BAB I
Pendahuluan
Sebagai agama yang telah melintasi sejarah panjang hingga terbentuk sebuah peradaban besar yang diakui eksistensinya oleh dunia, Islam tampil dalam banyak mazhab dan keberagaman perspektif. Perbedaan masa yang terpaut panjang antara penganut Islam di masa dahulu dan modern kinimemantik adanya isu kontemporerisasi Islam yang muncul dalam banyak bentuk kontestasi antara fundamentalistik, reformistik, dan modernistik. Hal ini sekaligus memberi kesan akan keluasan khazanah dan horizon Islam dalam bidang pemikiran dan dinamika keilmuannya yang terus berkelanjutan.
Di sisi lain, isu kontemporerisasi Islam tentu memiliki keterkaitan erat dengan turats. Sebagai warisan pemikiran dan manifestasi kreatifitas yang tertuang dalam manuskrip karya umat terdahulu dengan sejarah panjang dan peradabannya yang dominan, turats adalah salah satu dasar dan sebab terjadinya kontestasi kelompok pemikiran yang ada dalam isu kontemporisasi Islam. Sejak awal munculnya istilah turatsdalam ranah keilmuan Islam pada awal abad ke 20, mispersepsi dan berbagai perdebatan terhadap eksistensinya kian merebak. Berbagai wacana tajdid (pembaharuan) turats semakin gencar diperbincangkan seiring maraknya doktrin-doktrin Baratterhadap turats Islam.
Dr. Muhammad Imarah pernah berkata dalam salah satu muhadhorohnya, “Penggabungan antara turats dan modernisasi memiliki peluang yang besar untuk membentuk peradaban Islamyang jaya. Akan tetapi, keinginan Barat untuk mentajdid turatsIslam dengan cara yang mereka inginkan memicu perdebatan yang harus dicari solusinya. Umat Islam harus memiliki ketetapan pemahaman yang benar bahwa turats Islam berbeda dengan Barat, begitupula cara mentajdid turats”. Pemaparan Dr.Muhammad Imarah ini termasuk salah satu yang menggambarkan bahwa mentajdid turats bukanlah suatu hal yang terlarang, melainkan diperlukan pemahaman-pemahaman yang baik sejalan dengan keorisinalitasan turats sebagai pondasi keilmuan Islam selama ribuan tahun lamanya.
Oleh karena itu, pokok-pokok pembahasan di halaman berikutnya akan menjelaskan seputar pengertian turats, esensi, urgensi, dan legalitas tajdid terhadapnya sekaligus mengulik pengaruh yang akan didapatkan bagi perkembangan agama Islam di era modern.
BAB II
Isi
A. Pengertian Turats dan Tajdid
Secara bahasa kata turats berasal dari kata و- ر- ث yang bentuk fleksi maknanya adalah wirâts, namun terjadi penggantian huruf (ibdâl) di dalamnya maka menjadi turats, yang berarti peninggalan berupa harta pada sepeninggalnya.Secara spesifik, turats ialah sebuah harta peninggalan berbentuk pemikiran yang tertuang dalam manuskrip-manuskrip umat terdahulu. Turats terbagi menjadi dua jenis; turats muqoddas (Al-Qur’an dan Sunah) dan turats ghairu muqoddas (sebuah pemikiran manusia terkait Al-Qur’an dan Sunah, tertuang dalam bidang ilmu dan seni yang berbeda-beda).
Kata turats termaktub satu kali di dalam Al-Qur’an:
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang bathil)”
Begitu pun dalam hadis Nabi Muhammad Saw., kata turats termaktub sebanyak satu kali pula, yaitu pada hadis Abu Hurairah, dalam Mu’jam al-Ausaţ karya Thabrani:
“قصة الرجل اللذي قال للصحابة وهم فى السوق : أأنتم هنا وتراث محمد يقسم فى المساجد ؟ فذهبوا فلم يجدوا الا اناسا يتلوم القران, فرجعوا اليه يقولون :ما وجدنا تراثا, قال وهل ترك محمد الا هذا القران؟”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Kisah seorang lelaki yang berkata kepada para Sahabat di Pasar: “Apakah kalian berada disini sementara turats Muhammad Saw., dibagikan di Masjid?”, Maka para Sahabat bersegera menuju masjid dan tidak menemui sesuatu kecuali orang-orang membaca Al-Qur’an. Lelaki tadi berkata, “Bukankah Muhammad Saw., hanya meninggalkan Al-Qur’an ini?”.
