiyyah). Sebab, fenomena kemanusiaan lebih kompleks mengikuti dinamika dan
problema yang dilalui oleh manusia, serta mengumpulkan faktor holistis yang
saling mempengaruhi gesekannya menjadi sebuah power yang tidak terbendung. Secara
garis besar, gejala kemanusiaan ini dapat diklasifikasikan pada dua faktor:
1. Faktor Internal (Al-'Āmil Al-Dākhiliy/Al-Mubāsyir): Rezim Gereja
Rezim gereja yang otoriter menguasai Eropa
kala itu telah merampas hak-hak asasi manusia secara zalim, baik pada aspek politik,
sosial, keilmuan dan ekonomi.
a. Hak politik:
-
Gereja tidak
memberikan kewenangan kepada masyarakat memberikan suara dalam mengangkat
pemimpin.
-
Pemimpin yang
terpilih tunduk dan menjadi boneka yang diatur segala kebijakannya oleh pihak
gereja. Pemerintahan berjalan dengan sistem teokratis dengan kewenangan penuh
di tangan tokoh agama, berpedoman pada kitab Injil yang telah dirusak
otentifikasinya oleh tangan pemilik kepentingan pribadi (al-kutub
al-munharifah).
b. Hak sosial-kemasyarakatan:
Otoritas gereja membentuk sistem kasta
dalam masyarakat, dengan kaum pendeta menempati kasta tertinggi yang harus
dihormati dan ditaati segala titahnya. Sistem ini meregangkan gap antara kaum
borjuis dan proletar. Sehingga terjadi kesenjangan sosial kuat dalam
masyarakat.
c. Hak Keilmuan:
Tak ada seorangpun yang boleh menentang
teori yang diterbitkan pemuka agama, seperti teori bumi datar dan tidak
berotasi. Banyak ilmuan penentang yang menjadi korban pembantaian, termasuk
Galileo Galilei. Tak tanggung-tanggung, mereka membuat intelejen khusus untuk
melacak gerakan penentang bawah tanah untuk dibasmi.
d. Dogmatis:
Para pendeta mendoktrin mangsanya, bahwa
mereka harus menerima segala kebijakan gereja dengan lapang dada dan senang
hati untuk mendapatkan surge kelak.
Kesalahan Menggeneralisir
Melihat konstelasi religio-kultural yang menggejala di Eropa sebagaimana
uraian di atas, Prof. Dr. Thāha Hibīsyi mengungkapkan dalam bukunya bahwa wajar jika banyak masyarakat yang
mulai jemu dan antipati terhadap agama. Kita memaklumi reaksi itu.
Tapi kita tidak bisa menerima untuk kemudian selanjutnya mereka
menggeneralisir fenomena gereja yang
terjadi di Eropa pada agama secara umum. Lalu membentuk paradigma bahwa agama
adalah candu, sehingga kaum sekularis ini sampai pada kesimpulan bahwa jalan
untuk mencapai kemajuan adalah dengan melepaskan jeratan agama, lalu mereka
mengangungkan sistem-sistem buatan mereka seperti sosialis, komunis, dll.
Ketika anda menjadi lelaki: "Apakah anda terima wanita mengatakan
bahwa semua lelaki sama, hanya karena oknum tertentu dari lelaki menyakiti hati
perempuan?"
Lagipula aksi antipati terhadap agama bukan pertama di masa reinassens,
melainkan telah ada sejak masa Yunani Kuno. Titik permasalahannya sama, yaitu
lantaran kitab suci mereka yang mereka jadikan pedoman telah dijamah oleh
tangan-tangan usil.
Pada Injil sendiri, Nabi Isa a.s. tidak pernah memerintahkan penulisan
injil, sebagaimana Nabi Muhammad memerintahkan penulisan Alquran. Pun Allah
tidak pernah menjamin keterpeliharaan Injil sebagaimana menjamin
keterpeliharaan Alquran. Maka, wajar jika Injil yang pada masa awalnya
diriwayatkan secara hafalan tidak selamat dari:
a. Hafalan itu pudar seiring masa.
b. Nash asli tercampur dengan penjelasan dan komentar.
Maka muncul banyak versi Injil yang berbeda-beda, seperti Injil Mata,
Injil Yohana, Marqes, Barnaba. Perbedaan yang sampai pada tataran saling
bertentangan (berbeda dengan perbedaan Qiroat Alquran yang tidak menyentuh
esensinya). Maka tidak tersisa Injil sebagaimana diturunkan Allah kepada Nabi Isa.
Walaupun diakui, di sana banyak kebaikan di samping keburukan.
Kesimpulannya, Eropa yang menganut Nasrani tidak pernah menerapkan hukum
Allah. Mereka berpedoman pada kitab tulisan mereka sendiri yang dinisbatkan
sebagai Kitab Suci Allah.
2. Faktor Eksternal (Al-'Āmil Al-Khārijiy/Ghair Mubāsyir): Umat Islam di Eropa.
Faktor ini memang mencengangkan. Mungkin anda bertanya-tanya bagaimana
mungkin Islam mempengaruhi meledaknya revolusi di Eropa yang kemudian berhasil
menjatuhkan reputasi gereja yang semula begitu kuat!?
