Oleh : Akhmad ikhwani, Lc.
Ali ibnul Madini rahimahullah berkata, “Memahami hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kredibilitas para perawi adalah setengah ilmu”.
A. Pendahuluan
Obyek kajian dalam ilmu hadits sangat beragam. Ibnu Shalah (w. 643 H) dalam kitab Mukadimahnya membagi obyek kajian dalam ilmu hadits menjadi enam puluh lima cabang ilmu. Sedangkan Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam Tadrîb ar-Râwi membaginya menjadi sembilan puluh tiga cabang. Bahkan sejumlah obyek kajian dalam ilmu hadits ini bisa berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu dengan sub-sub kajian yang cukup luas. Dengan jumlah obyek kajian yang terbilang banyak ini sangat wajar jika warisan para ulama dalam kajian hadits membanjiri perpustakaan khazanah keilmuan Islam.
Banyaknya obyek dalam ilmu hadits ini paling tidak mengindikasikan kedetailan dan rumitnya kajian dalam bidang ini. Di sisi lain, ini juga menunjukkan tingkat keseriusan yang luar biasa dari para muhadditsin dalam mengkaji ilmu ini. Hal ini tentu cukup beralasan, karena tujuan dari ilmu ini adalah membuktikan keotentikan hadits-hadits Nabi saw. dan menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya yang merupakan salah satu sumber utama dalam ajaran Islam.
Dengan sekedar mengetahui tingkat kedetailan dan kerumitan dalam ilmu ini, seyogyanya siapapun tidak akan mudah bersikap skeptis terhadap hasil-hasil kajian dan riset para ulama dalam bidang ini. Di pihak lain, kerumitan kajian dalam ilmu ini tidak seharusnya membuat para pelajar kecut untuk mendalami ilmu ini.
Dalam tulisan ini, akan penulis paparkan secara ringkas tentang langkah-langkah metodologis-praktis yang dapat diikuti oleh para pengkaji untuk mendalami ilmu ini berdasarkan arahan para pakar dalam bidang ini.
B. Memahami Otoritas Sunnah
Pemahaman tentang otoritas Sunnah (Hujiyatus Sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, dan menempati urutan kedua dalam anatomi hukum Islam, merupakan unsur inheren dalam kajian sunnah. Menurut hemat penulis, memahami otoritas Sunnah merupakan prioritas utama sebelum mengkaji hadits dan ilmunya secara lebih mendalam. Hal ini dalam rangka memformat kerangka berfikir yang mapan bagi pengkaji sunnah tentang posisi Sunnah.
Problem yang cukup signifikan terkadang muncul ketika seorang pengkaji tidak memiliki dasar pemahaman yang mapan tentang otoritas Sunnah ini. Dalam hal ini fenomena Quraniyyun dan ingkarus sunnah tentu bukan hal yang asing.
Adapun ulama yang pertama kali mengkaji secara khusus bidang ini adalah Imam Syafi’i dalam kitab Risalahnya. Kemudian disusul oleh karya para ilmuan lain yang tidak sedikit jumlahnya.[2]
C. Mengkaji Ilmu Hadits
Sebagai langkah awal dalam mengkaji ilmu hadits, para pakar telah menawarkan metode praktis yang perlu dilakukan oleh pengkaji ilmu ini. Imam al-Iraqi, demikian juga as-Suyuthi, menyatakan hendaknya pengkaji ilmu ini menelaah tuntas sebuah kitab ilmu hadits sehingga dia dapat mengetahui dan memahami berbagai obyek kajian di dalamnya.[3] Karena beragamnya kitab ilmu hadits, maka hendaknya proses ini dilakukan secara gradual, dari kitab yang ringan dilanjutkan ke kitab-kitab yang lebih berat.[4] Hal ini penting demi memudahkan proses penguasaan dalam ilmu ini.
Sebagai gambaran umum tentang obyek-obyek kajian dalam ilmu hadits dan dalam rangka mempermudah proses mengkajinya, berikut ini akan kami paparkan secara ringkas tentang klasifikasi kajian dalam ilmu ini.
