Seiring berjalannya waktu dan kedatangan beberapa dinasti ke Mesir untuk menguasai Mesir dan juga Al Azhar
yang ada didalamnya. Al Azhar semakin disempurnakan
menjadi sebuah lembaga pendidikan formal
pada umumnya. Shalahuddin Al Ayyubi sangat berperan dalam mengenalkan sistem perguruan tinggi di Mesir,
dimana pada akhirnya kegiatan belajar di
Masjid Al Azhar dipisahkan dengan kegiaan belajar di perguruan tinggi atau universitas. Meskipun
demikian, kegiatan belajar mengajar
masih berlangsung didalam lingkungan masjid, dengan memisahkan ruangan kelas, asrama, dan perpustakaannya
sendiri.
Perlu diketahui bahwa tujuan awal dibangunnya Al Azhar adalah menyebar luaskan mazhab Syi’ah. Namun pada akhirnya tujuan itu berubah, dan berubah menjadi pusat penyebaran
mazhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah kemudian membuka mazhab mazhab
islam lainnya.
Hingga saat ini Al Azhar masih menjalankan program belajar mengajarnya yang berfokus pada 3 unsur utama; akidah, syariat, dan akhlak. Adapun manhaj pendidikan Al Azhar sejak awalnya adalah manhaj yang memperhatikan penggunaan akal dan suara hati untuk memberikan gambaran serta pemahaman islam yang hakiki.
Kitab turats menjadi
jembatan menuju tujuan tersebut. Setidaknya
ada 3 unsur utama dalam kitab turats;
tekstual (naqliyah), rasional (‘aqliyah), dan perasaan (dzauqiyyah). Naqliyyah adalah
segala hal yang berkaitan dengan teks Al
Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Seperti
tafsir Al Quran, ilmu hadis, fikih dan usul fikih, sirah nabi, serta
ilmu akidah atau tauhid.
Kemudian yang dimaksud dengan ilmu rasional memusatkan akal manusia serta menjadikan akal sebagai sumber
ilmu juga penggambaran berbagai masalah
dan kaidah-kaidah yang berlaku. Tentunya dengan
pemikiran yang moderat, yang mengambil buah pikirannya melalui
dalil-dalil atau teori yang sesuai.
Contohnya adalah ilmu kalam, falsafah, ilmu logika (mantiq),
dan lain-lain.
Sedangkan yang terakhir, ilmu perasaan (dzauqiyyah) adalah yang
melibatkan hati yang bersih, seperti ilmu tasawuf islam, yang berfokus
untuk menjadikan manusia menghiasi
dirinya dengan hal-hal baik dan menjauhi
hal-hal yang buruk.
Dari pemaparan menhaj Al Azhar diatas, dapat kita simpulkan
secara umum bahwa Al Azhar masih
mempertahankan metode dan sumber
pembelajarannya melalui manuskrip ulama terdahulu. Maka tidak
heran, jika dunia dakwah menjadi kata
yang melekat bagi setiap alumni Al Azhar,
atau biasa disebut Azhary.
Penulis telah melakukan kegiatan wawancara kepada salah satu alumni Al Azhar yang melanjutkan jenjang pendidikannya di Indonesia. Dari wawancara tersebut, narasumber mengatakan bahwa dakwah merupakan sebuah kewajiban. Sejatinya setiap perilaku dan perbuatan seorang muslim harus bernilai baik, maka kebaikan yang ia lakukan itu merupakan dakwah itu sendiri. Selain itu juga mengajak dan mencontohkan hal yang baik juga merupakan jalan dakwah.
Berbeda dengan mahasiswa alumni universitas di Indonesia
ataupun di selain timur tengah. Tentunya
dengan metode dan standar kompetensi
lulusan yang mereka miliki masing masing sesuai jurusannya.
Kesesuaian keterampilan dan pengetahuan
yang dimiliki para lulusan perguruan tinggi
dengan kebutuhan dunia kerja sangat diharapkan, dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dengan
produktivitas tinggi untuk menjawab
tantangan persaingan global.
Kembali kepada hasil sesi wawancara terhadap narasumber yang telah disebutkan sebelumnya, narasumber
memaparkan sedikit tentang perbedaan
tentang sistem pembelajaran di Universitas Al Azhar dan di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa mahasiswa
Universitas Al Azhar terbiasa memahami
dan menghafal materi pembelajaran yang telah
disediakan, sedangkan di Indonesia lebih banyak mencari materi
sendiri, mempresentasikannya, bahkan
mencari permasalahannya sendiri. Maka
dari itu, dibutuhkan keaktifan dan akal pikiran yang kritis. Jadi
butuh pembiasaan terhadap hal tersebut.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan yang sering muncul diantara alumni Al Azhar pada umumnya, “Apakah alumni
Al Azhar hanya bisa menjadi pendakwah
atau penceramah? Apakah kita tidak memiliki peluang karir di dunia yang lain?”. Pertanyaan ini
juga penulis ajukan kepada narasumber
tersebut. Beliau mengatakan bahwa alumni Al Azhar memang harus bergelut di dunia dakwah. Namun perlu
diperhatikan bahwa esensi dakwah adalah
melakukan hal baik, sehingga bisa menjadi contoh serta teladan bagi ummat, atau bisa disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Dengan adanya konsep esensi dakwah ini, maka setiap apapun
karir yang akan dilakukan akan bernilai
baik dan dakwah. Banyak peluang karir
yang dapat dilakukan sesuai kemampuan masing masing alumni.
Banyak tokoh alumni Al Azhar di Indonesia yang bisa kita jadikan contoh dalam hal ini. Sebut saja, Habiburrahman El Shirazy. Seorang penulis yang merupakan alumni Al Azhar. beliau menyalurkan dakwahnya melalui tulisan. Kemudian kita bisa menyaksikan TGB. Zainul Majdi yang sukses dalam karir politik dan bisa berdakwah melalui dunia politik.
Tokoh diatas merupakan beberapa yang masyhur di telinga kita. Tidak menutup kemungkinan diluar sana banyak
alumni Al Azhar yang lain yang mampu
mengoptimalkan potensi dan kesempatannya untuk
berdakwah melalui profesinya.
Tulisan ini cukup mewakili dan menjawab pertanyaan yang
sering muncul tentang asumsi bahwa
alumni Al Azhar hanya bisa jadi pendakwah
atau penceramah. Terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi tingkat
akhir yang akan menyelesaikan masa
belajarnya di Universitas Al Azhar.
DAFTAR PUSTAKA:
1. kompas.com
2. Imam Akbar Syekh Ahmad Tayyib-2019-Fil Manhaj al Azhary alhokama publishing
Komentar