Apa itu ideal? Seperti apa sosok yang ideal? Apa kriteria seorang yang ideal? Pertanyaan di atas pasti telah banyak menjangkiti pikiran para Masisir – julukan untuk mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang ada di Mesir -. Jika berkeliling ke Yunani Kuno, ada ajaran Filsafat Plato tentang Dunia Ide. Dunia Idenya Plato itu abstrak dan utopis. Seperti itulah perspektif saya terhadap kata ‘ideal’, yaitu abstrak, juga utopis. Karena ideal itu kontradiktif dengan perspektif, yang di mana perspektif itu relatif. Karenanya, masisir memaknai kata ‘ideal’ itu berbeda-beda, sesuai dengan hasil pembacaan mereka terhadap realitas yang ada. Hal ini – perbedaan interpretasi makna ideal menurut masisir – diperkuat dengan teorinya Profesor Hamdi Zaqzuq dalam bukunya ‘Filsafat Moral’, yang berkata bahwa pikiran manusia takkan pernah terlepas dari pengaruh dua hal ; yaitu faktor genetik biologis yang ia bawa sejak lahir dan faktor milieu yang ia tempati.
Alih – alih kata ‘ideal’ itu identik dengan sifat utopis, namun ketika menyoal kata ‘ideal’, saya tidak mengamini seratus persen bahwa ideal itu hanya angan- angan belaka. Meskipun ideal itu sulit untuk dicapai, tapi masih bisa diusahakan dan diupayakan. Seperti yang dikatakan para filsuf muslim abad pertengahan bahwa tidak pernah ditemukan definisi filsafat yang jamik manik sebab filsafat itu dinamis dan fleksibel mengikuti epistemologi yang sedang ia bahas. Begitu pula kata ‘ideal’ yang tidak pernah ditemukan definisi yang komprefensif karena perbedaan interpretasi dari Masisir itu sendiri. Namun di sini akan saya paparkan definisi ‘ideal’ menurut KBBI dan ketika ideal disematkan kepada Masisir menurut hemat pribadi.
Dalam KBBI V, ideal (a) adalah sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki. Sedangkan ideal ketika disifatkan kepada Masisir, maka Masisir yang ideal - menurut hemat pribadi – adalah Masisir yang multitalent alias serba bisa di seluruh bidang yang ada. Karena mengikuti komponen–komponen penilaian yang tertuang dalam program Mawapres Ushuluddin 2022, maka saya mengklasifikasikan seluruh bidang yang mestinya dikuasai – minimal pernah dan/atau dijalani maupun ditekuni – oleh Mawapres ideal itu ada 6 bidang, yakni Akademik Kampus, Akademik non-Kampus, Sosial dan Organisasi, Prestasi dan Penghargaan, Penguasaan Kompetensi dalam RUK SEMA-FU, dan Artikel Ilmiah.
Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa ideal itu utopis. Hanya sekadar pewacanaan belaka. Sangat sulit sekali ketika harus memunculkan sosok Masisir ideal di bidang–bidang yang telah disebutkan di atas, karena pastinya Masisir akan condong terhadap salah satu (atau salah dua) bidang yang tengah ia jalani. Berangkat dari fenomena di atas, saya tawarkan solusi bagaimana caranya memunculkan peran sebagai seorang Masisir yang ideal, khususnya menjadi Mawapres (Mahasiswa berprestasi) sebagai wujud kedewasaan intelektual Masisir yang ideal.
Menurut saya, ideal itu masih bisa diupayakan dan diusahakan. Kita tidak bisa menjadi Masisir yang ideal, namun kita tetap bisa berusaha menjadi sosok yang ideal dan mengandaikan bahwa sosok itu ada. Dream big, ketika diiringi dengan usaha dan doa, maka mimpi tersebut akan tercapai, atas izin-Nya – dan izin orang dalam tentunya, haha -. Mawapres seharunya bisa menyeimbangkan dan memanajemen semua bidang di atas. Karena peran tersebutlah ia layak dianggap sebagai sosok yang ideal dan pantas dijadikan role model bagi masisir yang lain. Akan saya paparkan empat hal saja terkait bidang–bidang di atas yang mestinya diusahakan oleh Mawapres untuk dijalani secara seimbang, sebagai berikut.
Pertama, Prestasi Akademik Kuliah. Ini bersifat individual. Maksudnya, prestasi akademik kuliah ini hanya akan bermanfaat dan bisa dirasakan oleh diri pribadi masing–masing saja. Ketika prestasi seorang Masisir sudah mapan, maka ia tinggal kembangkan menjadi sesuatu hal lain. Misalkan, dari pengembangan prestasi akademik tersebut, ia bisa menelurkan karya tulis ilmiah. Juga elaborasikan apersepsi yang ia miliki selama ini menjadi pemahaman atau pengembangan baru. Pemahaman atau pengembangan baru ini dikontekstualisasikan dengan realitas yang ada saat ini, serta didukung dengan landasan teori yang relevan dengan pemahaman baru tersebut. Dan menurut saya, Mawapres yang ideal itu baiknya selain memiliki prestasi akademik kuliah yang di atas rata – rata, juga memiliki kemampuan mengelaborasikan apersepsinya supaya dikembangkan menjadi pemahaman dan pengembangan baru.