Sementara tajdid (pembaharuan) merupakan penafsiran ulang atas segala aspek yang ada dalam lingkup penerjemahan turats di masa lalu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman yang merupakan kesatuan dasar dari setiap sistem pengetahuan dan intelektual. Konsep tajdid muncul sebagai hasil mekanisme berpikir yang sudah sangat sering digunakan dalam pemikiran Islam kontemporer dua abad yang lalu seiring munculnya banyak konsep terkait reformasi dan renaisans.
B. Pandangan Para Ulama Terkait Isu Tajdid Turats
Sebagai institusi pendidikan yang telah berjalan selama 1080 tahun, Al-Azhar tentunya memiliki mauqif yang jelas dalam permasalahan tajdid turats. Hal ini didasarkan pada tanggung jawab pendidikan dan dakwah Azhar untuk menyebarkan sentris pemikiran Islam yang telah berjalandengan terus memberikan pencerahan pada dunia.
Dr. Ahmad Thoyyib adalah salah satu dari sekian banyak sosok ulama Azhar yang mengambil jalan tengah dalam permasalahan tajdid turats. Beliau bukanlah pendukung golongan yang ingin mempertahankan turats secara mutlak dan bercukup diri dengannya tanpa melihat perkembangan zaman dan pengetahuan yang bersebab modernitas, meski beliau juga bukan pendukung golongan yang ingin meninggalkan turats dan menghapus eksistensi turatstersebut. Mauqif Dr. Ahmad Thoyyib ini menunjukkan bahwa ia adalah sosok penengah perdebatan antara dua golongan dengan menyuarakan pendapat wasathinya dengan lantang.
Sebagai dalil untuk memperjelas pendapatnya, Dr. AhmadThoyyib pernah berkata bahwa tajdid adalah sesuatu yang khusus dan lazim dimiliki oleh Islam, sebagaimana Rasulullah juga telah berkata,
(إِنَّ اللَّهَ يَبعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَن يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا)
“Sesungguhnya Allah telah mengutus kepada umat ini di setiap 100 tahun sekali mereka yang memperbaharui agamanya”.
Secara jelas, ini adalah dalil naqli yang menunjukkan adanya pembaharuan pada agama, dan bahwa pembaharuan adalah sunnatullah yang pasti akan terjadi.
Adapun dalil ‘aqli, Dr. Ahmad Thoyyib berkata, ”Jika kita percaya dan mengakui bahwa risalah Islam adalah risalah yang ‘am (umum) untuk seluruh manusia di muka bumi ini, dan bahwa risalah tersebut kekal dan benar di setiap zaman dan tempat yang ada, dan bahwa nash-nash telah ditetapkan untuk setiap kejadian-kejadian di dunia yang tidak terbatas, maka penting bagi kita untuk mengakui secara fardhiyyah(perorangan) bahwa tajdid adalah sebuah alat yang diperlukan untuk mengeksplorasi hukum-hukum Allah dalam setiap kejadian”.
Sebagaimana Islam yang lekat dengan kedinamisan, kebebasan berpendapat, dan keberagaman pandangan, turatsmerupakan pijakan awal dan pondasi umat dalam berdinamika dalam kehidupan. Upaya pembaharuan yang ingin dilakukan sebagai bentuk revolusi umat menuju era modern memang tidak dapat dinafikan secara keseluruhan, akan tetapi ada identitas yang tetap harus dipertahankan.
