Oleh : Fahim Khasani*
Siapa yang tidak pernah mendengar imam Al-Ghazali, sosok yang ‘alim mausu’i itu. Tak kurang dari 200 karya dari berbagai macam disiplin ilmu telah ditulisnya. Kepakarannya dalam bidang Ushul fiqh tidak diragukan lagi. Melalui karyanya Al-Mustashfa fi ilm al-Ushul, Al-Ghazali berhasil mengharmonisasikan Mantiq Aristoteles ke dalam Ushul fiqh yang terejawentah dalam qiyas (silogisme). Padahal di sisi lain pada masanya banyak sarjana Islam klasik yang menentang peredaran Mantiq bahkan mengaharamkannya.
For Gema Bulletin, Tanta
*Ketua Sema-FU 2011-2012
Siapa yang tidak pernah mendengar imam Al-Ghazali, sosok yang ‘alim mausu’i itu. Tak kurang dari 200 karya dari berbagai macam disiplin ilmu telah ditulisnya. Kepakarannya dalam bidang Ushul fiqh tidak diragukan lagi. Melalui karyanya Al-Mustashfa fi ilm al-Ushul, Al-Ghazali berhasil mengharmonisasikan Mantiq Aristoteles ke dalam Ushul fiqh yang terejawentah dalam qiyas (silogisme). Padahal di sisi lain pada masanya banyak sarjana Islam klasik yang menentang peredaran Mantiq bahkan mengaharamkannya.
Dunia Teologi pun tak luput dari pandangan Al-Ghazali. tak heran berbagai buku Teologi lahir dari tangan emasnya, semisal Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Qisthas al-Mustaqim, Fadhaih al-Bathiniyyah dan lain sebagainya. Dari kesekian karya yang ia tulis nampaknya Ihya ulumuddin menjadi magnum opus karyanya yang lebih ke arah kajian Teosofi itu, atau lebih tepatnya Fikih Batin.
Sebagai seorang ulama besar
yang kaya dengan berbagai karya, sosok Al-Ghazali banyak diabadikan ke
dalam literatur-literatur bersifat biografi. mereka menyebutkan bahwa
Al-Ghazali adalah seorang faqih syafi’i, ushuly, mutakallim, faylasuf, shufy.[1] Tak ada satu pun yang menyebutkan bahwa ia seorang mufassir. Mungkin ini karena Al-Ghazali tidak menulis karya yang spesifik membahas tentang tafsir.
Tapi agaknya alasan diatas
kurang tepat. Dr Muhammad Al-Raihani, seorang pemerhati Tafsir dan
kajian keislaman asal Maroko telah mendobrak paradigma klasik tentang
Al-Ghazali. Ia berhasil menggambarkan sosok Al-Ghazali bukan hanya
sebagai seorang faqih syafi’i, ushuly, mutakallim, failusuf, dan shufy sebagaimana di sebutkan oleh buku-buku siyar wa tarajum, tapi ia juga seorang mufassir
progressif pada zamannya. Ia berhasilkan mengumpulkan interpretasi
Al-Ghazali atas ayat-ayat ilahi yang berserakan diberbagai karyanya,
terutama Ihya Ulumiddin.[2]
Al-Ghazali dalam
menginterpretasikan teks Al-Qur’an menggunakan metode yang sangat
brilliant. Terbukti dari caranya berinteraksi dengan teks:
Al-Naql adalah perangkat
pertama untuk memahami dzahir tafsir Al-Qur’an serta memperluas
pemahaman. Selain untuk menguraikan gharaib yang ada di dalamnya, Ia
juga sebagai batu loncatan untuk mengungkap rahasia dan maqasid
tersembunyi yang dikandungnya.[3]
Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Al-Ghazali berusaha mensinergikan antara al-‘Aql dengan al-Naql untuk menghasilkan tafsir yang progresif dan sesuai dengan maqasid
yang diusung oleh Al-Qur’an. Sikap Al-Ghazali yang demikian telah
memukau Muhammad Abduh dan mewarnai banyak pemikirannya terutama dalam
interpretasi Al-Qur’an yang tertuang dalam majalah dan tafsir Al-Manar
(kemudian dilanjutkan oleh murid kesayangannya Rasyid Ridha). Jika
dianalisa lebih dalam sebenarnya semangat pembaharu yang digaungkan
Abduh tak bisa lepas dari dua sosok cendekiawan klasik; Al-Ghazali dan
Ibn Taimiyyah, dan Jamaluddin Al-Afghani.[4]
Metode interpretasi Al-Ghazali
Sebagai seorang ulama multi
disipliner Al-Ghazali sangat kaya dengan berbagai metode pembacaan.