Para pakar dalam ilmu hadits mengklasifikasikan obyek kajian dalam ilmu hadits ke dalam dua kelompok besar, yaitu ilmu riwâyah dan dirâyah. Secara umum, ilmu riwâyah mencakup berbagai tema yang berkaitan dengan metode dan kaedah periwayatan hadits (transmisi hadits), seperti tahammul (pengambilan hadits) dan ada` (periwayatan hadits)[5]. Adapun ilmu dirâyah, obyek kajiannya lebih terfokus pada metode penelitian kredibilitas perawi, otentifikasi hadits dan pemahaman terhadap matan hadits.[6]
Karena globalnya dua klasifikasi di atas, maka untuk lebih mudahnya berbagai kajian dalam ilmu hadits dapat diklasifikasikan secara lebih terperinci sebagai berikut[7]:
1. Kajian-kajian yang Berkaitan dengan Pembuktian Keotentikan Hadits dan Penelitian Sanad
Kategori ini sengaja penulis bagi menjadi dua bagian, yaitu kajian yang berkaitan dengan pembuktian keotentikan hadits dan penelitian sanad. Hal ini karena walaupun penelitian sanad merupakan unsur dominan dalam pembuktian keotentikan hadits, namun terdapat sejumlah obyek kajian dalam sanad yang tidak berfungsi secara signifikan terhadap pembuktian otentifitas hadits tersebut. Seperti hadits musalsal, sanad âli, sanad nâzil, mutawatir, masyhur, mustafîdh dan ‘aziz.
Adapun pembuktian keotentikan hadits, maka ia bisa disebut sebagai salah satu muara akhir dari berbagai obyek kajian dalam ilmu hadits. Namun, para penulis dalam ilmu ini pada umumnya meletakkan tema-tema ini di awal kitab. Hal ini cukup beralasan mengingat pengkajian terhadap berbagai sub dalam tema-tema yang lain memerlukan pemahaman terlebih dahulu tentang berbagai kaedah dalam penelitian keotentikan hadits serta metode para muhadditsin di dalamnya. Oleh karena itu, sebelum memasuki tema-tema kajian selanjutnya, seyogyanya pengkaji memahami secara mendalam terhadap berbagai tema dan sub tema dalam klasifikasi ini.
Di antara tema yang tercakup dalam kategori ini adalah kajian tentang hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if serta berbagai macam bagian yang ada di bawahnya, seperti hadits munqathi’, mursal, mu’dhal, mudallas, maudhu’, ziyadat tsiqah, al-mazîd fi muttashil as-sanad dan sebagainya. Dalam proses penelitian berbagai obyek dalam kategori ini metode takhrij merupakan sarana pembantu yang sangat penting.
2. Obyek-obyek Kajian yang Berkaitan dengan Perawi Hadits (Transmitter)
Fungsi obyek-obyek kajian dalam kategori ini secara umum menghantarkan pengkaji untuk mengetahui identitas perawi dan kredibilitasnya dalam transmisi hadits. Pengetahuan tentang identitas perawi dan kredibilitasnya sangat penting dalam penelitian keotentikan hadits.
Di antara tema yang tercakup dalam kategori ini adalah ilmu al-jarh wat ta’dîl, shifat man tuqbalu riwâyathu waman turad, man ikhtalatha fî akhir ‘umrihi, al-mudallisûn, ilmu thabaqat, ma’rifat ash-shahâbah, ma’rifat at-tâbi’în, al-mubahamât, al-asmâ` wal kunâ dan masih banyak yang lainnya.
3. Obyek-obyek Kajian yang Berkaitan dengan Transmisi Hadits
Obyek-obyek kajian yang tercakup dalam klasifikasi ini berkaitan dengan metode transmisi hadits, baik dalam pengambilannya (tahammul) maupun periwayatannya (ada`). Dengan menelaah obyek-obyek kajian dalam kategori ini, pengkaji akan mengetahui metodologi yang detail yang diterapkan oleh para ulama dalam menerima, mencatat dan menyampaikan hadits. Pengkaji juga akan melihat kekuatan spirit yang luar biasa yang mendorong para perawi mencurahkan segala upayanya untuk menjaga dan menyebarkan hadits dengan amanah dan penuh kehati-hatian.
