Problematika Masisir; Bolehkah Interaksi antara Masisir dan Masisirwati?
oleh
Allah telah menciptakan
manusia dengan keberagaman dalam bahasa, suku, dan warna kulit. Selain itu, Ia
juga telah membagi gender manusia menjadi dua; laki-laki dan perempuan,
sebagaimana firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ} [النساء : 1]
“Wahai umat manusia sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan menciptakan darinya
pasangannya dan melahirkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.”
[An-Nisa ayat 1].
Namun, bersamaan adanya
kedua gender sebagai wujud kebijaksanaan dari Tuhan, agama telah memberi
aturan-aturan yang berkaitan tentang hubungan keduanya demi tercapainya
keadilan dan ketenteraman. Di antara aturan tersebut ialah yang berkenaan
dengan hubungan intim di luar nikah atau yang lebih dikenal dengan zina.
Keharaman dari perbuatan tersebut sudah jelas, bahkan dalam kitab-Nya, Allah
berfirman:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلًا} [الإسراء : 32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya itu adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan.”
[Al-Isra’ ayat 32].
Ayat ini tak hanya
menunjukkan larangan untuk melakukan zina itu sendiri, namun juga menutup jalan
pada setiap perbuatan yang mengarah pada zina. Hal inilah yang menyebabkan para
ulama begitu ketat ketika berhadapan dengan berkumpulnya laki-laki dan
perempuan, karena ditakutkan akan berujung pada fitnah atau bahkan zina itu
sendiri.
Namun, sebagaimana yang
kita lihat di sekitar kita, berkumpulnya laki-laki dan perempuan di suatu
tempat adalah suatu yang wajar. Padahal, Al-Azhar sendiri sudah dicap sebagai
pusat ilmu agama serta menjadi rujukan bagi umat Islam. Bahkan, kerap kali kita
menemukan —baik secara langsung maupun tak langsung seperti di media sosial—
sepasang Masisir dan Masisirwati berduaan, baik di tempat ramai maupun sepi.
Terkadang, “kencan” mereka tak hanya di Kairo, namun sampai ke tempat-tempat di
luar Kairo.
Pergeseran budaya
tentunya menjadi salah satu faktor dalam hal ini. Contohnya, pengaruh dari
kebiasaan negara barat yang memasuki Indonesia yang membuat hal tersebut
menjadi wajar. Ya, kita tak dapat memungkiri perkembangan Eropa telah membawa
dunia pada tatanan baru, namun tak mungkin kita harus menerima segala hal dari
mereka. Bagaimanapun juga, kebiasaan yang berkembang di timur dan barat jauh
berbeda, serta tak semua hal yang datang dari barat baik untuk diserap,
terutama oleh kaum muslimin.
Selain itu, semakin
menjamurnya mahasiswa dari Indonesia yang datang ke Mesir juga memiliki peran
dalam semakin wajarnya kebiasaan-kebiasaan yang dirasa menyimpang tersebut.
Masisir datang dengan berbagai latar dan asal, yang tidak seluruhnya dapat
diterapkan di Al-Azhar. Selain itu, semakin banyaknya mahasiswa Indonesia kerap
membuat kita lupa bahwasannya kita dalam perantauan di negeri orang.
Memang tak dapat
dipungkiri berkumpulnya Masisir dan Masisirwati laki-laki dan
perempuan secara
umum kerap kali merupakan suatu hal yang tak dapat dihindari, karena
bagaimanapun juga setiap manusia merupakan makhluk sosial, yang saling
membutuhkan satu sama lain.
Ketika berorganisasi
misalnya, setiap organisasi Masisir tentunya —selain keputrian— memiliki
anggota yang di dalamnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Adanya
pengenalan dan perkumpulan diantara mereka tentunya merupakan suatu keharusan
dan tak dapat dihindari. Tidak mungkin kan, kita mengeliminasi salah satu jenis
dalam organisasi tersebut, padahal organisasi tersebut diperuntukan untuk
Masisir secara umum tanpa memandang gender? Apalagi dalam proses pembelajaran
dan diskusi, yang mana dalam diskusi ini menghasilkan suatu kemaslahatan.
