Gejolak
Deklarasi Klaim Ahlussunnah
Bermadzhab dalam akidah
bukan suatu yang tabu untuk dibicarakan, di sisi terdapat akidah-akidah yang
tidak sesuai dengan keyakinan Nabi dan para sahabat pada empat belas abad yang
lalu. Oleh karena itu, Imam Al-Asy’ari dan ImamAl-Maturidi menghidupkan dan mendeklarasikan
kembali keyakinan tersebut. Dengan demikian, keduanya tidak datang dengan
membawa ajaran atau paham yang baru. Sekali lagi, keduanya hanya menetapkan dan
menguatkan segala permasalahan-permasalahan akidah yang telah menjadi keyakinan
ulama salaf sebelumnya dan para sahabat nabi (Thayyib, 2021).
Pendekralarasian firqah mazhab dalam akidah tersebut
tidak lepas dari gejolak-gejolak yang ada pada masa-masa sebelumnya. Sejarah
mencatat bahwa dikalangan umat Muslim sejak abad permulaan hijriah terutama
pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib hingga sekarang ini terdapat banyak
golongan dalam masalah akidah. Hal itu adalah fakta yang tidak dapat
dipungkiri.
Rasulullah sudah
memperediksikan hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Nabi bersabda: “Dan sesungguhnya umat ini
akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 diantaranya di neraka, dan hanya satu di
dalam surga.” Semua ini tentunya
karena iradah Allah (kehendak Allah) dengan berbagai hikmah yang terkandung
di dalamnya, kendati pun kita tidak mengetahui secara pasti hikmah-hikmah itu.
Hadis Nabi akan
terpecahnya golongan menjadi 73 itu sangat masyhur dikalangan umat Muslim,
sehingga dari setiap golongan mendeklarasikan dirinya sebagai firqah al-najiyah (golongan yang
selamat), namun kunci keselamatan tersebut adalah dengan mengikuti apa yang
telah diyakini oleh jamaah, atau
akidah yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam. Tersebab, Allah telah
menjanjikan kepada Nabi bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka
mengikuti keyakinan kebanyakan dari mereka (sawad
al-a’dzam).
Terlepas dari sejarah
panjang setiap golongan dalam akidah di pentas sejarah umat Islam, terdapat
peyorasi klaim Ahlusunah wal Jamaah
yang hanya diperuntukkan kepada golongan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur al-Maturidi. Mereka berdua pada eksistensinya adalah sama, sehingga
kedua imam tersebut oleh ulama dianggap sebagai satu kesatuan, dan pembahasan
ini sangat mendalam dan akan bertendensi kepada mazhab fikih yang empat, akan
tetapi saya tidak akan mengulasnya terlalu lebar di tulisan ringan ini.
Perbedaan yang terjadi
antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah hanya dalam masalah furu’ al-‘aqidah (cabang akidah) saja, sehingga tidak menjadikan
kedua kelompok ini saling menghujat atau saling menyesatkan satu atas yang
lainnya. Untuk mengilustrasikan hal tersebut, mari ambil perihal ru’yah Nabi Muhammad saat peristiwa
Mi’raj.
Sebagian sahabat, seperti
Aisyah, Abdullah bin Mas’ud berpendapat bahwa nabi tidak dapat melihat Allah.
Sedangkan Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa nabi dapat melihat Allah dengan
mata hatinya. Perbedaan semacam inilah yang terjadi dikalangan Asy'ariyyah dan
Maturidiyyah (furu’ al-‘aqidah), dan
sama sekali tidak sampai menyentuh pangkal keyakinan (ashlu al-‘aqidah) atau akidah
sebagaimana yang telah diyakini oleh para sahabat dulu.
Pro-Kontra
Asy’ariyyah Sebagai Ahlussunnah
Tuaian pro-kontra terhadap
akidah yang diluncurkan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari[1],
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam ‘Izzuddin Ibnu Abdussalam, beliau
mengatakan bahwa sesungguhnya akidah Asy’ariyyah telah disepakati (ijma’) oleh para ulama dari kalangan
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan orang-orang terkemuka dari kalangan mazhab
Hambali.
