Abu Hasan al-Asyari: Penopang Akidah Umat Islam
Dalam
menerima pengetahuan, manusia memiliki beberapa sumber pengetahuan yang membuat manusia
dari tidak tahu menjadi tahu yang dinamakan dengan mashādir marifah. Di antaranya: akal, pengalaman indrawi,
khabar sahih, dan ilham. Dari keempat
sumber ini, manusia memiliki kecenderungannya masing-masing. Di antara mereka lebih suka menggunakan logika dalam
mencari pengetahuan, ada juga yang lebih
suka menggunakan pengalaman empiris atau berdasarkan pengamatan indrawi, dll.
Begitu pun dalam menerima
ilmu keagaamaan, khususnya
ilmu akidah atau teologi. Manusia
menerima ilmu tidak jauh dari keempat sumber
yang telah disebutkan di atas. Karena adanya kecenderungan dalam menerima sumber pengetahuan
ini, para ulama merasa perlu mengajarkan ilmu akidah berdasarkan keempat sumber ini demi memenuhi kebutuhan umat Islam. Hal ini
menjadi penyebab mengapa para ulama akidah memiliki
mazhab yang beragam.
Di
antaranya adalah Imam Abu al-Hasan al-Asyari. Ulama yang harum namanya di bumi Nusantara ini sering menggunakan
logika dalam menyampaikan ilmu akidah, sehingga mampu menyelamatkan umat islam dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
Imam al-Asyari juga merupakan tokoh penting dalam perkembangan teologi Islam. Ia mencoba melakukan penelitian terhadap teologi Islam yang
berkembang di era itu. Ia melakukan
perjalanan spiritual hingga menemukan racikan pemahaman teologi Islam yang benar. Hingga saat ini, ilmu yang ia
kembangkan menjadi satu mazhab besar
dalam teologi Islam bernama Asy’ariyah yang dinikmaati oleh generasi setelahnya. Oleh karena itu, perlu bagi
umat islam mengetahui kehidupan salah satu ulama ini sebagai tanda jasa menikmati
jerih payahnya sekaligus
menganalisis terbentuknya mazhab
Asy'ariyah.
Kehidupan Imam al-Asy'ari
Beliau
memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal
bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asya'ri. Penisbatan
al-Asyari ternyata diambil dari nama buyutnya yang merupakan sahabat nabi. Abu
Hasan al-Asyari lahir di
Basrah pada tahun 260 H.
Semasa
kecilnya, ia diwasiatkan oleh ayahnya agar belajar agama kepada ulama pakar fikih di Bashrah, yakni Zakariya bin Yahya
as-Saji. Tidak hanya syekh Zakariya As-Saji,
Imam Asy’ari juga belajar
kepada ulama Bashrah
lainnya, seperti: Abu Khalifah al-Jamhi, Muhammad bin Yaqub
al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf, dan ulama Bashrah lainnya.
Dikenal dengan manhajnya yang sesuai dengan Ahlussunnah wal Jamaah,
justru Imam Asy’ari berguru ilmu
kalam kepada ayah tirinya yang merupakan pembesar Muktazilah di Basrah.
Selama puluhan tahun ia belajar
ilmu kalam kepada
ayah tirinya. Meskipun belajar kepada pembesar
Muktazilah, pola pikir Imam Asy’ari terbangun
berbalik dengan pemahaman
ayah tirinya.
Tidak hanya Muktazilah saja, kelompok yang terkenal
menyimpang pada era Abu Hasan
al-Asyari seperti Ateisme, Rafidah,
Jamhiyah dan Khawarij juga ia lawan dengan dalil yang benar. (Tabyin Kizb al-Muftari. 1928. Hal. 35)
Penyebab Pindahnya Imam Asy’ari
Selama belajar dengan ayah tirinya, Imam
Asy’ari menemukan beberapa
keanehan dalam pemahamannya,
hal ini membuat Imam Asy’ari merasa tidak nyaman untuk belajar dengan ayah tirinya. Hingga suatu saat Imam
Asy’ari memutuskan untuk
menyendiri di rumah, menghindari interaksi
kepada manusia selama 15 hari. Ia mendiagnosis kembali ilmu yang
telah dipelajari dari ayah tirinya.
Selama
15 hari di rumah, Imam Asy’ari menempuh perjalanan spiritual yang membuat mantap hatinya bahwa pemahaman
yang selama ini ia pelajari menyimpang. Selama
menyendiri di rumah, ia bertemu Rasulullah di dalam mimpinya sebanyak 3 kali. Di dalam mimpinya, Rasulullah
berpesan untuk tetap berpegang teguh kepada Al- Qur’an dan sunnah. Pada kesempatan itu pula Imam Asyari
menanyakan beberapa permasalahan
dalam ilmu akidah kepada Rasulullah. Ia menemukan banyak sekali perbedaan dengan apa yang diajari oleh
ayah tirinya. Dari sinilah ia meyakini bahwa
apa yang dibawakan oleh ayah tirinya merupakan pemahaman yang salah. (Abu al- Hasan al-Asyari.