Tidak lain dengan perspektif Hasan Hanafi terkait tajdidturats, ia berkata bahwa tidak ada modernitas tanpa orisinalitas. Modernitas yang lepas dari nilai dan norma masa lalu berarti melepas identitas sendiri dan menukarnya dengan identitas yang lain. Turats merupakan sarana dan modernitas merupakan tujuan. Turats dapat dijadikan alat bantu untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai probematika yang sedang dihadapi umat Islam, dan secara bersamaan turats dapat ikut andil menghapus segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan. Turats tidak memiliki arti berharga jika dibiarkan mati dalam sejarah, namun ia akan hidup dan dapat menjadi spirit pembaharuan jika disikapi secara kritis. Dengan demikian, ia dapat menjadi sarana untuk mengubah manusia sebagai subyek pembaharuan.
Di lain sisi, seiring berjalannya intervensi yang dilakukan Barat terhadap turats dan keinginan mereka untuk mengubah turats sekaligus mentajdidnya sesuai cara mereka mentajdid turats mereka, Dr. Muhammad Imarah menjelaskan dalam salah satu seminarnya bahwa metode interaksi turats Islamdan Barat tidak sama baik dari segi keaslian juga peranannya bagi umat. Jika muslim mengamini bahwa Al-Qur’an dan sunah adalah suci dan terjaga sesuai dengan bergantinya zaman dan waktu, berbeda dengan Barat, mereka meyakini bahwa setiap teks dapat senantiasa diubah dan disesuaikanmaknanya oleh zaman. Karena itulah konsep pembaharuan teks yang terdapat dalam peradaban Barat sangat berbeda dengan yang digunakan oleh Islam. Barat melakukan pembaharuan murni berdasarkan akal manusia, sedangkan Islam memiliki banyak sisi yang dipertimbangkan dalam pembaharuan, yaitu sisi ilahi dan sisi pemikiran manusia.
C. Kesalahpahaman Golongan dalam Menyikapi Turats dan Tajdid
Sebagaimana kita bisa tetap membawa nilai Islam yang kental tapi dengan nuansa segar, sesuai, dan bisa diterima oleh generasi mendatang dengan teknologi dan informasi yang kian berkembang, tentunya proses dakwah yang seperti ini lengket dengan ajaran rasul dan para ulama dahulu. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang telah meniti sejarah peradaban panjang tentu tidak dapat dipahami secara keseluruhan jika hanya melalui tekstual nash dan sepi dari makna yang telah dibawa oleh generasi Islam pertama. Namun, di era modern kini turats sebagai harta kekayaan umat yang menjadi sebab kejayaan Islam pada masa dahulu mulai menimbulkan kesalahpahaman sebagian golongan dalam menyikapinya.
Sebagai salah satu bentuk eksis tajdid turats masa kini adalah khitob diniy. Dr. Ahmad Thoyyib menetapkan permasalahan ini di dalam kitab beliau yang berjudul «مقالات في التجديد» bahwa cukup mempunyai satu bukti yang menunjukkkan adanya benturan dalam mengatasi permasalahan pembaharuan agama, khususnya turats dan khitob diniy. Bukti tersebut ialah suara sebagian orang yang menyeru untuk menghilangkan khitob diniy secara keseluruhan dan mendetail, dan mereka melihat khitob diniyini sebagai bagian dari krisis umat, adapula yang menganggapnya sebagai krisis itu sendiri dan bukan merupakan solusi dari krisis tersebut. Sebagian orang inilah yang kemudian mencoba untuk mengubah azhar menjadi museum sejarah dikarenakan kesalahpahaman mereka terhadap eksistensi agama (dalam hal eksistensi turats dan khitob diniy).
Di sisi lainnya, ada sebagian mereka yang tidak memahami pengertian tajdid khitob diniy kecuali pemahaman bahwa khitob diniy adalah kembalinya Islam ke zaman salafussholih pada abad 3 awal. Mereka inilah yang juga membawa pemikiran itu hingga hari ini dan menerjemahkannya dalam tindakan beragama yang jumud dalam penyebaran risalah, ilmu, dan dakwah. Dalam praktiknya, mereka kemudian membatasi diri dalam memercayai salah satu mazhab saja, keyakinan tertentu saja, hingga membuat mereka hanya melihat gambar besar sebuah agama dan kemudian menafikan cara beragama orang lain.
