Peran akal untuk menyingkap hal-hal yang berada di dalam lingkup agama memang sudah tidak bisa di nafikan lagi. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam tulisannya di majalah Azhar dengan judul ad-dîn wal falsafah membahas permasalahan ini. Menurutnya, salah satu dalil yang menyuruh manusia menggunakan akal dalam memahami agama adalah, dengan merenungi ayat Quran seperti (wafî anfusikum afalâ taqilûn...). berpikir tentang apa yang ada di dalam diri, struktur, kebiasaan dan sebagainya. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa sebuah upaya yang menafikan peran akal dinamakan sebuah kriminalitas.
Pandangan sederhana dari Dr. Hamdi ini, senada dengan Mahmud Abu Daqiqah dalam bukunya yang berjudul Qaul Sadid fî ilmi tauhîd yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini membahas ajaran tauhid dan ringkasan ilmu Kalam, di beberapa argumennya beliau menggunakan dalil aqli sebelum menuju dalil naqli (Quran dan Hadits). Misalnya dalam membahas kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi, Abu Daqiqah mengawali pembahasan ini dengan memaparkan dalil-dalil aqli sebelum menuju ke dalil naqli. Berikut pemaparan dari Abu Daqiqah mengenai bukti kebenaran risalah Nabi.
Dalil aqli : Sosok seorang Nabi sebelum menerima wahyu mempunyai citra yang bagus di mata masyarakat; jujur, mudah bergaul, dan Amanah. Sifat-sifat yang seperti ini ada pada diri Muhammad karena ia di tuntun langsung oleh Tuhan. Akal mana yang bisa menafikan sifat pembawa agama agung ini, jika kebenaran dan kebaikannya sudah diakui khalayak di masa itu?
Dalil Naqli : Keberadaan al-Quran dan ayat-ayat di dalamnya menegaskan kebenaran risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, bahwa para nabi dan rasul diutus langsung oleh Allah, bukan semata-mata di dapatkan dari ajang kompetensi. Begitupun dengan wahyu yang di bawa (Quran dan Hadist) segalanya bersumber dari Allah, bukan dari malaikat, dari karangan ahlu kitab, atau dari pemikiran nabi. Selain membahas mengenai kebenaran risalah para rasul, pembahasan mengenai al-Quran dan mukjizat juga diawali dengan argumen-argumen berlandaskan akal.
Lanjut ke masalah ketuhanan, Dr. Mahmud Abu Daqiqah memaparkan bagian inti dari ilmu tauhid itu sendiri, yaitu itsbat al-ilaahiyah. Beliau menegaskan bahwa dalam mengenal Allah diperlukan adanya pemahaman dalam Ilmu Mantiq (Ilmu kaidah berfikir secara benar dan teratur) dan tahdid al-mustalahat. Ilmu Mantiq sendiri meskipun diperdebatkan oleh ulama boleh tidaknya untuk dipelajari, tetapi secara tidak sadar, kita pun selaku makhluk yang berfikir mengfungsikan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sebagai seorang muslim, tentu kita tidak sebatas mengetahui sifat-sifat Allah yang berlandaskan dalil naqli tanpa mengetahui dalil 'aqli.
Syaikh Tahawi al-hanafi, pengarang kitab Aqidah at-tahaawiyah juga menggunakan metode yang sama dengan Abu daqiqah dalam hal pembuktian kalau Tuhan itu ada. Sebagai contoh, adanya dalil tawarud dan tamânu' dalam bab tauhidullah (keesaan Allah) pada kitab Qaul Sadid adalah contoh sederhana yang bisa di gunakan untuk membantah trinitas atau lebih dari dzat Tuhan. Kedua dalil ini dapat membantah segala tuduhan konyol bahwa tuhan bisa lebih dari satu.
Konsekuensi yang akan timbul dari statement tuhan yang lebih dari satu adalah, bagaimana sifat keduanya, apakah antar tuhan saling melengkapi satu sama lain, atau keduanya memiliki sifat-sifat ketuhanan yang sama? Dan pertanyaan lain, bagaimana perbuatan kedua tuhan tersebut, apakah satunya menunaikan sebagian tugas dan yang lainnya mengerjakan sisanya, atau saling mengerjakan tugas itu berbarengan? Berikut jawaban Dr. Mahmud Abu Daqiqah:
Pertama, Jika sesuatu itu berbilang, maka konsekuensi nya adalah antara keduanya mesti memiliki dua sifat dan karakteristik yang berbeda. Fungsi nya adalah untuk membedakan antara kedua Tuhan. Oleh karena itu, mesti salah satunya memiliki sifat akmal (lebih unggul dari yang lain nya), dan dialah yang bisa bergelar Tuhan. Sedangkan yang memiliki sifat naqs (kekurangan) tidak dianggap tuhan.
