Dalam beberapa tahun terakhir, pembludakan
keberangkatan mahasiswa-mahasiswi Indonesia ke al-Azhar mendapatkan beragam
respon kurang baik dari sebagian besar pihak. Bahkan sejak viralnya podcast M.
Nuruddin di Kanal Youtube Kumparan kemarin semakin menggiring opini publik
Masisir bahwa akar masalah yang menjadi sebab degradasi moral dan intelektual
Masisir sekarang ini adalah berlimpahnya kedatangan mahasiswa setiap tahunnya.
Dengan singkatnya, seolah publik mengambil kesimpulan akhir jikalau hal ini
bisa dihentikan, dengan sendirinya problematika Masisir tersebut bisa diatasi.
Namun berbeda dengan kebijakan al-Azhar yang
sekilas tampak melalui petinggi-petingginya, seperti halnya yang dilakukan Dukturah
Nahlah al-Saidi selaku Kepala Markaz Tatwir, yang kian hari semakin sering
melakukan safar ke Indonesia untuk menarik minat masyarakat Indonesia
untuk belajar di al-Azhar baik sebagai mahasiswa ataupun sebagai pelajar Mahad.
Tentu hal demikian tidak ada salahnya, mengingat misi al-Azhar dengan tagline
“sufara al-Azhar” yang bermaksud kelak ketika alumni-alumni tersebut sudah
kembali ke tanah air masing-masih dapat menjadi duta al-Azhar dalam menyebarkan
nilai-nilai Islam yang moderat, mengingat al-Azhar sendiri adalah nahkoda utama
dalam penyebaran nilai kemoderetan tersebut.
Naasnya, kemudahan yang diberikan tersebut
nampaknya sekarang dinilai sebagai bumerang terhadap lingkungan Masisir.
Sebabnya adalah_ jika mengikuti opini liar yang ada di publik_ bahwa tidak
sedikit calon mahasiswa yang diberangkatkan setiap tahunnya dinilai minus kompetensi
untuk meneruskan jenjang pendidikan di al-Azhar, dikarenakan prosedur
penyeleksian yang lagi-lagi dinilai kurang berkualitas. Sebenarnya kalo bagi
saya pribadi, tidak masalah jika kompetensi pengetahuan agama seseorang
digolongkan kurang bagus, tetapi setelah sampai di Mesir mereka mampu meng-upgrade
diri, sehingga nanti layak disebut sebagai mahasiswa. Namun yang cukup
disayangkan, pada realitanya seringkali
yang tampak justru sebaliknya.
Kemudian dari sini lantas muncul pertanyaan:
Benarkah jikalau pembludakan mahasiswa adalah akar masalah dari terdegradasinya
intelektual hingga moral Masisir sekarang ini? Ataukah ada hal lainnya yang
luput dari pandangan dan analisis kita? Oleh karena itu, saya kira pertanyaan-pertanyaan
dasar tersebut sudah cukup umum sebagai pemantik awal untuk diskusi dalam
tulisan ini.
Al-Azhar dan Hubungannya dengan Problematika
Masisir
Dalam melihat masalah yang dihadapi Masisir
sekarang ini, tentu tidak bisa dinafikan bahwa salah satu faktornya adalah
kuantitas yang cukup merepotkan, dengan angka kedatangan dan kepulangan
Mahasiswa yang tidak seimbang sehingga bermunculan problematika sosial
sebagaimana sekarang ini. Namun faktor ini bukanlah faktor satu-satunya yang
amat perlu terus diamati dan mengabaikan hal penting lainnya. Hal tersebut
adalah sesuatu yang berkaitan dengan sistem perkuliahan di al-Azhar sendiri dan
ketidaksiapan Masisir dalam menghadapi Culture Shock sistem pendidikan
yang diterapkan.
Sistem perkuliahan yang diterapkan al-Azhar
berupa “kebebasan” absensi atau tidak mengharuskan seluruh mahasiswa untuk
mengikuti perkulian nampaknya dapat menjadi pedang bermata dua bagi Masisir.
Selain mendapat positifnya bagi mahasiswa yang fokus dan menyibukkan diri dalam
bertalaqqi, di samping itu juga membawa dampak negatif kepada yang
lainnya dengan mendefiniskan “tidak wajib kuliah” sebagai suatu hal yang tidak
perlu dilaksanakan. Akibatnya, dari sekian ribu Masisir yang ada lebih tertarik
melakukan kegiatan lainnya.