Di antara obyek-obyek kajian yang tercakup dalam kategori ini adalah etika pelajar atau pencari hadits, etika muhaddits, tata cara mendengar dan menerima hadits, karakteristik dan syarat transmisi hadits dan tata cara penulisan hadits.
4. Obyek-obyek Kajian yang Berkaitan dengan Matan Hadits
Obyek-obyek kajian dalam kategori ini dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama berkaitan dengan pengucapnya dan yang kedua berkaitan dengan piranti untuk memahami matan hadits.
Obyek-obyek kajian dalam kategori pertama adalah tentang hadits qudsi, hadits marfû’, hadits mauqûf dan hadits maqthû’. Keempat pembagian ini adalah berdasarkan sumber pengucap hadits tersebut.
Adapun kategori yang kedua, yaitu yang berkaitan dengan piranti-piranti yang diperlukan untuk memahami matan hadits, maka akan kami bahas secara terpisah dalam sub tema tentang metodologi mengkaji hadits berikut ini.
E. Metodologi Mengkaji Hadits
Sebagai tahapan awal dalam mengkaji hadits, pengkaji dianjurkan untuk banyak berinteraksi dengan kitab-kitab yang mengkodifikasi hadits-hadits Nabi saw.. Hal ini bertujuan agar pengkaji dapat merekam sebanyak mungkin hadits Nabi saw. dalam memorinya, sehingga mempermudah proses pemahaman terhadap hadits-hadits Nabi saw. secara komprehensif. Mengingat banyaknya kitab yang mengkodifikasi hadits-hadits Nabi saw., maka para ulama, seperti al-Iraqi[8] dan as-Suyuthi[9], menyarankan agar kitab bacaan pertama adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, lalu disusul Kitab-kitab Sunan, kemudian kitab-kitab lainnya.[10]
Adapun mengkaji matan hadits, atau yang lazim disebut dengan memahami fiqih hadits, maka ia memerlukan piranti yang cukup banyak. Namun dengan banyaknya kitab-kitab syarah hadits maka upaya memahami hadits menjadi lebih ringan. Adapun piranti-piranti yang diperlukan untuk memahami hadits, maka secara umum dapat dirangkum dalam beberapa sub berikut ini:
1. Gharibul Alfâzh hadits
Gharib alfâzh hadits adalah lafal-lafal di dalam matan hadits yang tidak mudah difahami karena jarang digunakan. Mengetahui makna setiap lafal di dalam matan hadits merupakan langkah pertama untuk memahami hadits.
Jika terdapat penjelasan bagi lafal yang gharib tersebut di jalur lain, maka hal ini akan lebih bagus. Oleh karena itu, proses pengumpulan jalur-jalur periwayatan hadits yang bersangkutan sangat diperlukan. Dalam hal ini, metode takhirj akan sangat membantu.
Jika tidak terdapat penjelasan dalam jalur lain, maka pengkaji dapat menggunakan sarana pembantu berupa kitab-kitab gharib hadits. Kitab gharib hadits yang paling luas cakupannya adalah an-Nihâyah fî gharîb al-hadîts wal atsar karya Ibnu Atsir (w. 606H).
2. Asbab Wurûd Hadits
Posisi Asbabul wurud untuk memahami hadits adalah seperti Asbabun nuzul untuk memahami Alquran al-Karim. Memahami Asbabul wurud merupakan sarana penting untuk memahami hadits, karena dengan mengetahui sebab dari sesuatu maka seseorang akan sangat terbantu untuk memahami musabbabnya, yang dalam hal ini adalah hadits yang disabdakan Rasulullah saw..