Kedua, Dalam menciptakan alam dan mengaturnya, jika alam sudah di ciptakan oleh Tuhan yang pertama, itu berarti kehadiran tuhan kedua adalah sesuatu kesia-siaan. Tetapi jika penciptaan alam menuntut adanya kerjasama antar dua tuhan, maka itu mustahil terjadi. Karna konteks kerjasama bermakna membutuhkan satu dengan yang lainnya. Mustahil Tuhan membutuhkan bantuan pihak lain.
Lantas, bagaimana jika satu tuhan berkehendak A akan terjadi, sementara tuhan lain berkehendak A tidak akan terjadi.
Dalam persoalan kehendak kedua tuhan, hanya terjadi dua hal, kehendak keduanya berbeda dan kehendak keduanya sama. Pertama, jika kedua tuhan memiliki kehendak yang berbeda, satunya menuntut adanya (pergerakan) suatu benda, sementara yang lain berkehendak diamnya (pergerakan) suatu benda. Maka kemungkinan yang timbul ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, kehendak kedua tuhan tersebut tercapai dan ini adalah hal yang mustahil, karena tidak bisa di logikakan secara akal. Kemungkinan kedua adalah, kehendak keduanya tidak pernah tercapai, berarti kedua tuhan lemah, dan alam tidak mungkin ada jika tuhannya lemah (tidak kuasa) dalam menciptakan. Dan ini jelas saja mustahil, karna pada kenyataan nya alam sudah diciptakan. Kemungkinan ketiga adalah Tercapai nya salah satu kehendak dari kedua tuhan. Misalnya satu tuhan menginginkan penciptaan alam semesta, dan itu tercapai. Sementara kehendak tuhan lainnya tidak tercapai, yaitu tidak menginginkan terciptanya alam. Otomatis tuhan kedua tidak bisa dianggap sebagai tuhan sebagaimana dia tidak berkuasa atas kehendak nya sendiri. Oleh karena itu kemungkinan adanya dua tuhan adalah hal yang mustahil sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran: (law kâna fîhimâ âlihatun illallâhi iafasadatâ). Abu Daqiqah menutup pembahasan keesaan Tuhan dengan dalil naqli (al-Quran).
Adapun buku jilid kedua, selain berisi mengenai ajaran Tauhid, juga berisi ringkasan ilmu Kalam. Pada beberapa pembahasan mengenai Akidah, Abu Daqiqah mengungkapkan pendapat Muktazilah, Asyairoh dan Maturidiyah (yang mewakili firqoh-firqoh ilmu Kalam).
Di pembahasan masalah perbuatan buruk, Abu Daqiqah memaparkan pendapat dua firqoh ilmu Kalam yaitu Muktazilah dan Asyairoh. Asyairoh dan Maturidiyah berpendapat dengan dalil naqli (al-Quran). Asyairoh berpegang dengan dalil: (wala yanfaukum nushî in aradtu an anshoha lakum in kânallahu yurîdu an yaghwiyakum huwa rabbukum) Q.S Hud ayat 34. Intinya, Tuhan tidak menghendaki kesesatan. Sedangkan Muktazilah berpegang pada ayat: (wa mallahu yurîdu dzulman lil alamin) Q. S Ghafir ayat 31. Maka dari itu, maklum adanya bahwa sebuah kedzaliman yang terjadi murni karena kehendak umat.
Saya mengambil kesimpulan bahwa Abu Daqiqah disini mengupayakan adanya unsur akal manusia dalam mengafirmasi kebenaran agama tauhid. Beragama yang baik bukan berarti harus menerima mentah-mentah semua doktrin agama. Akan tetapi, mengkaji ajaran agama secara matang juga merupakan ciri dari pemeluk agama yang baik. Abu Daqiqah dalam menjabarkan urusan tauhid, tidak menafikan peran akal dan teks. Menurutnya, dua instrumen (akal-teks) bisa digunakan untuk mengkaji ilmu Tauhid.
Konon, kitab ini adalah diktat Al-Azhar era 70-an, dan sekarang digunakan lagi sebagai diktat fakultas Ushuluddin tahun pertama dan kedua. Selain karena ringkasnya kitab ini dalam membahas ilmu Tauhid dan ilmu Kalam, kitab ini juga memiliki gaya bahasa yang rumit. Dengan begitu, kitab ini akan selalu relevan dikaji dari masa ke masa dari sisi manapun itu. Entah dari sisi bahasa ataupun dari isi kitab itu sendiri sebagaimana yang saya bahas diatas. Wallahu alam.
Oleh: Hayatul Rahmi
Oleh: Hayatul Rahmi
Komentar