Di samping dampak baiknya dengan terjadinya
keberagaman kegiatan Masisir, juga tidak terlepas dari dampak buruknya, dengan
fakta bahwa kadangkala keberagaman tersebut kemudian perlahan menghilangkan
kefokusan mahasiswa untuk tugas awal mengapa mereka harus ke Mesir? dan lambat
laun kondisi ini melahirkan opini skeptis dengan argumen: “bahwa tidak semua
orang ke sini untuk menjadi ulama”. Tentu tidak ada salahnya jika istilah ‘ulama’ yang diartikan dengan sebuah profesi
seperti pemahaman umum sekarang ini, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa opini ini dinyatakan seolah sebagai sebuah “sikap membela diri” dari
kondisi dia yang sama sekali jauh dari pemahaman agama dan ketertinggalannya
dari kultur-intelektual sebagaimana seharusnya ia sebagai seorang mahasiswa
kampus Islam, seperti menghadiri kajian-kajian Masayikh dan Muhadarah
perkuliahan.
Selanjutnya dampak tidak baik lainnya dari
kompleksitas kegiatan Masisir tersebut juga kemudian melahirkan problematika
sosial, moral dan intelektual. Sebagai sebuah fakta sosial yang terjadi pada
Masisir saat ini, kasus-kasus prilaku amoral, kegiatan-kegiatan yang tidak
mencerminkan seorang mahasiswa Islam dan perkara-perkara lainnya, kiranya salah
satu sumbernya adalah tidak adanya aturan tertulis tentang batasan sosial yang
semestinya dilakukan untuk menjaga muruah (kehormatan) al-Azhar dan nama
baik mahasiswa Indonesia. Atau dengan arti lainnya, semakin banyak interaksi
sosial yang terjadi dengan tanpa adanya norma sosial yang berlaku maka akan
mengakibatkan semakin banyaknya problematika sosial yang akan terus
bermunculan.
Kemudian dari sisi lainnya yeng menjadi salah
satu faktor permasalahan Masisir, bahwa saya kira masih banyak yang belum
terlepas dari Culture Shock sistem pendidikan di al-Azhar. Karena itu saya
cukup setuju dengan pernyataan M. Nuruddin, bahwa menjadi seorang mahasiswa di
al-Azhar itu “meniscayakan sebuah kemandirian”. Sedangkan jika melihat kepada
Masisir yang notabennya merupakan lulusan pesantren di Indonesia yang rata-rata
memiliki sistem “mengikat”, sehingga ketika dihadapkan dengan sistem di
al-Azhar, lantas sebagian besar Masisir ini mengalami fenomena seperti
disebutkan di atas.
Lantas jika menyinggung dampak dari
ketidakmandirian tersebut, maka dapat dijumpai dari Masisir yang bertahun-tahun
menghabiskan waktu di Mesir, namun tidak mengalami perekembangan dari sisi intelektual
dan lainnya. Sementara Masisir yang memiliki kesadaran penuh dan cakap dalam
manajemen waktu dan kegiatan, dengan senangnya menyibukkan diri memetik
pembelajaran dari berbagai majelis kajian hingga menelaah buku-buku murah yang
terjual di toko-toko di lingkungan al-Azhar. Oleh karena itu juga, menurut saya
dengan hadirnya rumah binaan yang kian hari jumlahnya semakin meningkat adalah
salah satu bentuk upaya untuk membantu Masisir yang memiliki kesulitan dalam
hal kemandirian belajar tersebut.
Miskonsepsi Terhadap Istilah “Pelajar dan
Mahasiswa”
Sejauh ini publik Masisir seolah hanya
terfokus kepada pembludakan kedatangan yang terjadi terhadap mahasiswa saja
tanpa menyadari soal kuantitas pelajar mahad yang semakin meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Hal itu bisa dilihat dari mulai menjamurnya
mediator-mediator untuk pelajar Mahad di Mesir, baik itu yang resmi atau
mediator-mediator bodong yang meresahkan Masisir akhir-akhir ini. Meningkatnya
kuantitas pelajar Mahad tentu tidak hanya membawa imbas positif melainkan
disertai hal-hal negatif pula. Hal inilah kemudian perlu disadari bersama bahwa
istilah “Masisir” itu walau secara verbal mengarah kepada kelompok Mahasiswa
namun pada faktanya meliputi Pelajar Mahad juga, sebab keduanya hidup
berdampingan di satu lingkungan yang sama, sehingga jika terjadi suatu masalah
dari segi intelektual dan lainnya selalu saja kata “mahasiswa” menjadi objek
kambing hitam sementara yang terjadi tidak selalu demikian.