Kesepakatan ijma’ ini memang telah dikemukakan oleh
para ulama terkemuka pada masanya, diantaranya salah satu pemuka dari kalangan
Hanafi di masanya, yaitu Imam Jalaluddin al-Hashiri, dari pemuka kalangan
Maliki di masanya, yaitu Imam Amr Ibnu al-Hajib, dari pemuka kalangan Syafi’i
di masanya, yaitu Imam Taqiyuddin al-Subki, sebagaimana hal ini dikutip oleh
putra beliau sendiri, Imam Tajuddin al-Subki. [Lihat Thabaqot as-Sufiyyah al-Kubra, J.2 H.25]
Hal demikian senada dengan
ungkapan Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tabyin
Kadzib al-Muftari menuliskan, “Tidak mungkin bagiku untuk menghitung
bintang di langit, oleh karenanya aku tidak akan mampu menyebutkan seluruh
ulama Ahlussunah di atas mazhab Asy’ari ini, dari mereka yang mendahului dan di
setiap masanya, mereka berada di pelbagai negeri dan kota, mereka menyebar di setiap
pelosok, dari wilayah Magribi (Maroko), Syam (Syiria, Lebanon, Palestina, dan
Yordania), Khurasan dan Irak”
Dengan demikian akidah yang diyakini oleh para ulama salaf
terdahulu adalah akidah yang diyakini oleh kelompok Asy’ariyyah dan
al-Maturidiyyah. Akidah Ahlussunnah ini merupakan akidah yang diyakini oleh
ratusan juta umat Islam di dunia dari berbagai penjurunya dari masa ke masa dan
antar generasi ke generasi, sehingga sangat layak untuk diklaim sebagai
mayoritas (jamaah) sebagaimana yang telah disabdakan oleh nabi.
Dalam fann ilmu fikih mereka adalah pengikut mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan orang terkemuka dalam mazhab Hanbali. Akidah Imam Abu Hasan
al-Asy’ari inilah yang diajarkan di pondok-pondok Indonesia. Tidak hanya itu,
akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluru dunia, di
Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir —lebih lagi al-Azhar yang
sangat kencang dalam menyuarakan akidah Ahlussunnah tersebut— dan negara-negara
lainnya.
Tidak dapat dipungkiri,
bahwa dari sisi positif dan pengakuan ulama kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari
masih terdapat beberapa yang kontra terhadap akidah yang diploklamirkannya. Hal
demikian mengakibatkan terjadinya tuduhan-tuduhan sesat dan bid’ah dari
beberapa ulama yang lain. Diantara orang yang menuduh sesat Imam Abu Hasan
al-Asy’ari yang bahkan menyamakannya dengan Jahm bin Shafwan (pemimpin kaum
Jahmiyah) adalah Ibnu Hazm dalam karyanya yang berjudul Milal wa al-Nihal.
Ibnu Hazm rupanya sangat
membenci Imam Abu Hasan sebagaimana yang telah ditulis oleh Imam Al-Subki dalam
Tabaqot al-Syafi’iyyah, sebagai
berikut: “Ibnu Hazm adalah orang yang nekad
dengan ucapan-ucapannya, dan sangat cepat menghukumi dengan adanya
prasangka-prasangka pada Imam Abu Hasan, sehingga ujaran sesat dan ahli bid’ah
tidak terbendung tertuju kepada Imam Abu Hasan. Padahal setelah saya amati
secara cermat, saya menemukan bahwa Ibnu Hazm adalah orang yang tidak mengenal
siapa itu Imam Abu Hasan, dan berita yang sampai kepadanya adalah berita-berita
yang tidak benar. Ia hanya mendengar perkataan pendusta dan membenarkannya.”
Disini saya hanya ingin
menyampaikan bahwa Ibnu Hazm adalah salah satu contoh dari kelompok yang kontra
terhadap Imam Abu Hasan al-Asy’ari dari sekian pendapat-pendapat yang kontra
terhadap Imam Abu Hasan. Nahasnya, sikap oposisi tersebut tidak adil dan
cenderung miskonsepsi atau misinterpretasi dari subjek yang menilai, atau salah
untuk memahami objek, bahkan dari sumber yang diterima oleh subjek tidak dapat
dipertanggung jawabkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Hazm di atas.
Dengan demikian,
tuduhan-tuduhan miring terhadap Imam Abu Hasan Asy’ari atas ketidak layakannya
sebagai Ahlussunnah tidak kuat, bahkan tidak dapat diterima dengan berbagai
data yang ada. Maka dari itu, klaim atas golongan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi sebagai Ahlusunah merupakan kebenaran dengan indikasi-indikasi
yang ada dan pengakuan serta penerapan dari ulama-ulama dari pelbagai penjuru
dunia. Wallahu a’lam.
Daftar
Pustaka
Thayyib, Ahmad. 2021 al-Qoul al-Thayyib min Kalimat wa Muhadhorah
al-Imam al-Akbar Ahmad Thayyib Dar Hukama li al-Nasyr.
Abi Nasr Abd al-Wahhab Ibn Ali Ibn
Abd al-Kafi al-Subki, Tajuddin.Tanpa Tahun Thabaqat
al-Syafi’iyyah al-Kubra Tanpa Cetak.
Asakir al-Dimasyqi, Ibnu. Tanpa Tahun
Tabyin Kadzib al-Muftari fima Nusiba ila
Imam al-Asy’ari Maktabah al-Azhar li al-Turats.
Komentar