Jujur saja, saat SEMA-FU meluncurkan program Mawapres, saya mengernyitkan dahi keheranan. Masa sih sosok Masisir yang jauh-jauh dari tanah air berangkat ke Mesir dengan segala kesiapannya masih harus dicarikan teladan, apalagi dari sosok Masisir sendiri? Bukankah seharusnya sedari awal mereka telah memahami jalan yang harusnya ditempuh di Mesir?
Pun di antara persyaratan mendaftar Mawapres adalah menulis artikel dengan tema “Peranku sebagai Mawapres untuk Masisir”. Lagi-lagi saya dibuat bertanya-tanya. Haruskah saya menjadi Masisir yang berpengaruh (untuk Masisir sendiri)? Bukankah PR saya (dan Masisir umumnya) di Mesir adalah sebanyak-banyaknya menimba ilmu hingga kemudian disyiarkan kepada masyarakat di Indonesia? Sampai kemudian saya merenungkan hal tersebut, mencoba mencari titik terang hingga akhirnya saya tuangkan dalam tulisan ini.
Masih tergambar jelas di ingatan saya, bagaimana dahulu saya mentasawwurkan al-Azhar saat masih Aliyah. Sebagai anak yang tumbuh di keluarga sederhana, tidak memiliki privilese dalam hal keilmuan, sangat wajar bukan jika saya memandang al-Azhar sebagai institusi yang begitu menawan dan megah (bangunan keilmuannya), yang untuk berandai-andai bisa kuliah di sana saja butuh keberanian serta kesadaran tinggi akan kapasitas ilmu yang saya miliki? al – Azhar, kiblat keilmuan Islam yang di sana lah tempat pelajar studi keislaman seantero dunia mengejar dan menggali nilai-nilai dari peradaban Islam, tempat guru-guru saya mengarungi pemikiran-pemikiran ulama’ Ahlusunnah wal Jamaah. Serta al-Azhar, madrasah berumur hampir 1000 tahun (saat saya belum ke Mesir) yang sudah melahirkan para ulama terkemuka di dunia, bahkan ulama yang karya-karyanya saya pelajari di pesantren menimba ilmu.
Oleh karenanya, untuk mengucap namanya saja sudah cukup membuat saya gemeteran. Sehingga siapa saya berani berandai untuk belajar di sana? Saya hanyalah satu di antara jutaan manusia di dunia yang ingin hijrah menimba ilmu di Bumi Yusuf, yang dengan sepenuh hati menyadari betapa minimnya bekal pemahaman keislaman saya untuk bisa ke sana.
Bermula dari hal tersebut, saat saya lolos seleksi dan berangkat ke Mesir, saya berekspektasi. Untuk menghilangkan menghilangkan kebodohan saya, selama di Mesir mungkin hari-hari akan saya habiskan untuk hadir di kuliah. Saya akan rutin menghadiri talaqqi pelajaran apapun itu di kawasan al-Azhar. Ketika di kos-kosan, saya akan memaksimalkan waktu saya untuk mengkaji karya-karya pemikir Islam. Yang jelas, saya akan mencari dan menggali kekayaan ilmu di al-Azhar. Demikianlah ekpektasi saya.
Ternyata oh ternyata, dinamika Masisir sangat lah kompleks. Al-Azhar tetap sebagaimana ia, institusi tempat belajar formal Masisir, serta madrasah studi Islam yang seharinya bisa hampir sepuluh talaqqi digelar di masjidnya. Akan tetapi, tujuh ribuan Masisir (saat itu) di Kairo ternyata memiliki dinamikanya sendiri di luar dinamika keilmuan yang telah dibangun al-Azhar untuk para pelajarnya. Ada ruang diskusi Masisir, jurnalistik, organisasi, pelatihan keterampilan-keterampilan tertentu dll.
Saat itu saya baik-baik saja dengan hal tersebut, dan menganggapnya sebagai hal lumrah. Bahwa Masisir saat kembali ke tanah air nanti, juga membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu untuk dapat menyiarkan Islam dengan bijak dan santun. Toh masing-masing dari aspek tersebut tidak bisa dipungkiri memang memiliki faedahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi, semakin ke sini saya dibuat semakin bingung. Bahwa faktanya, dengan banyaknya aktivitas-aktivitas di luar al-Azhar semakin ke sini justru disalah artikan. Yang mestinya menjadi wasilah seolah terlihat menjadi tujuan utama yang dikejar. Belum lagi dalam urusan-urusan non-akademik selalu butuh yang namanya kaderisasi. Yang akhirnya intensitas berkecimpung di dunia non-akademik selalu berpotensi untuk terus bertambah guna menyiapkan kader-kader di setiap lini. Akibatnya, semakin menjadi hal lumrah jika ada Masisir yang intensitas kesibukan di hal non-akademik lebih banyak dari pada yang bersifat akademik atau keilmuan, terlebih dengan aktivitas di naungan al-Azhar.
