Terik panas matahari di siang hari itu tidak menurunkan semangat para pencinta ilmu memadati Qo'ah Imam Abdul Halim Mahmud. Auditorium legendaris yang terletak di jantung kampus Fakultas Ushuluddin dengan jejeran tribun (mudarraj) yang menampung 400-an hadirin itu sejak pukul 11.00 Waktu Kairo membeludak oleh ribuan pasang mata yang datang untuk menyaksikan momen sakral sidang disertasi doktoral ulama asal Makkah Al-Mukarramah Sayid Ahmad Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasani yang diadakan Ahad 22 Juli 2018.
Tidak hanya pelajar, terlihat beberapa ulama kenamaan dari civitas akademika Universitas Al-Azhar seperti Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Muhammad Mahmud Abu Hasyim, Prof. Dr. Sa'ad Jawisy, Prof. Dr. Jamal Faruq, Prof. Dr. Abdul Fattah Abdul Ghani Al-Awwari, Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi, Dr. Usamah Mansi. Terlihat pula rombongan ber-dresscode setelan jubah putih dengan gutrah khas Saudi. Semua dengan hikmat menyimak sidang dari awal hingga akhir.
Pembimbing utama tesis Prof. Dr. Sayyid Ismail Ali membuka sidang dengan mengungkapkan kebanggaannya membimbing tesis Sayyid Ahmad. Guru besar Tafsir itu menceritakan bahwa ia menerima proposal penelitian sejak tahun 2009 setelah diestafeti dua pembimbing sebelumnya. Risalah ini pertama kali disupervisori oleh Prof. Dr. Mani' Abdul Halim Mahmud yang kala itu menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Qadarullah, beliau wafat lalu proyek penelitian itu dibimbing oleh Prof. Dr. Jum'ah Ali Abdul Qadir, kepala jurusan tafsir. "Sayyid Ahmad membawa kepada saya Risalah Doktoralnya sebanyak 20 jilid dalam sebuah koper, saya terkejut, siapa yang mampu mengedit jilid-jilid yang banyak ini?? ini tidak masuk akal. Kemudian dalam kesempatan lain, Sayyid Ahmad merangkum lagi menjadi 9 jilid. Allah....aku terkejut lagi. dan pada akhirnya, kita edit bersama higga menjadi dua jilid ini."
Setelah membaca abstraksi dengan menyampaikan ucapan terimakasih ke berbagai pihak dan menjelaskan secara garis besar tentang karya ilmiahnya tersebut, dimulailah penyidangan yang cukup menegangkan dengan dua penguji yang cukup ketat dalam bertanya.
Mulai dari penguji eksternal, Prof. Dr. Muhammad Mahmud Sarhan. Guru besar Tafsir dan Ilmu Alquran di Fakultas Dirasat Islamiyyah wal Arabiyyah Bani Suwaif itu lebih menyoroti metode takhrij dan penghukuman yang dilakukan Sayyid Ahmad terhadap riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab tafsir yang ditelitinya. Dari pertanyaan-pertanyaan tegas yang dilancarkan oleh penguji yang terlihat killer itu, dapat diketahui bahwa Sayyid Ahmad tidak main-main dalam meneliti satu riwayat, melainkan dia mempertimbangkan sanad dan matan. Ada matan yang kandungan maknanya memang rusak menyelisihi usul dan akal sehat. Ada sanad yang lemah tapi maknanya sejalan dengan syari'at. Itu semua memiliki cara penanganan khusus.
Prof. Muhammad Sarhan juga mengkritik beberapa penggunan terminologi kaum sufi yang diduga tidak ilmiah, tapi dijawab oleh Sayyid Ahmad. Sebagai penutup, dia menyampaikan tujuannya menguliti disertasi di hadapannya itu demi kebaikan ketika suatu saat dipublikasikan dan tanggung jawab sebagai seorang Azhari. Ia mengutip syair seorang Arab Badui:
ومن ذا الذي ترضي سجاياه * كفى المرء نبلا أن تعد معايبه
Selanjutnya dari penguji internal langsung diambil alih oleh kepala jurusan Tafsir saat ini, Prof. Dr. Mahmud Luthfi Jad. Diawali dengan pertanyaan tajam yang mendetail hingga kepada nominal perbandingan jumlah riwayat dakhil dan ashil. Ia juga memberikan beberapa masukan terkait kerangka pembahasan, seperti tidak tercantumnya penelitian sebelumnya, metode penelitian yang dijawab oleh Sayyid Ahmad dengan metode istiqrai-naqdiy, serta menanyakan novelti dari disertasi tersebut.
Setelah berlangsung selama sekitar 3 jam, Prof. Dr. Sayyid Ismail Ali membacakan keputusan tim penguji memberikan nilai tertinggi yaitu mumtaz ma'a martabati al-syarf (summa cumlaude).
Syekh Muhammad Mahmud Abu Hasyim menceritakan, "Ketika saya menghadiri munaqosyah kemarin, saya teringat puluhan tahun yang lalu di tempat yang sama dengan posisi duduk yang sama saya juga menghadiri sidang ayah beliau Sayyid Muhammad. Para penguji sangat menghormati dan memperlakukannya tidak seperti mahasiswa biasanya. Setelah sidang, musyrifnya Syekh Al-Khusaibi langsung yang meneraktir makan. Dengan sambutan meriah para ulama juga."
Komentar