Golongan terakhir inilah yang sering kita temui saat ini, dengan ketidakpahaman mereka akan turats Islam, khitob diniy, dan pembaharuannya membuat ada fenomena saling berdebat dan menyalahkan sesama muslim. Hal ini tidak lain tidak bukan adalah karena kesalahpahaman mereka dalam memahami tajdid dan menganggap tajdid bisa dilakukanhanya dengan cara kita kembali pada peradaban Islam pada masa lampau. Mereka inilah yang menutup diri sepenuhnya dari modernisasi, tapi justru menghadirkan pemahaman Islamyang salah ke masyarakat dan juga kesan bahwa Islam adalah agama yang ekslusif.
Mereka jugalah golongan yang sangat mengancam keunggulan agama Islam yang hanif dengan syariatnya yang bersifat pluralis dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat secara merdeka, dimana kita tidak bisa mendapatinya di dalam syariat agama lain. Sedangkan Azhar masih dan akan selalu meluaskan pembahasan keilmuan Islam tanpa membedakan antara mazhab sunni atau selain sunni, apalagi menjelek-jelekkan salah satu mazhab atau imam.
Dr. Ahmad Thoyyib juga mengisyaratkan kejadian di abad terdahulu, di mana pengikut golongan awal dari turats yang masih bersifat taqlid memiliki keinginan bahwa: Jika memungkinkan, mereka akan tetap hidup di lingkungan taqlid yang sempit dan mengikuti apa yang telah diwarisi oleh pendahulu mereka, kemudian menutup pintu rapat-rapat terhadap kemajuan peradaban dan budaya Barat. Walau pada akhirnya, keinginan mereka ini nyatanya tidak sesuai dengan tujuan beragama yang ingin mereka capai, namun mereka sudah mundur terlebih dahulu sebelum sempat menyadarkan masyarakat untuk bisa bersosialisasi dengan perubahan-perubahan global dengan cara yang bijaksana. Oleh karena itulah masyarakat menjadi terkucilkan di hadapan peradaban dan budaya Barat.
Oleh karena itulah pemahaman terhadap turats dan tajdid perlu terlebih dahulu diluruskan, bahwa tajdid yang bisa kita lakukan bukan dengan menghapus turats sama sekali ataupun memertahankan turats secara berlebihan hingga menutup mata dari modernisasi. Meski di lain sisi, jangan sampaimodernisasi yang kita gaungkan ternyata pada akhirnyamenjauhkan kita dari nilai Islam itu sendiri.
D. Legalitas Tajdid Turats
Turats sebagaimana ia adalah manuskrip peninggalan Islam dahulu, harus tetap dipertahankan demi terwujudnya peradaban Islam yang saling menyambung antar waktu, agar tidak terjadi miskonsepsi antara persepsi penganut Islam kini dan dahulu. Adapun tajdid turats adalah legal dan tetap mungkin kita laksanakan, tentunya dengan menggunakan metode yang tepat.
Berdasarkan metode yang diulas oleh Dr. Ahmad Thoyyib, bahwa tajdid turats seharusnya dilaksanakan dengan mengumpulkan dan menyatukan hal-hal yang bersifat pokok (asasi) dan tetap (konstan). Bahwa setiap 1) teks yg bersifat qoth’iy (pasti) seperti Al-Qur’an dan sunah, juga 2) ijtihad yang sesuai pedoman dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara akal maupun naql dalam aspek cabang yg bersifat dzonny (prakira) yang memungkinkan untuk berubah, keduanya berfungsi menjadi penggerak demi mengawal permasalahan dan musibah baru (di tengah umat).
Sehingga, jangan sampai proyek tajdid ini justru hadiruntuk merusak dan melemahkan hal-hal yang sebelumnya bersifat asasi dan konstan dalam dalil qoth’iy (baik secara klasik dan prinsip), bahkan sampai mengubah dan mencemarkan tujuan baik dari proyek tajdid itu sendiri (yaitu sebagai solusi dari permasalahan terkini). Lalu, kemudian disajikanlah kepada umat dengan klaim bahwa hasil dari proses tajdid tersebut adalah sebagai jalur keselamatan serta solusi dari problematika hidup mereka hari ini.