Asbabul wurud hadits terkadang disebutkan di dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu tentang Islam, Iman, Ihsan dan tanda-tanda hari kiamat. Sebab wurud hadits ini disebutkan langsung dalam hadits tersebut, yaitu kedatangan malaikat jibril dan pertanyaannya tentang ketiga hal tersebut.[11]
Namun terkadang ia disebutkan di hadits yang sama namun dalam jalur lain. Contohnya adalah hadits al-Kharâj bidh Dhaman[12]. Dalam jalur lain disebutkan bahwa sebabnya adalah peristiwa seseorang yang membeli budak dari orang lain namun setelah beberapa hari budak itu berada di tempatnya, dia menemukan cacat padanya. Maka dia mengadukan kepada Rasulullah saw., dan Rasulullah saw. pun mengembalikan budak itu kepada pemiliknya yang pertama. Namun penjualnya tidak terima karena menurutnya si pembeli telah menggunakan budaknya. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Al-Kharâj bidh Dhamân”.[13]
Di sini metode takhrij kembali sangat diperlukan untuk membantu mengumpulkan jalur-jalur hadits tersebut. Adapun di antara kitab khusus yang menghimpun Asbabul wurud hadits ini adalah al-Bayân wat ta’rîf fî asbâb wurûd al-hadîts asy-syarîf karya Ibrahim bin Muhammad ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah (w. 1120H). Kitab ini bisa dikatakan sebagai karya terlengkap dalam bidang ini.
3. Nasikh Mansukh
Mengetahui nasikh dan mansukh dalam hadits Nabi saw. sangat penting untuk dapat memahaminya dengan baik. Tanpa pengetahuan tentang nasikh dan mansukh maka akan terjadi kerancuan dalam memahami hadits-hadits Nabi saw.. Pada dasarnya memahami nasikh dan mansukh dalam hadits ini cukup rumit, mengingat harus adanya penguasaan terhadap historiografi hadits-hadits Nabi saw.. Oleh karena itu sangat wajar jika Imam az-Zuhri mengatakan, “Para fuqaha kesulitan dan tidak mampu mengetahui nasikh dan mansukh dalam hadits Nabi saw.”.[14]
Namun berkat jasa para ulama yang telah menelurkan karya-karya dalam bidang ini, maka kajian dalam nasikh dan mansukh dalam hadits pun menjadi lebih mudah. Adapun kitab yang cakupannya terluas dalam bidang ini adalah al-I’tibâr fin nâsikh wal mansûkh minal atsar karya Imam Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (w. 584H).
4. Mukhtaliful Hadits dan Musykilul Hadits
Mengetahui mukhtaliful hadits dan musykilul hadits juga merupakan sarana penting untuk dapat memahami hadits-hadits Nabi saw. dengan benar. Sedangkan nihilnya pengetahuan tentang kajian ini seringkali berujung pada penolakan terhadap hadits-hadits Nabi saw. yang shahih sebagaimana banyak yang terjadi saat ini.[15]
Kajian Mukhtaliful hadits dan Musyikilul hadits ini merupakan kajian yang cukup sulit, karena ia memerlukan penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu yang cukup banyak. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Ibnu Shalah mengatakan bahwa orang-orang yang menguasai kajian ini hanyalah para imam yang menguasai hadits dan fiqih serta para pakar ushul fiqih yang mengerti makna-makna yang detail.[16]