Agar tidak dituduh subjektif dan fanatik membangga-banggakan prestasi
kaum Muslimin, Prof. Dr. Thāha mengangkat kesaksian ilmuan yang merupakan sejarawan kawakan dari
kubu Barat seperti Gustave Le Bon dalam bukunya Arab Civilization yang
ditulis dengan bahasa yang luar biasa dan objektif.
Tiga Jalur Masuk Islam ke Eropa: Selat Gibraltar, Pulau Sicilia dan Perang
Salib
Ketika ekspansi wilayah gencar dilakukan oleh kaum muslimin pada masa
Dinasti Umayyah, tidak mudah bagi mereka menembus Eropa. Setelah melalui
perjuangan alot, kaum muslimin sampai di Eropa melalui tiga jalur:
1. Selat Gibraltar
Thariq bin Ziyad menyebarangi selat yang memisahkan daratan Asia dan
Eropa melalui ujung Maroko. Setelah berlabuh di bawah langit biru Spanyol,
pasukan muslimin membantu penduduk Spanyol bebas dari penjajahan Raja Roderic.
Setelah pertempuran melawan penjajah usai, hal pertama yang mereka lakukan adalah
menggencatkan senjata. Kemudian kaum muslimin berbaur bersama penduduk setempat
dengan rukun, bercocok-tanam, berjual-beli dan mu'amalah dengan akhlak mulia.
Penduduk Eropa yang kala itu terbelakang menerima dengan baik kaum ras
Arab yang berperadaban dan membawa cahaya kemuliaan Islam ke negerinya. Kaum
muslimin tinggal dan berkembang pesat di Spanyol lebih tiga abad lamanya.
Selanjutnya mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan sekolah dan
universitas. Di universitas ini, pelajar datang dari berbagai negeri di Eropa. Sehingga
mereka pulang ke negeri mereka membawa ilmu dan peradaban gemilang. Bahkan,
Fransis Becon dan Rogers Becon dua ikon utama dalam revolusi teknologi di Eropa
ditengarai terdidik dari alumni universitas ini.
2. Kepulauan Sicilia (Shaqalliya)
Pulau Sicilia adalah pulau yang terletak di tengah laut Mediterinia.
Letaknya yang strategis dan tanah yang terkenal subur, menjadikan Muawiyah
kepincut untuk memakmurkan pulau ini pada masa kekuasaannya. Namun obsesi
Muawiyah itu baru terwujud pada masa Abbasiyah.
Gustave mengatakan, "Apabila kalian ingin melihat pengaruh kaum
muslimin di Eropa lihatlah Sicilia, bagaimana perubahannya sebelum diduduki
kaum muslimin, ketika mereka duduki dan setelah mereka pergi.
Sebelum diduduki kaum muslimin: Sicilia terbelakang dan tidak mampu
memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang ada. Ketika diduduki oleh umat Islam,
wilayah ini menjelma menjadi makmur dan mengalami kemajuan pesat. Setelah Umat
Islam diusir, para ilmuan disana menyesali kepergian kaum muslimin dan
mengatakan: "Kalau sekiranya mereka masih memipin kita, daerah kita ini
akan menjadi kota terhebat dan terindah di dunia."
Umat Islam hidup berabad-abad lamanya di Eropa, terjadi kemajuan pesat
pada pertanian, arsitektur, ekonomi dan sosial. Bahka menyaingi peradaban Islam
di bagian timur yang telah maju terlebih dahulu. Dari sini pengaruh umat Islam
cukup kuat mendorong terjadinya tsaurah (pemberontakan) terhadap
otoritas gereja.
Penjelasan Prof. Dr. Thaha Al-Dusuqi Hibisyi dan Prof. Dr. Jamal Afifi dari Diktat Mata Kuliah Tayyarat Tingkat II Universitas Al-AzharSayangnya, kaum Qosāwisah (pemuka gereja) murka dengan pengaruh umat Islam. Mereka berupaya untuk
mengusir ras ini dari tanah mereka, bukan atas kecurigaan pelakuan makar,
melainkan atas motif kebencian. Mereka mempropaganda rakyat Eropa bahwa kaum
muslimin memiliki misi untuk merampas tanah mereka.
Padahal Islam tidak menampakkan kekerasan dan perampasan hak selama di
sana. Jikalaupun benar bahwa Islam berkuasa, itu bukan karena paksaan melainkan
karena penduduk terpesona oleh keadilan dan keindahan perilakunya.
Kemudian, muncul perintah resmi bahwa setiap yang beragama Islam dibunuh
dan diberikan siksaan yang pedia kecuali yang bersedia berpindah agama.
Disini Gustave Le Bon meratapi nasib kaum Muslimin yang dibalas dengan
pembalasan Sinimmar, sembari mengatakan: "Aduhai mengapa kaum Muslimin
saat itu ke Spanyol, mengapa bukan ke negeriku di Prancis, agar negeriku
beruntung disinari cahaya mereka."
Disini Prof. Dr. Taha mengingatkan agar jeli membaca sejarah:
"Jangan mengambil sejarah dari buku 1001 malam, atau buku-buku yang dibuat
oleh orientalis, carilah dari sumber-sumber yang mengulas objektif."
Komentar