Berbicara tentang “Role model” tentu istilah ini selalu identik dengan kata “teladan.” Ya, kata role model sendiri mungkin terlihat jarang digunakan secara langsung, karena pada pengaplikasiannya banyak istilah lain yang digunakan dengan makna sama seperti role model, tentunya dengan tidak keluar dari esensi makna “teladan.” Seperti agama Islam misalnya yang menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan bagi umatnya, tetapi menggunakan istilah lain dalam penyebutannyanya, yakni “Uswatun hasanah.”
Di luar dari pembahasan terkait perdebatan tentang penting atau tidaknya sosok role model, saya ingin beralih kepada penggunaan kata role model secara khusus. Banyak kelompok atau beberapa orang yang sebenaranya memiliki role model bagi pribadi mereka masing-masing, baik yang mereka sadari atau tidak. Penggunaan ini pada dasarnya mereka gunakan saat merasa ada sosok yang memang memberi pembelajaran dan teladan penting bagi mereka, tentunya dalam hal ini sosok tersebut memang memiliki beberapa sisi yang tidak jauh dengan lingkup mereka. Dalam dunia masisir misalnya, para mahasiswa Indonesia di Mesir ini biasanya memiliki sosok role model yang memang berada dalam lingkup atau jangkauan kacamata mereka. Tak jarang kita temui para mahasiswa Indonesia yang datang untuk menuntut ilmu ke Mesir ini, banyak terinspirasi oleh para senior atau bahkan teman-temannya sendiri yang juga sesama masisir.
Lalu, jika role model masisir adalah sosok yang memang ada dalam kacamata masisir itu sendiri, maka dalam hal ini tentu setiap masisir memiliki potensi untuk menjadi role model bukan? Bahkan bisa jadi dalam praktiknya, ada masisir A yang menjadi role model bagi masisir B, begitupun masisir B yang menjadi role model bagi masisir A. Hal ini adalah hal yang masuk akal, karena pada tabiatnya insan memang selalu condong dan saling meneladani kepada sosok yang sebenarnya sama dalam potensi mereka. Melihat dari para masyayikh di Mesir pun, seringkali kita menemui dua syekh yang saling memuji serta meneladani satu sama lain.
Terlepas dari dinamika role model masisir yang ‘bisa jadi’ berbeda-beda, saya ingin membahas tentang sosok role model masisir itu sendiri, apakah dipilih atau memang sudah dilahirkan? Untuk mejelaskan hal ini, saya tidak ingin menjawab secara gamblang, akan tetapi saya mencoba menjabarkan sesuai dalam praktik yang saya temui, bahwa sosok role model masisir pada dasarnya merujuk kepada keduanya; dipilih dan dilahirkan.
Dalam konteks “dipilih” role model masisir adalah sosok yang menurut saya memang sudah ditentukan oleh pribadi masisir itu sendiri, tentunya dengan kriteria yang ‘lagi-lagi’ mungkin berbeda- beda. Ada yang memilih sosok role model dengan kriteria teladan baik dalam prestasi akademiknya, atau dari sisi rajin dan gigihnya, atau bisa jadi ada yang sudah menentukan kriteria memilih calon role model masisir yang memang harus terlihat mumpuni dalam segala aspeknya. Dalam hal ini saya tidak ingin mengunggulkan kriteria mana yang patut “dipilih,” karena bukankah setiap orang memiliki hak atas pilihannya?
Kemudian dalam konteks “dilahirkan” role model masisir adalah sosok yang ‘lagi-lagi’ menurut saya pada hakikatnya memang sudah dilahirkan sebagai sosok tersebut, dengan alasan bahwa kembali kepada kriteria role model itu sendiri. Ya, segala kriteria yang melekat pada diri seorang role model memang didasari dari sifat lahiriah role model itu sendiri, yang kemudian memang dikembangkan secara praktiktanya untuk bisa dipilih sesuai dengan kaidahnya.
Adapun untuk role model masisir yang memang “dilahirkan” serta “dipilih” itu sendiri, menurut saya memang berpengaruh penting untuk keberlangsungan ijtihad serta pengamalan fastabiqul khairat dalam dunia masisir, karena untuk bisa menumbuhkan nilai baik dalam diri setiap penuntut ilmu, perlu ada hal-hal yang memberi atsar secara batin, salah satunya dengan sosok teladan bagi dirinya.
Oleh: Risa Aulia Rahmi
Komentar