Sejumlah ulama tidak membedakan antara Musykilul Hadits dan Mukhtaliful hadits ini, sehingga mereka menggabungkannya dalam satu kitab, seperti Ibnu Qutaibah dalam Ta`wîl Mukhtalifil Hadîts[17] dan ath-Thahawi dalam Ta`wîl Musykilil Hadîts. Namun jika diamati maka akan nampak perbedaan antara keduanya. Untuk Musykil hadits, dapat didefinisikan sebagai hadits yang sanadnya kuat namun makna eksplisitnya tidak bisa diterima, baik karena kontradiksi dengan akal, indera, ilmu pengetahuan atau perkara yang sudah pasti dalam agama ini, sehingga terkadang diperlukan takwil untuk memahaminya.[18] Sedangkan Mukhtalif hadits adalah dua hadits atau lebih yang makna eksplisitnya kontradiksi, sehingga perlu dikompromikan atau ditarjih salah satunya.[19]
Contoh dari Musykilul Hadits adalah kisah Nabi Musa ‘alaihis salâm yang memukul mata malaikat maut hingga pecah ketika mendatanginya untuk mencabut nyawanya.[20] Adapun contoh Mukhtaliful Hadits adalah hadits tentang mengangkat tangan dalam doa seperti yang diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengangkat tangan ketika doa kecuali ketika shalat Istisqa`[21], namun di sisi lain terdapat banyak hadits yang menyebutkan bahwa beliau mengangkat tangan ketika berdoa.[22]
Dari sisi penyelesaiannya, Musykil hadits lebih banyak bertumpu pada perenungan dan penakwilan.[23] Sedangkan dalam Mukhtalif hadits, para ulama telah menetapkan beberapa metode untuk menyelesaikannya. Yaitu apabila hadits-hadits itu dapat dikompromikan, maka digunakan metode jam’ (kompromisasi)[24]. Apabila tidak bisa, maka jika diketahui urutan historisnya, maka digunakan metode nasikh dan mansukh. Namun jika tidak diketahui urutan historisnya, maka digunakan metode tarjih.
Adapun kitab yang pertama kali ditulis dalam kajian ini adalah kitab Mukhtaliful hadîts karya Imam Syafi’i (w.204H). Kemudian disusul Ta’wîl mukhtalifil hadîts karya Ibnu Qutaibah ad-Dinawari (w. 276 H),[25] Ta`wîl Musykilil Hadits karya Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) dan Musykilul hadîts karya Ibnu Faurak (w. 406).
Penutup
Bagaimanapun untuk dapat menguasai disiplin ilmu tertentu diperlukan ketekunan dan keseriusan. Khusus untuk kajian hadits dan ilmunya, diperlukan ketekunan dan keseriusan ekstra agar dapat memahami seluk beluk sub-sub kajian yang ada di dalamnya. Tentu ini merupakan hal yang wajar mengingat besarnya peran berbagai obyek kajian dalam disiplin ini untuk dapat memahami agama ini dengan baik.
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat walaupun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu koreksi dan masukan sangat diharapkan dari siapapun yang membacanya.
Wallahu a'lamu bish shawâb
Referensi:
[1] Syamsuddin Ad-Dzahabi, Siyar A’lâm Nubalâ`, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, 1993, Vol. XI, hlm. 48.
[2] Karya kontemporer yang sangat bagus dalam kajian ini adalah kitab Hujjiyat as-Sunnah, karya Dr. Abdul Ghani Abdul Khaliq.
[3] Lihat al-Iraqi, Alfiyah al-Hadits, ‘Alam al-Kutub, Beirut, bait ke 752, hlm 41. Lihat pula as-Suyuthi, Alfiyah al-Hadits, bait ke 597 (dalam Syarh Alfiyah Suyuthi fil hadits, karya Syekh Muhammad bin Ali al-Ethiopi al-Walluwi), Maktabah al-Ghuraba` al-Atsariyyah, Saudi Arabiya, 1993, Vol. II, Hlm. 130.