Lantas muncul pertanyaan,
bagaimanakah syariat dalam menanggapi masalah ini? Serta bagaimana cara
mengatasi masalah yang timbul darinya?
Terdapat berbagai
pendapat berkenaan dengan bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam keramaian,
sebagian melarangnya kecuali bila benar-benar tak dapat dihindari, sebagian
yang lain membolehkannya dengan beberapa syarat. Sebagaimana pendapat Buya
Yahya dimana ia membolehkan hal itu bila memenuhi lima syarat :
Pertama, tertutupnya aurat. Hal ini tentunya agar selama perkumpulan itu tak
terjadi pandangan kepada yang haram, bagaimanapun juga Islam telah datang dan
menetapkan wajibnya menutup aurat demi menjaga kehormatan bagi laki-laki maupun
perempuan.
Kedua, orang-orang yang ada dalam perkumpulan itu adalah orang-orang yang
terhormat dan menjaga pandangan. Beliau menambahkan, sekalipun setiap wanita
menutup aurat namun laki-laki yang membersamai mereka itu orang mesum yang
jelalatan, maka tetap terlarang. Karena, laki-laki tersebut pasti akan selalu
mencari celah sekalipun lawan jenis menutup auratnya dengan sempurna.
Ketiga, tidak ada pembicaraan yang berbau seksual ataupun mengarah pada maksiat.
Pembicaraan ini ditakutkan membawa kepada perbuatan yang tak diinginkan serta
merendahkan martabat kedua belah pihak dengan percakapan yang tak senonoh.
Keempat, tidak berkumpul pada tempat yang memang biasa digunakan untuk melakukan
perbuatan tak senonoh, seperti tempat berzina, diskotik, dan lain sebagainya.
Kelima, tidak berdesakan antara laki-laki maupun perempuan, karena akan
menyebabkan persentuhan antara laki-laki dan perempuan, yang telah jelas
keharamannya.
Bagaimana dengan
berduaannya laki-laki dan perempuan? Bila sampai terjadi khalwat maka jelas keharamannya. Lantas, apa itu khalwat? Syekh Ali Jum’ah menjelaskan
bahwasanya khalwat adalah berduaannya
laki-laki dan perempuan di tempat pribadi, dimana di tempat itu mereka dapat
melakukan apapun tanpa sepengetahuan orang lain, hal ini diharamkan karena
potensinya sangat besar dalam mengarah pada hal yang terlarang.
Adapun bila keduanya
berada pada tempat umum, maka diperbolehkan asal tidak disertai dengan niat
yang buruk, yang akan mengarah pada perbuatan dosa. Meskipun demikian, tentunya
diperlukan kehati-hatian dalam hal ini, mengingat manusia memiliki hawa nafsu
yang akan selalu berusaha menjerumuskannya pada perbuatan yang dilarang oleh
agama.
Dari hal-hal diatas dapat
disimpulkan, bahwa bercampurnya laki-laki dan perempuan diperbolehkan bila
memenuhi syarat dan tidak membawa pada perbuatan yang diharamkan syariat.
Adapun berduaan dengan yang bukan mahram, bila sampai terjadi khalwat maka tentunya hal tersebut
diharamkan, andaipun tidak ada baiknya dihindarkan kecuali benar-benar
diharuskan.
Bagaimana dengan
banyaknya Masisir yang berduaan dengan maksud berkencan? Hal ini tentunya
sangat membahayakan reputasi Masisir di mata Al-Azhar. Maka dalam hal ini,
diperlukan sosialisasi serta sanksi yang tegas dalam permasalahan ini.
Bagaimanapun juga, diperlukan
peran dalam setiap lapisan Masisir demi mencegah semakin menjamurnya
perilaku-perilaku yang menyimpang baik dari agama maupun norma masyarakat.
Masisir dikenal memiliki akhlak dan adab yang tidak melenceng dari norma-norma
agama, maka menjaga reputasi yang baik ini merupakan kewajiban bagi kita semua.
Komentar