Al-Qur’an pun dibaca dari berbagai sudut. Ia termasuk ulama yang
mempunyai gagasan bahwa tidak cukup menggunakan al-Naql dalam
upaya pembacaan terhadap Al-Qur’an. Diperlukan nalar yang hidup dan
terbuka untuk membacanya. Oleh karenanya dua manhaj sekaligus digunakan
Al-Ghazali untuk mengarungi samudera makna kalam ilahi; bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’y.
Sebagaimana tafsir bi al-Ma’tsur
pada umumnya, terlebih dulu ia memadukan ayat-ayat yang mempunyai
korelasi makna sehingga makna yang dikehendaki bisa terdeteksi. Metode
ini adalah metode yang paling shahih untuk interpretasi Al-Qur’an.[5]
Selanjutnya memadukan ayat tersebut dengan Hadits sebab ia adalah syarh
al-Qur’an. Namun di sini mulai timbul masalah, seiring hujan kritik
yang diarahkan kepada Al-Ghazali mengenai marwiyat yang ada di berbagai karyanya. Ulama kawakan semisal Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim dan Qadli ‘iyadh menganggap Al-Ghazali dha’if dalam permasalahan Hadits. Bahkan untuk melancarkan kritikannya Ibn al-Qayyim menulis kitab khusus berjudul I’lam al-Ahya’ fi Aghlath al-Ihya demi membongkar kesalahan Al-Ghazali dalam Ihya ulumiddin. Lebih ekstrem lagi Qadhi ‘iyadh mengeluarkan fatwa untuk membakar kitab masterpiece Al-Ghazali itu.[6]
Tuduhan-tuduhan itu nampaknya langsung ditampik oleh al-Hafidz Al-‘Iraqy. Dengan melakukan takhrij atas hadits-hadits dalam Ihya. Dia pun secara tegas menjamin bahwa hadits tersebut bukanlah maudhu’. Terlebih dipenghujung usianya, Al-Ghazali mengarahkan perhatiannya khusus seputar hadits.[7]
Selain Al-Qur’an dan Hadits, ia juga menggunakan ujaran-ujaran Sahabat
dan Tabiin seputar ayat tersebut untuk lebih bisa menguak makna yang
mendalam. Ketiga langkah ini menjadi bukti bahwa Al-Ghazali tidak bisa
dipandang sebelah mata khususnya di belantika kajian Tafsir.[8]
Al-Ghazali tergolong berani dalam mengungkapkan gagasannya mengenai tafsir bi al-Ra’y. Sementara, di waktu yang sama muncul penolakan keras atas upaya tafsir itu. Hujatan demi hujatan diluncurkan demi menyerang ashab al-Ra’y. Salah satu yang menjadi korban adalah Fakhruddin al-Razi. Komentar pedaspun dialamatkan untuk tafsirnya; fihi kullu syaiin illa al-Tafsir. Namun Al-Ghazali dengan tegas mengatakan:
ketahuilah sesiapa yang
beranggapan makna Al-Qur’an hanya boleh digali dari terjemah dzahir
nash, tak lebih ia hanya akan benar untuk dirinya sendiri, bukan untuk
seluruh makhluk ciptaanNya. Bahkan beberapa riwayat, diantaranya
mengisyaratkan pemilik nalar untuk menggali dan memahami makna
Al-Qur’an secara luas dan mendalam.[9]
Menurutnya, selama al-Ra’y
yang digunakan tidak keluar koridor dan prinsip mendasar Al-Qur’an dan
Hadits tidak menjadi masalah, bahkan dianjurkan. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa ada tafsir bi al-Ra’y yang memang dilarang. Ia pun mengamini hal itu. Dalam kaca mata Al-Ghazali ada dua varian bi al-Ra’y yang terlarang: Pertama,
menafsiri teks dengan mengedepankan hawa nafsu dan ambisinya. Laku yang
demikian hanyalah upaya mencari pembenaran atas ambisi, bukan mencari
kebenaran yang hakiki. Kedua, terlalu dini dalam memaknai teks,
hanya pembacaan melalui arti bahasa tanpa berkaca pada riwayat yang ada.