Jika berbicara mengenai permasalahan intelektual
atau sisi keilmuan_dengan tanpa menggeneralisasi pelajar Mahad_ maka kiranya cukup
bisa dimaklumi andaikata mereka masih kurang dalam bidang intelektual, seperti
masih belajar cara membaca al-Qur’an, kurang pandai berbahasa Arab dan lainnya,
karena sebagian besar mereka masih berusia belasan tahun atau setingkat SMP di
Indonesia dan masih membutuhkan waktu lebih banyak untuk beradaptasi atas
lingkungan sekitar jika dibandingkan dengan seumuran mahasiswa.
Di samping itu, perlu diamati juga terkait
regulasi penerimaan pelajar Mahad jika dipadankan dengan penerimaan di
perkuliahan terdapat kesenjangan. Sebagai seorang yang pernah belajar di Mahad,
saya cukup memahami hal tersebut, bahwa mendaftar di Mahad dan diterima di sana
tidak sesulit dengan di perkuliahan, dengan modal keinginan untuk belajar
disertai biaya untuk pembayaran ke pihak mediator untuk mengurus hal-hal
teknis, seseorang bisa langsung terbang ke Kairo kemudian mengikuti seleksi
dengan presentase besar untuk diterima, kemudian mengikuti kelas bahasa dan
singkatnya segera masuk ke jenjang Mahad (SMP atau SMA). Sedangkan regulasi
penerimaan di perkuliahan sebagaimana diketahui_walau akhir-akhir ini dikritik
karena penurunan kualitas dari segi penyeleksian_ namun tetap saja sistem
penerimaannya tidak semudah yang terjadi terhadap pelajar Mahad sebagaimana
disebutkan di atas.
Bahkan juga mengenai mediator-mediator yang
bermasalah sejauh ini, justru banyak memakan korban dari kalangan mayoritas
calon pelajar Mahad, hal itu saya konfirmasi karena sebagian kecil yang menjadi
korban tersebut adalah teman-teman saya. Sehingga dengan sistem penerimaan yang
cukup mudah pada jenjang Mahad, tidak saja membawa akibat baik saja melainkan
juga memberikan kesempatan untuk mediator bodong tersebut untuk melakukan
aksinya, dengan mengiming-imingi orang tua calon pelajar dengan bualan-bualan
yang dibuat-buat, lantas kemudian setelah sampai di Mesir calon pelajar
tersebut dengan ringannya mereka campakkan.
Namun jika menyinggung perihal degradasi moral,
justru saya kira aktornya lebih banyak mengarah kepada mahasiswa. Selain karena
pelajar Mahad sekarang ini mayoritas tinggal di asrama_dengan otomatis terikat
aturan dan peluang melakukan tindakan amoral lebih kecil_ juga lagi-lagi dengan
kebebasan-interaksi yang dimiliki mahasiswa-mahasiswi dan bukti-bukti kasus
yang tidak terelakkan, menjadikan argumen saya ini lebih kuat bahwa dalam sisi
ini mahasiswa Indonesia di al-Azhar memiliki pekerjaan rumah untuk segera mencarikan
akar permasalahan dan solusi konkritnya.
Pada akhirnya adalah bagaimana seharusnya kita
menyikapi permasalahan ini dengan kepala dingin tanpa menyalahkan satu sama
lain karena memang hal ini adalah koreksi untuk bersama. Tidak ada maksud untuk
menyudutkan salah satu pihak tertentu, namun sebagai individu yang hidup di
tengah-tengah ruang lingkup Masisir yang serba kompleks, kiranya saya sudah
mencoba menghadirkan fakta-fakta sosial yang sekiranya diharapkan dapat
menyusun variebel-variebel permasalahan yang belum terlihat, sehingga dengannya
mempercepat akan pencarian jalan keluar untuk problematika yang dihadapi oleh
Masisir sekarang ini. Oleh karena itu, klaim kuantitas sama dengan masalah
tidak selamanya dapat dibenarkan. Karena bagaimanapun juga, sikap
mempertahankan konsep ideal dengan upaya menyeimbamgkan antara kualitas dan
kuantitas itu senantiasa patut diperjuangkan, karena melihat realitas yang
terjadi bahwa Masisir sudah terlampau jauh soal jumlah, dengan itu upaya-upaya bersama
untuk peningkatan kualitas yang dimaksud mesti terus digelorakan.
Syahril Ikhwan
Komentar