Acap kali kajian keilmuan identik dengan karakter maskulin dari
pada feminin. Dalam sejarah filsafat misalnya, kita hampir tidak dapat
menemukan sosok filsuf besar dari kalangan kaum hawa, yang mampu memberikan
andil penting dalam perkembangan filsafat. Mungkin, hal ini bukan karena tidak
ada sosok perempuan yang berfilsafat, melainkan bentuk dari sikap dominasi kaum
Adam dalam sejarah peradaban manusia, termasuk keilmuan. Skeptisisme dunia di
masa lampau atas sisi kemanusiaan perempuan memunculkan pelbagai anggapan,
apakah perempuan hanya memilki peran dalam rumah tangga saja ? Ataukah memiliki
potensi lain untuk turut memberi andil besar dalam perkembangan sebuah
peradaban ?
Pelbagai
pernyataan kurang etis terus bermunculan, sehingga berakhir pada persepsi bahwa
perempuan tak memiliki peran sama sekali dalam perkembangan intelektual umat
manusia. Entitasnya dianggap tak memiliki hak untuk menikmati kehidupan dan
turut andil dalam membangun peradaban. Demikian stigma ini mengakar, hingga akhirnya
Islam datang mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam pelbagai aspek
kehidupan.
Peran Islam ini
tergambar dalam aktifitas Rasulullah Saw. ketika menggelar halakah keilmuan. Di
mana beliau memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk turut
berkecimpung dalam mengembangkan ilmu dan memberi porsi yang setara dengan
pria. Semisal sosok Aisyah Ra. yang patut dijadikan teladan dalam perkembangan
intelektual kaum perempuan. Sebagai seorang wanita yang super cerdas, ia juga
merupakan salah satu perawi hadis terbanyak yang pernah dimiliki Islam. Hal ini
tertuang dalam sabda Nabi yang berbunyi, “ambilah setengah pengetahuan
agamamu (Islam) dari perempuan yang wajahnya merah merona ini.”
Ekspresi Cinta Sufistik ala Rabi’ah al-'Adawiyyah
Peran perempuan
dalam mewarnai peradaban pasca kedatangan Islam pun terus berlanjut di pelbagai
bidang, tak ketinggalan dalam hal mistisisme Islam; Tasawuf. Pada tahun 105 H, lahir
sosok sufi perempuan di Basrah, yang terkenal dengan nama Rabi’ah al-'Adawiyyah.
Beliau sendiri memiliki nama lengkap Ummu al-Khair Rabi'ah binti Ismail
al-'Adawiyyah. Sosok perempuan yang kelak akan dijuluki sebagai The Mother of
the Grand Master (Ibu Para Sufi Besar) karena kezuhudannya.
Ia dilahirkan dari
keluarga yang miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga
ia dinamakan Rabi'ah yang berarti anak keempat. Sejak kecil, ia sudah dikenal
sebagai anak yang cerdas dan rajin beribadah. Namun beberapa tahun kemudian,
kedua orang tuanya meninggal dunia sehingga Rabi'ah dan ketiga saudaranya
menjadi yatim piatu.
Karena kesulitan
hidup, mereka mulai mengembara ke berbagai tempat guna menyambung hidup. Di
tengah pengembaraannya, Rabi'ah terpisah dari ketiga saudaranya hingga diculik
oleh sekelompok orang, kemudian dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham
kepada pembelinya. Hal ini menjerumuskannya pada nestapa hidup sebagai seorang
budak. Namun kelak juga akan mengantarkan menjadi salah satu sufi besar pada
masanya.
Ia merupakan
representasi sosok perempuan suci pada zamannya, bagaikan Maryam binti Imran
yang tak pernah tersentuh oleh dosa. Ia pun yang pertama kali membuat bahasa
cinta menjadi pokok kosakata rohani dan berperan besar dalam mengenalkan cinta
Allah dalam dunia tasawuf—walaupun istilah tasawuf sendiri belum dikenal pada
masanya, karena masih berupa laku; zuhud. Semua dikemas dalam sebuah konsep al-hubb
(cinta) dengan interpretasi khas tasawuf.
