Kata mahasiswa selalu identik dengan jiwa muda yang membara dan memiliki semangat paripurna. Berbagai inovasi diciptakan dan banyak peluang dimanfaatkan oleh mahasiswa sebagai sarana pengembangan diri, karakter, dan pencarian jati diri. Tak terkecuali mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dengan segudang kegiatan luar kampus yang hadir melalui berbagai organisasi dan komunitas Indonesia di Mesir, menjadi mahasiswa aktif yang juga berprestasi secara akademik seringkali menjadi sebuah hal yang mustahil.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada mahasiswa yang telah berusaha menyeimbangkan kehidupan sosial dan akademiknya. Saya sebagai salah satu yang ingin menjadi sosok tersebut dengan mengikuti program Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA-FU) 2021 ini.
Menjadi mahasiswa berprestasi di Universitas Al-Azhar, bisa berperan nyata seperti apa?
Sistem pengajaran di Universitas Al-Azhar yang berorientasi pada turats (peninggalan ulama terdahulu) yang orisinal, kerap membuat para mahasiswa (khususnya mahasiswa baru) butuh adaptasi lebih. Didukung oleh faktor tidak adanya absensi yang ketat, membuat sebagian orang terlena dengan kesibukan dunia sosialnya.
Mahasiswa Universitas Al-Azhar perlu memiliki Role Model yang dapat menunjukkan realitas menjadi mahasiswa ideal, yang tetap banyak berkarya dan berkontribusi tanpa mengurangi perhatian pada kuliah. Disinilah peran yang perlu diambil oleh para mahasiswa berprestasi. Saya sebagai salah satu pendaftar program Mawapres ini berkeinginan untuk turut mengambil peran dalam mengubah pola pikir bersama bahwa keseimbangan dalam kehidupan sosial dan akademik bukanlah suatu hal yang mustahil.
Jika saya terpilih menjadi Mawapres, saya siap meluangkan waktu untuk menghadiri atau bahkan berkecimpung dalam acara-acara yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran bahwa keseimbangan sosial dan akademik perlu diperjuangkan (yang selanjutnya akan saya sebut sebagai kesadaran kolektif). Terutama acara yang akan diselenggarakan oleh SEMA-FU kedepannya.
Teriring dengan usaha lain, saya juga siap untuk memberikan contoh berdasarkan realita, bahwa belajar adalah sebuah keharusan untuk dapat bertahan dalam hidup, bukan sebagai beban berat. Terlepas dari semua usaha dalam membangkitkan kesadaran kolektif tersebut, saya juga meyakini bahwa hadirnya para pengajar berkualitas sangatlah penting. Tidak hanya mengajarkan muqarrar (diktat kuliah) Al-Azhar secara tekstual, namun juga membuka cakrawala baru terkait buku rujukan lain yang dapat menunjang perkuliahan. Saya akan berusaha untuk menjadi pengajar dengan konteks tersebut jika dibutuhkan kedepannya.
Lalu, seberapa penting edukasi melalui media sosial untuk membangkitkan kesadaran kolektif?
Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa/i Al-Azhar juga terpecah menjadi beberapa kelompok yang sangat heterogen. Memperjuangkan kesadaran kolektif melalui jalur bimbel atau penyelenggaraan acara mungkin dapat menarik minat sekelompok orang yang sudah memiliki titik awal sadar sebesar 20% atau lebih (kelompok pertama). Mereka akan lebih mudah untuk diajak berkecimpung di dua kegiatan tersebut. Namun, adapula kelompok yang terlepas dari dunia pergerakan sosial, dan memilih untuk menjalani kehidupan yang bersifat lebih individual (kelompok kedua). Tentu untuk dapat menyadarkan mereka diperlukan bantuan media sosial yang edukatif dan informatif.
Harapan saya, Mawapres yang terpilih nanti dapat pula bekerja sama dengan senat untuk menumbuhkan kesadaran kolektif secara sistematis melalui media sosial. Tentu dengan teknis yang nantinya akan disepakati bersama.
Tantangan yang kita temukan bersama saat menjadi mahasiswa Al-Azhar (dengan segala sistem yang ada) mungkin terbilang unik dan menarik. Dengan terus meningkatkan kolaborasi, inovasi, dan kepekaan pribadi, kita akan dapat mengatasi seluruh tantangan yang ada. Semoga program Mawapres SEMA-FU ini menjadi salah satu solusi penyelesaian tantangan tersebut.
Oleh: Faramuthya Syifaussyauqiyya
Komentar