[4] Dr. Hamzah Malibari mengklasifikasikan kitab-kitab ilmu hadits menjadi dua, yaitu referensi-referensi asli dan referensi-referensi pembantu. Di antara referensi-referensi asli adalah ar-Risâlah karya Imam asy-Syafi’I, Kitab at-Tamyîz dan Mukadimah Shahih Muslim karya Imam Muslim, Risâlah Abi Dawud ilâ Ahli Makkah, Penutup Kitab Sunan Tirmidzi, al-Muhaddits al-Fâshil baina ar-Râwi wal-Wâ’I karya Romuharmazi, Ma’rifat Ulum al-Hadits karya al-Hakim dan al-Kifâyah fî ‘Ilmi ar-Riwâyah karya al-Khathib al-Baghdadi. Adapun referensi-referensi jenis kedua adalah Nukhbah al-Fikr, karya al-Hafizh Ibnu Hajar, Tadrîb ar-Râwi karya Imam Suyuthi, Fath al-Mughîts karya as-Sakhawi, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts karya Dr. Nuruddin Itr, Syarh ‘Ilal karya Ibnu Rajab dan masih banyak yang lainnya. (Lihat Hamzah Malibari, ‘Ulûm al-Hadîts fî Dhaui Tathbîqât al-Muhadditsîn, Dar Ibnu Hazm, Beirut, hlm. 26-27). Dalam hal ini pengkaji sebaiknya memulai dari referensi-referensi pembantu terlebih dahulu.
[5] Ini merupakan definisi Ibnul Akfani sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi, juga isyarat dari al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menyebutkan tentang kitab-kitab dalam Ilmu riwayah. (Lihat Tadrib ar-Rawi, Dar al-Hadits, Cairo, 2004, Tahqiq Muhammad Aiman bin Abdillah asy-Syabrawi, hlm. 24 dan Nuzhat an-Nazhar, tahqiq Abdullah bin Dhaifillah ar-Rahili, Riyadh, 2001, hlm. 32 ).
Namun beberapa penulis lain, seperti Haji Khalifah mendefinisikan ilmu riwayah ini sebagai ilmu yang juga membahas tentang bersambung tidaknya sanad, kredibilitas para perawi dan sebagainya. (Lihat Kasyf azh-Zhunûn ‘an Asâmî al-Kutûb wal Funûn,Dar Ihya` at-Turâts al-Arabi, Libanon, hlm. 358).
[6] Definisi ini seperti yang dipaparkan oleh Ibnul Akfani sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi (Tadrîb ar-râwi, Op. Cit). Selain definisi di atas, terdapat dua versi lain dalam definisi ilmu dirayah ini. Menurut versi pertama ilmu dirayah merupakan ilmu tentang kaedah-kaedah untuk mengetahui kredibilitas para perawi dan kondisi sanad serta matan saja. Versi ini sebagaimana menurut al-Iraqi dan Ibnu Hajar. Sedangkan menurut versi kedua, ilmu dirayah hanya memahami makna dan maksud dari hadits. Versi ini sebagaimana menurut (Lihat Kasyhf azh-Zhunûn ‘an Asâmî al-Kutûb wal Funûn,Dar Ihya` at-Turâts al-Arabi, Libanon, hlm. 358).
[7] Prof. Dr. Nuruddin ‘Itr, dalam Manhaj an-Naqd ‘indal Muhadditsîn, mengklasifikan berbagai obyek kajian dalam ilmu hadits ini menjadi tujuh kelompok. Namun terdapat berbagai tema yang saling terkait terpisahkan karena klasifikasi tersebut, seperti jenis-jenis hadits dha’if yang dimasukkan dalam kajian sanad dan dipisahkan dari tema-tema tentang penelitian keotentikan hadits.
[8] Lihat al-Iraqi, Alfiyah al-Hadits, Loc. cit.
[9] Lihat as-Suyuthi, Alfiyah al-Hadits, Loc. cit.
[10] Tentang alasan dipilihnya kitab-kitab ini untuk didahulukan, Imam Sakhawi memaparkan bahwa Shahih Bukhari sangat memperhatikan istimbat hukum dibanding Muslim. Dan istimbat hukum dari hadits merupakan tujuan terbesar dalam mempelajari matan-matan hadits ini. Setelah itu tiga kitab Sunan, karena para penulisnya umumnya sangat memperhatikan unsur bersambungnya sanad. Dimulai dengan Abu Dawud mengingat ia banyak mengandung hadits-hadits hukum, kemudian Sunan Nasa`i agar pengkaji terlatih dalam meneliti ilal hadits, kemudian Sunan Tirmidzi karena ia selalu mengisyaratkan berbagai riwayat dalam tema yang sama dan menjelaskan tentang tingkat keotentikan hadits-haditsnya. (Fathul Mughis Syarh Alfiyah al-Hadits lil-Iraqi, Maktabah Sunnah, Cairo, 2003, Vol. III, hlm. 308).