Dalam bait syair yang dilantunkan oleh Rabi'ah berikut merupakan
implikasi yang tepat untuk menggambarkan al-hubb (cinta) tersebut,
Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta: Cinta karena-ku
Dan cinta
karena-Mu
Cinta
karena-ku, adalah kesibukan-ku dalam mengingat-Mu
Sedangkan cinta
karena-Mu adalah karena tabir-Mu atas diriku telah engkau singkapkan, sehingga
aku melihat-Mu
Tak ada pujian
pada ini dan itu, akan tetapi bagi-Mu lah segala pujian.
Marget Smith
menilai Rabi’ah sebagai orang yang mengawali konsep al-hubb dan
memadukannya dengan pengalaman kasyfi; terbukanya hijab pada akhir
tujuan sang kekasih, oleh pecintanya. Sedangkan Schimmel, menyebut bahwa
Rabi’ah ialah wanita penyendiri dalam keterasingan suci, bagaikan sosok Maryam
tanpa dosa yang kedua dan memberikan warna mistik sejati dalam perkembangan
tasawuf.
Pada masa
hidupnya, Rabi’ah dinarasikan sebagai perempuan yang tidak menikah, meskipun
sejatinya ia bukan orang yang anti pernikahan. Kondisi ini lebih karena efek
spiritualnya yang telah menemukan hakikat dari cinta kepada Allah Swt. Dalam
pengalaman hidupnya, ada beberapa lamaran yang datang kepada dirinya dari
kalangan kaum bangsawan dan sufi, semisal Abdul Wahid bin Zayd, Muhammad bin
Sulaiman al-Hasyimi, dan dari sufi masyhur kala itu; Hasan al-Basri—meskipun
kronologi sejarah untuk Hasan al-Basri agak rancu, jika dilihat dari
perbandingan masa hidup dua tokoh tersebut. Namun semua lamaran itu ditolaknya
dengan argumentasi sufistis yang menjadikannya popular dengan konsep cinta.
Konsep al-hubb
Rabi’ah nampak lebih ideal dan berbeda dengan konsep para tokoh sufi masa primordial
sebelumnya, seperti Hasan al-Bashri dengan konsep al-Khauf; rasa takut
yang menghantarkan kepada keinginan untuk berbuat baik dan meninggalkan hal
yang dapat melalaikan diri. Rasa takut yang membawa kepada kehati-hatian serta
keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan al-hubb, memegang landasan rasa
cinta yang murni kepada sang pencipta, sehingga mendorong pada ketaatan terhadap
segala perintah-Nya juga.
Di sisi yang sama,
konsep yang dikembangkan Rabi'ah juga amat penuh dengan kehati-hatian dalam
pemurnian kecintaanya. Ia takut jika cintanya bukan cinta yang tulus, akan
tetapi karena mengharapkan surga. Hal itu terepresentasikan dalam ungkapanya:
"Ilahi, seandainya aku menyembah-Mu karena takut akan neraka,
maka beranguskanlah jiwaku di neraka jahanam. Lalu seandainya aku meyembah-Mu
karena mengharap surga, maka haramkanlah surga itu bagiku. Adapun seandainya
aku menyembah-Mu karena cinta, maka jangan haramkan aku dari keindahan-Mu yang
kekal"
Tak diragukan, konsepnya
ini menghadirkan corak baru dari sebelumnya, juga memiliki pengaruh signifikan
terhadap arah baru sufisme pada masa berikutnya. Jika ditelaah kembali, konsep
cinta Rabi’ah agak bertolak belakang dari pemahaman sufistik pada umumnya. Ia
mengarungi samudra makrifat dengan segala bentuk penyucian yang menghantarkannya
menuju Allah Swt. dengan pandangan cinta. Idenya ini menempati posisi penting
dalam perkembangan teori dan praktek tasawuf Islam. Bagi Ibnu Arabi, Rabi’ah
sudah bisa disejajarkan dengan para sufi besar setara Abdul Qodir al-Jailani
dan Abu Su’ud.
Dari sini mulailah
nampak, bagaimana Islam benar-benar mengangkat dan memperhatikan martabat
seorang perempuan, terutama dalam mengembangkan intelektualitasnya. Tasawuf
merupakan salah satu bukti nyata, bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh
manusia, laki-laki maupun perempuan. Tuhan yang maha adil, menghadirkan siapa
saja di sisi-Nya yang Dia kehendaki. Sosok perempuan dengan segala kesulitan
yang didahapi, tetap diberi kekuatan hingga mampu menitih jalan menuju rahmat
ilahi.
Komentar