1973. Hal. 62)
Setelah
15 hari ia menyendiri di rumah, Imam Asy’ari keluar menuju masjid dan menaiki mimbar. Ia mendeklarasikan dirinya kepada para jamaah bahwa pemahaman yang selama ini ia bangun berbanding terbalik dengan apa yang
dikehendaki oleh Rasulullah. Ia menceritakan pengalaman spiritualnya selama 15 hari kepada para jamaah.
معاشر النَّاس
إِنَّ َما تغيبت ع
ْن
ُكم ه ِذه
ا ْلمدَّة ألنى نظرت
فتكافأت عندى ا ْألَ ِدلَّة
ه ِذه
وانخلعت من ج ِميع ما كنت أعتقده
باطل على حق فاستهديت هللا تَ َعالَى فهداني الى اع ِتقَاد ما أودعته ِفي كتبي
َك َما انخلعت من ثوبي
“Wahai
manusia, selama ini aku menutup diri dari kalian hanya untuk meneliti. Dan menjadi sama bagiku beberapa dalil dan aku
tidak bisa membedakan mana yang batil dan
hak sampai aku meminta petunjuk kepada Allah. Lalu Allah memberiku hidayah berupa keyakinan kepada apa yang aku
tulis. Aku melepaskan segala seuatu yang aku
yakini selama ini (akidah yang menyimpang) seperti aku melapas baju ini”
(Tabyin Kizb al-Muftari. 1928. Hal. 39)
Kejadian ini pula yang melatarbelakangi Imam Asy'ari
menulis beberapa kitab seperti al-Luma’
fī al-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bida’ sebagai konter kepada mazhab
bid’ah dan pembelaan terhadap mazhab Ahlussunnah wal Jamaah. Selama 40 tahun lamanya ia mengikuti manhaj gurunya
berupa manhaj Muktazilah. Setelah itu ia mulai membuka
kedok sekte-sekte yang menurut ia menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.
Imam
Asy’ari wafat di usia 64 tahun di kota Baghdad pada tahun 324 H. Ia dimakamkan dekat dengan pusara Imam Ahmad
di daerah Baghdad dekat dengan perbatasan
kota Baghdad dan Basrah. Setelah wafatnya,
para ulama fikih banyak mengklaim
Imam Asyari termasuk dari golongan mazhabnya. Ulama mazhab Maliki mengklaim bahwa Imam Asy’ari
merupakan ulama bermazhab
Maliki. Sedangkan dari kalangan Syafi’i
mengklaim bahwa ia termasuk dari ulama bermazhab
Syafi’i, begitupun seterusnya.
Perbedaan Asy’ariyah dengan Muktazilah
Kedua, dalam pembahasan Af’āl al-Ibād.
Asy’ariyah meyakini bahwa semua perbuatan
hamba itu diciptakan oleh Allah, dalam artian bahwa hanya Allah lah yang mampu memberikan pengaruh
kepada hambanya. Sedangkan
menurut muktazilah bahwa
hamba memiliki kemampuan
untuk menciptakan perbuatannya sendiri.
Ketiga, dalam permaslahan ru’yatullah. Asy’ariyah menyimpulkan dari beberapa dalil Al-Qur’an, bahwa manusia
dapat melihat tuhannya
kelak di akhirat
nanti. Sedangkan kalangan Muktazilah menolak adanya ru’yatullah di
akhirat nanti. Mereka berargumen
bahwa bagaimana pun sesuatu yang dilihat pasti nampak keberadaannya menempati
suatu ruang. (Al-Qoul as-Sadid. 2021)
Karya-Karyanya
Dalam teologi islam, Imam Asy’ari
menulis banyak kitab seperti; al-Ibānah ‘an Ushūl
ad-Diyānah,
Maqālāt
Islāmiyyin,
Risālah
ila Ahl
al-Tsaghar, al-Luma’
fī al-Radd
‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bida’, Risālah al-Imān. Tidak hanya
dalam ilmu kalam,
Imam Asyari juga menulis
kitab di bidang yang variatif seperti kitab al-Mukhtazin
dalam bidang tafsir, al-Ijtihād dan al-Qiyās dalam ilmu Ushul fiqh. (Tabyin Kizb
al-Muftari. 1928. Hal.
130)
Daftar Pustaka
Maktabah as-Syamilah
Ibnu Asakair. 1928. Tabyin Kizb al-Muftari. Damaskus:
at-Taufiq.
Gharabah, Hamudah. 1973. Abu al-Hasan
al-Asyari. Kairo: Majma’ Buhuts al-Islamiyah
Abu
Daqiqah, Mahmud. 2021. Al-Qoul as-Sadid. Kairo.
Komentar