[11] HR Bukhari dalam Kitab al-Îmân, bab Su`âlu Jibril an-Nabi saw. ‘an al-Îmân wal Îslâm wal-Îhsân wa ‘Ilm as-Sâ’ah, Dar Ibnu Katsir, Beirut, 1987, Vol. I, hlm. 27, hadits No. 50. Dan HR. Muslim, Kitab al-Îmân, bab Bayân al-Îmân wal Îslâm wal-Îhsân wa Wujûb al-Îmân bi Itsbât Qadarillah, Dar Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, Vol. I, hlm. 36, No. Hadits 8.
[12] HR. Abu Dawud dalam al-Ijarah, bab Fiman Isytara ‘Abdan Fasta’malahu tsumma wajada bihi ‘aiban, Dar al-Fikr, Beirut, Vol. II, hlm. 306, No. Hadits 3508. Dan HR Tirmidzi dalam Kitab al-Buyû’, Bab Fiman Isytara al-Abd wayasytghilluhu tsumma yajidu bihi ‘aiban, Dar Ihya` Turats al-Arabi, Beirut, Vol. III, hlm. 581, No. Hadits 1285. HR. Nasa`i dalam Kitab al-Buyû’, bab al-Kharâj bidh Dhamân, Maktabah al-Mathbu’ât al-Islâmiyyah, Aleppo, Vol. VII, hlm. 254, No. Hadits 4490. HR. Ibnu Majah dalam Kitab at-Tijarat, bab al-Kharâj bidh Dhamân, Dar al-Fikr, Beirut, Vol. II, hlm. 754, No. Hadits 2243.
[13] Kurang lebih maksudnya adalah keuntungan yang diperoleh seseorang dari sesuatu yang ada padanya karena adanya jaminan yang harus dia tanggung jika sesuatu tersebut rusak.
[14] Abu Bakar Al-Hazimi, al-I’tibâr fin Nâsikh wal Mansûkh fil Hadîts, Dar Ibnu Hazm, Beirut, 2001, Vol. I, hlm. 114.
[15] Mengamati metodologi pemaparan Ibnu Qutaibah terhadap hadits yang dipermasahkan dan jawabannya di dalam Ta`wîl Mukhtalifil Hadîts, nampak bahwa fenomena penolakan hadits-hadits shahih karena minimnya pengetahuan tentang mukhtalifil hadits dan muykilil hadits bukanlah hal yang baru. Sehingga permasalahan yang terus bermunculan terkait dengan masalah ini, apalagi dari pihak-pihak yang minim pengetahuan bahasa Arabnya, adalah bukan hal yang aneh.
[16] Ibnu Shalah, Muqaddimah, Dar al-Ma’arif, Cairo, Tahqiq Dr. Aisyah Bintu Syathi`, hlm. 477.
[17] Walaupun Ibnu Qutaibah menamakan kitabnya dengan satu jenis saja, yaitu Mukhtaliful Hadits, namun dalam kitabnya secara tidak langsung dia mengisyaratkan adanya perbedaan antara Mukhtalif hadits dengan musykil hadits ini. Misalnya ketika menyebutkan satu permasalahan dalam Musykilil hadits, dia akan menyebutkan terlebih dahulu kata-kata lawan, “Qalu: haditsun yukadzdzibu an-nazhar”, “Qalu: haditsun yukadzdzibu al-ayyab”, “Qalu: haditsun yukadzdzibu Alquran”, dan sebagainya. Sedangkan ketika menyebutkan permasalahan dalam Mukhtaliful Hadits, maka di akhir hadits yang secara ekplisit bertentangan dia menyebutkan kata-kata lawan, “Wa fî hadza tanâqudh wakhtilâf”, “Wahadza kulluhu mukhtalif, lâ yusybihu ba’dhuhu ba’dha”, lalu dia akan menyusulinya dengan kata-kata, “Innahu laisa fi hadza ikhtilâf” dan sebagainya.
