Dasawarsa terakhir ini, angka pertumbuhan mahasiswa Indonesia di Mesir (yang selanjutnya akan disingkat Masisir) mengalami pertumbuhan kuantitas yang sangat signifikan. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh K. H Ma’ruf Amin ketika menyambut kunjungan kehormatan Wakil Grand Syekh (Imam Besar) Al-Azhar Kairo, Mesir, Mohammed Abdel Rahman Ad Duweiny pada hari Jumat, 21 Juni 2024. Beliau mengungkapkan “Saat ini jumlah pelajar Indonesia di Al-Azhar telah mencapai 15 Ribu orang. Tingginya angka tersebut menjadi indikator dari tingginya minat mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan study di instansi tersebut”. [1] Selain karena Universitas Al-Azhar merupakan qiblat al-Ilmi (Kiblatnya Ilmu) umat Islam, keberhasilan para alumni dalam menanamkan nilai-nilai Azhari di tanah air, dan banyaknya kuota yang mencapai kurang lebih 800 mahasiswa per tahun menjadi faktor utama dari meningkatnya angka pertumbuhan Masisir. [2] Laksana dua sisi mata uang yang saling berdampingan, tingginya angk
Dalam beberapa tahun terakhir, pembludakan keberangkatan mahasiswa-mahasiswi Indonesia ke al-Azhar mendapatkan beragam respon kurang baik dari sebagian besar pihak. Bahkan sejak viralnya podcast M. Nuruddin di Kanal Youtube Kumparan kemarin semakin menggiring opini publik Masisir bahwa akar masalah yang menjadi sebab degradasi moral dan intelektual Masisir sekarang ini adalah berlimpahnya kedatangan mahasiswa setiap tahunnya. Dengan singkatnya, seolah publik mengambil kesimpulan akhir jikalau hal ini bisa dihentikan, dengan sendirinya problematika Masisir tersebut bisa diatasi. Namun berbeda dengan kebijakan al-Azhar yang sekilas tampak melalui petinggi-petingginya, seperti halnya yang dilakukan Dukturah Nahlah al-Saidi selaku Kepala Markaz Tatwir, yang kian hari semakin sering melakukan safar ke Indonesia untuk menarik minat masyarakat Indonesia untuk belajar di al-Azhar baik sebagai mahasiswa ataupun sebagai pelajar Mahad. Tentu hal demikian tidak ada salahnya, mengingat misi al-A