Kedua, Sosial dan Organisasi (Praktik atau Laku Sosial). Ini sifatnya sosial, bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain, dan tidak hanya untuk diri sendiri. Ada sebagian Masisir yang terjebak ke dalam polemik ‘logika formalitas pendidikan (penilaian)’. Gambarannya, Masisir yang terlalu menyibukkan diri dengan mengejar prestasi akademik kuliah sehingga ia tidak aktif ikut dan berkontribusi di dalam kegiatan sosial maupun tergabung dalam suatu organisasi. Banyak dari mereka yang mendapatkan predikat Jayyid Jiddan dan Mumtaz di prestasi akademik kuliahnya, namun sangat kurang di bidang praktik atau laku sosialnya. Lalu mereka kebingungan, harus diapakan predikat-predikat tersebut setelah didapatkan. Idealnya, ketika mereka memaknai ‘formalitas’ itu penting, maka mereka perlu mengembangkan bagaimana pengetahuan yang mereka miliki bisa diterjemahkan menjadi laku sosial. Saya tidak menafikan pendidikan itu penting, saya pun tidak mengatakan mereka – yang terlalu fokus mengejar prestasi pendidikan hingga abai pada praktik atau laku sosial - itu tidak baik. Namun alangkah lebih baiknya pengetahuan yang mereka miliki dielaborasikan menjadi praktik sosial, karena kita manusia sebagai homo sapiens yang dianggap sebagai makhluk sosial ; saling membutuhkan satu sama lain.
Ketiga, Akademik Non-Kuliah. Bisa berupa talaqqi, pembelajaran di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Mesir seperti rumah – rumah binaan, pelatihan skills yang diadakan suatu instansi, komunitas, atau platform, maupun ruang diskusi, retorika, atau berdialektika. Masisir setidaknya bisa mengikuti salah satu kegiatan akademik non-kuliah yang telah disebutkan di atas. Lebih-lebih ketika ia mengikuti ruang diskusi atau forum kajian. Kemampuan retorika dan nalar yang ia miliki bisa terlatih menjadi tajam, kritis, dan analitis ketika ia sering berdialektika. Saya tidak mengatakan bahwa kegiatan akademik non-kuliah selain kajian atau diskusi itu tidak baik, namun Mawapres yang sering berdiskusi dan berdialektika akan lebih kritis dari pada yang tidak pernah mengikuti forum diskusi. Dan menurut saya, kemampuan terpenting yang harus dimiliki dalam pendidikan di masa modern ini adalah kemampuan untuk memahamkan orang lain. Dan kemampuan tersebut salah satunya bisa didapatkan dengan cara sering ikut forum diskusi dan berdialektika.
Keempat, Artikel Ilmiah (atau Karya Tulis). Seperti yang telah dikatakan di atas. Prestasi Akademik Kuliah tidak bermanfaat untuk orang lain karena bersifat individual. Namun prestasi tersebut akan menjadi sangat bermanfaat bagi orang lain ketika seorang Masisir yang Prestasi Akademik Kuliah yang ia miliki bisa ia integrasikan dengan hasil elaborasi dari apersepsi tadi menjadi sebuah karya tulis. Apalagi karya tulis ilmiah. Menelurkan karya tulis ini bisa dilatih dengan sering menulis berbagai ragam tulisan – baik opini, esai, artikel, cerpen, dan sebagainya – secara otodidak maupun mengikuti kelas pelatihan kepenulisan. Intinya, ketika ia menulis, gagasan dan pesan tulisannya bisa mengalir dan tersampaikan kepada para pembaca.
Nah, untuk Prestasi dan Penghargaan saya rasa adalah track record yang dimiliki oleh Mawapres, sebanyak dan se-berkualitas apa award dan achievement yang telah dimiliki. Sedangkan Penguasaan Kompetensi dalam RUK SEMA-FU termasuk dalam kategori Akademik non-Kuliah, di mana Mawapres bisa mengikuti pelatihan skills berjenjang yang diadakan oleh SEMA-FU sejak tahun lalu.
Peran Mawapres yang ideal bisa termanifestasikan dalam pengambilan sikapnya yang bisa menyeimbangkan seluruh bidang di atas. Saya gunakan teori analogis di sini untuk memperkuat pernyataan di atas.
Imam Besar Syekh Al-Azhar saat ini, Syekh Ahmad Thayyib, dalam bukunya yang bertajuk ‘Turats wa Tajdid’ (Turats dan Pembaharuan), tertulis bahwa beliau tidak akan bisa melahirkan karya-karyanya yang membahas turats ketika beliau tidak berdialektika dengan wacana pembaharuan atau konteks realitas yang ada. Maka, seperti halnya Syekh Ahmad Thayyib yang bisa menyeimbangkan antara turats dan tajdid, maka seorang Mawapres yang ideal harus bisa menyeimbangkan antara Prestasi Akadeimk Kuliah dengan bidang-bidang lain, karena semuanya saling terikat satu sama lain dan bisa dielaborasikan.
Ketika saya menjadi Mawapres, saya ingin menawarkan diri saya sendiri untuk menjadi role model bagi Masisir lain, yakni dengan menyeimbangkan 4 bidang di atas, dengan cara mengelaborasikan prestasi akademik saya yang bersifat statis- individual terhadap laku sosial, akademik non-kuliah, dan artikel ilmiah yang di mana semuanya bersifat dinamis-sosial.
Sebelum penutup, perlu saya sampaikan lagi bahwa ideal itu utopis, namun masih bisa diupayakan dan diusahakan. Tidak perlu pesimis untuk menjadi sosok yang ideal. Jika tidak bisa menjadi seorang yang ideal untuk Masisir, minimal jadilah
sosok yang ideal untukmu sendiri, versimu sendiri, tanpa merugikan diri sendiri maupun orang lain di sekitarmu.
Oleh: Hamzah Assad Abdul Jabar
Komentar