Kemudian, bagaimana sebuah proses tajdid bisa dianggap legal? Dr. Ahmad Thoyyib menjelaskan filosofinya dalam satu bab dalam buku yang berjudul «ضرورة التجديد» bahwa tajdid yang umat tunggu adalah tajdid yang: Pertama, dalam praktiknya didasari oleh Al-Qur’an dan Sunah sebagai asas utamanya, kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman yang sebenarnya kesesuaian tersebut sudah merupakan kekayaan dan khas dari turats itu sendiri.
Tajdid yang diharapkan bukanlah sebuah khitob yang bersifat syumul yang tidak menghadirkan banyak pendapat dan perspektif yang berbeda, contohnya seperti sebuah khitobyang belum pernah diketahui dalam Islam di masa manapun, saat jaya ataupun lemah. Khitob seperti ini hanya akan menghadirkan nilai baru yang tidak relevan bahkan sungguh berbeda dengan Islam, ditandai dengan tidak banyaknya ulama yang berpendapat pada khitob tersebut. Adapun khitobyang diharapkan dalam proses tajdid adalah sebuah khitobyang bersih dari pertentangan, bersih dari menafikan satu golongan, dan tidak memonopoli kebenaran suatu mazhab.
Kedua, tajdid yang dalam praktiknya menunjukkan bahwakita adalah umat yang terbuka dengan kalangan lain. Hal ini agar terjadi sebuah eksplorasi unsur-unsur yang mungkin disatukan dan memungkinkan untuk membentuk suatu kerangka budaya yang umum, di mana pemegang pemikiran Islam bisa berdamai dengan kaum liberal dan bisa bersama membahas jalan tengah terhadap permasalahan zaman. Dalam kata lain, tajdid seperti ini bertujuan untuk memecah kelompok yang taqlid dengan turats agar bisa menjadi kelompok yang lebih terbuka dan bisa menerima turatsseperti bagaimana aslinya, dan mengubah kelompok yang memerangi turats untuk memutar punggung mereka dan mulai menerima turats.
BAB III
Kesimpulan dan Penutup
Kondisi umat yang saat ini menginginkan pembaruan pada turats tidak bisa kita sepelekan begitu saja. Sebab, keinginan tersebut lahir dari ketidaktahuan juga ketidakyakinan mereka terhadap turats dan dampaknya pada peradaban Islam di saat dunia semakin berkembang pesat. Tidak semua umat Islam saat ini bisa melihat adanya pengaruh besar yang lahir dari turats seperti yang ada pada zaman salafussholih dahulu.
Mereka menganggap turats bukan lagi sebagai solusi untuk membangun peradaban dan menghindari kehancuran umat, melainkan mereka melihat bahwa turats ialah sebuah manuskrip yang bisa diperbaharui setiap saat seiring dunia yang kian modern. Ada gap yang harus diperbaiki demi tercapainya kesamaan pikiran antara kita, para pelajar agama khususnya dan juga masyarakat umum. Sekaligus, ini adalah tugas besar bagi umat untuk tetap menjadikan turats sebagai pegangan dalam berdakwah, tanpa mengesampingkan modernisasi. Karena sejatinya, Islam pada masa dahulu mencapai kejayaan justru disaat muslim menjunjung tinggi turats dan mempelajarinya.
Berbagai pandangan ulama dan kebijakan mereka dalam menyikapi isu turats dan tajdid seperti yang telah dipaparkan sebelumnya turut membuka pikiran bahwa Islam sebagai agama yang tidak stagnan adalah juga agama yang mementingkan keorisinalitasan identitas. Tajdid bukanlah sebuah hal yang sama sekali tidak bisa dilakukan, melainkan ada metode tertentu dalam prosesnya demi ketetapan ajaran Islam yang kokoh. Sehingga lambat laun, dengan tajdid yang berlandaskan metode ini, hilanglah tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama yang merupakan ritual semata.
Oleh: Faramuthya Syifaussyauqiyya
——-
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyyah
Buku Pemikiran Islam Kontemporer, 2003
كتاب ضرورة تجديد الفكر الإسلامي وأهم آلياته, إعداد أحمد زكي يماني, 2016
كتاب مقالات في التجديد بقلم أ. د أحمد الطيب
Komentar