Masisir dengan kompleksitas dinamikanya tersebut memiliki daya tarik sendiri untuk diperbincangkan. Yang mana kompleksitas tersebut menuai pro dan kontra di kalangan Masisir sendiri. Ada yang mengamini urgensi kompleksitas dinamika tersebut, ada pula yang mengecam hebat. Meskipun tidak banyak forum diskusi resmi atau pun riset ilmiah yang menyorot hal tersebut, persinggungan antar perspektif pro dan kontra tersebut bagi saya tetap sangat terasa di tengah atsmosfer dinamika Masisir. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Masisir yang gemar membandingkan kesibukan atau pun capain masisir satu dengan yang lain. Terutama saat nilai ujian turun.
Menyikapi hal tersebut, saya melihat bahwa macam-macam dinamika di atas tidak untuk dibandingkan secara apple to apple. Masing-masing dinamika memiliki coraknya sendiri, sehingga membincangkannya akan menghasilkan multi-perspektif. Bagi saya A, bisa jadi bagi orang lain B atau C atau D, dan seterusnya. Mengingat tiap individu Masisir memiliki latar belakang keilmuan dan sosio-kultural yang berbeda. Pun, saya kira tidak berlebihan jika saya menilai bahwa multi perspektif tersebut juga sebab perbedaan pandangan Masisir terkait bagaimana dinamika kuliah di al-Azhar sebelum mereka berangkat ke Mesir, serta perbedaan pandangan mereka terkait tujuan setiap Masisir selepas menyelesaikan studi di al-Azhar. Dari sinilah kemudian saya mendapat sedikit jawaban, mengapa Masisir membutuhkan sosok teladan dari kalangannya sendiri.
Cukup dilematis memang. Satu sisi, saya meyakini bahwa misi kerjasama al-Azhar dan Indonesia (bahkan negara-negara asing lainnya) dengan memfasilitasi belajar para pemuda- pemudinya di al-Azhar, adalah untuk mengader generasi-generasi muslim yang dapat menyiarkan spirit luhur perdamaian dan moderatisme Islam ke seluruh penjuru dunia. Sehingga aktivitas Masisir di Mesir seyogianya mengarah pada tujuan luhur tersebut, dengan tidak asal menyibukkan diri di kegiatan-kegiatan yang tidak orientatif. Akan tetapi, di sisi lain saya menemukan sosok- sosok Masisir yang ternyata berangkat ke Mesir sebab menjadi “korban keadaan”, sehingga berangkat tidak atas kesadaran tinggi mengenai misi al-Azhar tersebut. Di antaranya mereka yang berangkat atas dasar keinginan orang tua atau kiai (padahal di hati sangat menentangnya), atau bahkan mereka yang dipaksa melanjutkan ke Mesir padahal sama sekali tidak memiliki keterampilan bahasa Arab, dan mereka yang memilih Mesir sebab ijazah mereka tidak bisa digunakan untuk mendaftar Universitas di Indonesia. Sehingga bagi saya, cukup sulit untuk menyimpulkan bahwa idealnya Masisir yakni berkecimpung di dunia keilmuan.
Menyikapi hal tersebut, saya tidak ambil pusing. Dengan pandangan saya tentang al-Azhar sebagaimana di atas, sedari awal di Mesir saya membatasi diri dari kegiatan-kegiatan yang disorientasi dengan apa yang saya yakini. Adapun kegiatan-kegiatan keorganisasian yang saya ikuti hanya saya jadikan wadah menyambung silaturrahmi. Setiap akan mengambil keputusan, selain pertanyaan apa esensi dari kegiatan yang saya ikuti, saya pun selalu untuk mempertanyakan “mengapa saya perlu ikut ini dan itu? Jika memang perlu, seberapa butuh saya dengan kegiatan tersebut?” sambil menimbang-nimbang skala prioritas fokus kegiatan saya yang sedang berlangsung.
Tak luput juga, kehadiran senior-senior di sekeliling saya yang getol di dunia keilmuan memiliki andil penting dalam perjalanan intelektual saya selama di Mesir. Bagaimana saya bisa mengenal al-Azhar dan masyayikhnya, serta tahu komunitas-komunitas Masisir yang dapat menunjang belajar saya, tidak lain berkat kedermawaan mereka mengajari saya membaca dinamika di Mesir. Pun lewat mengamati gerak-gerik mereka, saya terdorong untuk selalu mengevaluasi setiap pencapaian dan terus memutar otak bergerak mengaktualisasi ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang telah saya pelajari. Di sinilah kemudian saya mengamini bahwa keberadaan senior atau Masisir yang bisa dijadikan teladan menjadi hal yang cukup penting. Untuk mengenal al-Azhar saja saya butuh arahan dari orang sekitar, apalagi di tengah masifnya dinamika Masisir yang sangat heterogen, sudah pasti keberadaan sosok teladan menjadi lebih urgen untuk jadi tolak ukur bercermin dan mengevaluasi diri.
Oleh: Feby Tanzila Nuraini
Komentar