[18] Dr. Muhammad as-Samahi, al-Manhaj al-Hadits fi Ulûm al-hadits, qism ar-riwâyah, Dar al-Ahad al-Jadid lith thiba’ah, hlm. 152.
[19] Lihat Tadrib ar-Rawi, Op. cit, hlm. 467.
[20] HR Bukhari, Kitab al-Janâ`iz, bab Man ahabba ad-dafn lailan fil ardhil muqaddasah au nahwiha, Vol. I, hlm. 449, No. Hadits 1274. HR. Muslim, Kitab al-Fadhâ`il, bab Min fadhâ`il Musa, Vol. IV, hlm. 1842, No. Hadits 2372.
[21] HR. Bukhari, Kitab al-Istisqa`, bab Raf’ul Imam yadahu fil istisqa`, Vol. I, hlm. 349, No. hadits 984. Dan HR. Muslim, Kitab Shalat al-Istisqa`, bab Raf’ul yadain bid du’a` fil istisqa`, Vol. II, hlm. 612, No. hadits 895.
[22] Lihat pembahasan ini dalam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Darul Makrifah, Beirut, 1379, Vol. II, 507 dan Vol. II, hlm. 517.
[23] Misalnya dalam contoh di atas, ketika membantah orang yang mengatakan bagaimana mungkin malaikat bisa butanya karena dipukul Nabi Musa a.s., Ibnu Qutaibah menjelaskan bahwa malaikat maut ketika itu mendatangi Nabi Musa a.s. adalah dalam rupa manusia, karena memang malaikat mempunyai kemampuan untuk menyerupai manusia. Hal ini seperti malaikat Jibril yang pernah datang menemui Rasulullah saw. dalam rupa sahabat Dihyah al-Kalbi juga dalam rupa seorang Badui. Jadi yang buta bukanlah mata asli malaikat tersebut, melainkan sekedar bentuk penyerupaan dari mata manusia. (Lihat Ta`wîl mukhtalifil hadits, Darul hadits, Cairo, 2006, hlm. 355-357).
[24] Dalam hadits tentang mengangkat doa di atas, Ibnu Hajar menyebutkan dua versi solusi bagi hadits-hadits yang mukhtalif tersebut. Versi pertama mengatakan bahwa bisa jadi Anas tidak pernah melihat Nabi saw. mengangkat di selain shalat istisqa`, namun hal itu tidak bisa menafikan bahwa para sahabat lain pernah melihat beliau melakukannya. Adapun versi kedua adalah dengan memahami hadits Anas r.a. tersebut ke dalam dua pemahaman. Pemahaman yang pertama adalah bahwa pernyataan Anas r.a. tersebut sebagai penegasan terhadap tingginya Nabi saw. mengangkat tangannya ketika istisqa` tersebut, tidak seperti dalam doa-doa lainnya. Dan pemahaman yang kedua adalah bahwa maksud Anas r.a. dia tidak pernah melihat cara mengangkat tangan di saat doa seperti ketika doa istisqa` tersebut, yaitu dengan menghadapkan telapak tangan ke bumi. Sedangkan Anas tidak pernah melihat cara mengangkat doa seperti itu, tidak seperti doa-doa lainnya yang dengan menghadapkan telapak tangan ke langit. (Lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari, op. cit, Vol. II, hlm. 517).
[25] Ibnu Shalah berkomentar tentang buku ini, “Walaupun dalam satu aspek dia cukup bagus, namun terdapat banyak kekurangan dalam beberapa aspek yang disebabkan karena ketidakpiawaiannya dalam hal-hal tersebut. Sehingga dia pun menyebutkan jawaban-jawaban yang kurang kuat, padahal terdapat jawaban lain yang lebih pas dan lebih kuat”. (Muqaddimah, Op. cit. hlm, 478.).
Komentar