Sehingga makna yang dihasilkan cenderung prematur, rapuh dan tidak
mendasar.[10]
Keistimewaan Tafsir Al-Ghazali
Pemahaman tentang kalam Tuhan
adalah hasil kontemplasi yang panjang seorang pengkaji. itu mengapa
kebanyakan literatur tafsir ditulis sebagai puncak tangga intelektul dan
kesadaran mereka. Mafatih al-Ghaib misalnya, maha karya agung
hasil olah pikir Fakhruddin al-Razi ini ditulis dipenghujung usianya.
Setelah sebelumnya intens menggeluti dunia Ushul fiqh, Filsafat dan
Teologi yang sarat perdebatan itu. sederet nama mufassir agung
agaknya tak jauh beda, semisal Al-Zamahsary, Al-Qurthuby, Jalaluddin
al-Mahally dan Muhammad Abduh. Oleh karenanya tidak heran jika sebagian
kitab tafsir tidak sampai paripurna ditulis oleh muallif, lalu dilanjutkan oleh muridnya.
Demikian pula Tafsir Al-Ghazali, ia
tidak sampai menafsirkan seluruh kalam ilahi. Ia hanya mengambil
beberapa ayat yang sesuai dengan obyek kajian yang ia tulis. Meski
begitu, gagasan yang dituangkan dalam interpretasinya cukup menjadi
obat. Kekayaan data dan kapabilitasnya yang multi disipliner menjadikan
Tafsir ini mempunyai nilai yang berbeda. Itu terlihat kala ia memulai
mengupas surat Al-Fatihah. Dengan apik ia mengupas satu persatu muatan yang ada di dalamnya. Perdebatan perihal Basmalah pun tak luput dari perhatiannya. Semua akar masalah basmalah ia kemukakan dengan jernih. Kesetiaannya terhadap madzhab Syafi’I sangat kentara pada tataran ini. terbukti pendapat Syafi’iyyah yang ia pilih dan dianggap rajih.[11]
Pemahamannya yang mendalam terhadap terma Teosofi nampak jelas kala ia mendedah ayat ke-5 surat Al-Fatihah.[12] Menurutnya ayat tersebut mencaku dua hal; pertama, laku ibadah yang murni karena Allah Swt. Sebab itu merupakan ruh shirat al-Mustaqim. Kedua, iman atas keesaan Allah Swt. Pada ayat ke-6,[13]
ia mengisyaratkan bahwa doa yang diajarkan Tuhan kepada manusia pertama
kali adalah doa memohon hidayah (petunjuk). Dimana petunjuk Tuhan
adalah inti dari segala laku ibadah.[14]
Dekorasi penyampaian yang
rapi menjadi keistimewaan tersendiri dari tafsir ini. sehingga pembaca
cukup mudah untuk menangkap gagasan yang diusung oleh penulis. Namun
yang sangat disayangkan tafsir ini tidak lengkap dan tidak utuh mencakup
semua kalam Tuhan. Sehingga seringkali ada ayat yang terlewatkan dari
pandangannya. Meski demikian tafsir agung anggitan Al-Ghazali ini tetap
mempunyai nilai dan keistimewaan tersendiri. Dan dengan munculnya Tafsir
ini, kiranya pantas untuk menyematkan gelar mufassir dibelakang namanya. Menambah rentetan gelar yang telah disematkan oleh para ulama kurang lebih 9 abad silam. Wallahu A’lam.
Ied Al-Adha, Ahad, 1432 H/2011-11-06
B-2, Nasr City, Cairo-Egypt*Ketua Sema-FU 2011-2012
Komentar