Weekly Profile ke-11
Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyib
(Grand Syekh Al-Azhar Al-Syarif)
-------------------------------------------------------
Masa kecilnya beliau habiskan di kampungnya. Kemudian beliau belajar di madrasah al-Azhar, beliau menghafalkan al-Quran dan mempelajari dasar-dasar ilmu dengan metode al-Azhar.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di madrasah al-Azhar, beliau masuk ke Universitas al-Azhar fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan Filsafat hingga lulus pada tahun 1969. Beliau pun meneruskan pendidikannya di jurusan yang sama di Universitas al-Azhar hingga mendapatkan gelar Doktor pada tahun 1997.
Syekh yang Zuhud
Syekh Ahmad Thayyib adalah seorang ulama yang sangat zuhud dan mengaplikasikan norma-norma agama melalui ilmu syariat dan tasawwuf. Beliau menjadi salah satu pimpinan tarekat tasawwuf di tanah kelahirannya di daerah Luxor setelah ayahanda beliau wafat. Sisi kehidupannya yang sufi ini terbukti dengan beliau menyewa sebuah rumah di kawasan Nasr City dalam jangka waktu yang sangat panjang. Beliau hanya tinggal seorang diri lantaran keluarga beliau berada di Luxor.
Setelah beliau ditetapkan menjadi Grand Syekh Al-Azhar, pemilik rumah yang disewa oleh Syekh Thayyib, menggratiskan rumah itu untuk Syekh sembari berkata kepada beliau: “Ya Syekh, engkau sekarang menjadi Imam Besar Al-Azhar, jangankan hanya rumah sederhana ini, Anda pun berhak menunjuk sebuah villa di bilangan Tajammu’ dan saya yakin tak seorang pun yang akan menolak permintaan anda itu.”
Syekh Thayyib hanya menganggap pernyataan pemilik rumah itu sebagai lelucon, meskipun si pemilik rumah itu mengutarakannya dengan penuh sungguh-sungguh. Dan Syekh Thayyib pun tetap membayar sewa rumah itu.
Syekh yang Penyayang
Salah seorang murid Syaikh Thayyib menuturkan: “Seminggu sampai di tanah Musa ini, saya beserta rombongan teman saya yang berjumlah 23 orang mengurus administrasi agar bisa ikut tes masuk kuliah yang diadakan oleh pihak Al-Azhar pada tahun itu juga. Pihak senior kami bernegosiasi dengan pihak Al-Azhar yang bertanggung jawab atas tes tersebut.
Berjam-jam kami menunggu, hasilnya tetap sama. Kami harus menunggu satu tahun ke depan untuk bisa duduk di kampus Universitas Al-Azhar, padahal kami telah menunggu satu tahun selama di Indonesia. Cekcok ringan pun terjadi antara panitia penyelenggara tes dengan senior kami, secara kebetulan Grand Syekh Al-Azhar kala itu mengecek seluruh komponen kampus mulai sekolah persiapan, tes masuk Al-Azhar, hingga fakultas perkuliahan.
Syekh Thayyib pun bertanya: “Ada apa kok gaduh seperti ini?”
Setelah kami semua bersalaman, akhirnya senior kami dipanggil oleh Syekh Thayyib dan dipersilakan mengutaran unek-uneknya di kantor beliau.
Di Masyikhah, kantor Grand Syaikh Al-Azhar, senior kami menjelaskan bahwa kami telah menunggu pemberangkatan ke Mesir selama hampir setahun dan itu pun kami harus berangkat dengan uang sendiri dengan menambah beberapa juta lantaran melalui jalur visa on arrival. Sebagian besar kami hanyalah orang berkecukupan, juga sebagian dari kami berangkat dengan hasil menyebarkan proposal studi ke beberapa para dermawan. Kami pun tak diperbolehkan mengikuti tes masuk kuliah di Al-Azhar oleh pihak penyelenggara.
Syekh Thayyib merasa sedih mendengar keadaan kami. Beliau pun langsung menulis nota yang berisi bahwa kami diperbolehkan mengikuti tes masuk Al-Azhar saat itu juga dan kami boleh tinggal di asrama, sejak bulan itu pula kami bisa menerima uang beasiswa Al-Azhar perbulannya. Padahal kami bukan mahasiswa yang dinyatakan lulus tes ke Mesir melalui jalur beasiswa.
Jujur, mendengar berita baik itu, ibu saya langsung menangis seraya bersyukur sebab doa yang selama ini beliau panjatkan diterima oleh Allah. Ibu saya senang lantaran hidup saya di Mesir ditanggung oleh Al-Azhar dan tidak lagi harus berpeluh-peluh bekerja.
Pemimpin yang Pengertian
Beberapa tahun terakhir ini berulang-ulang tindakan provokasi dan demonstrasi digelar yang menginginkan Syekh Thayyib turun dari jabatannya. Tak ayal, demo pro dan mendukung semua langkah Syekh Thayyib pun juga diadakan untuk menandingi pihak yang kontra. Diantara pihak yang pro itu adalah para bekerja Asrama Internasional Al-Azhar yang biasa disebut Madinah Bu'ust Al-Islamiyah.
Saat ditanya mengapa mereka mendukung Syekh Thayyib, mereka menjawab dengan kompak: “Karena Syekh Thayyib pengertian dengan hidup kami. Beliau lah yang menaikkan gaji kami hingga kehidupan kami sedikit terangkat.”
Ya, memang gaji yang mereka dapat selama bekerja di Al-Azhar tidak bisa mencukupi segala kebutuhan mereka. Sampai tak jarang dari mereka yang setelah bekerja di asrama, mereka bekerja lagi menjadi sopir taksi, berjualan keliling, bekerja di toko, dll. Oleh karenanya, mereka takut bila Syekh Thayyib diturunkan, keluarga mereka kelaparan, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan.
Demikianlah sosok Grand Syaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib. Beliau adalah seorang Syekh yang tak ingin kaya dengan menjabat sebagai Grand Syekh Al-Azhar. Beliau bukanlah seorang yang gampang tertipu akan glamornya dunia. Beliau bukanlah seorang ulama yang terjebak dengan jabatan dan kenikmatan semata. Beliau bukanlah sosok yang selama ini diberitakan oleh media-media politik yang menghalalkan segala cara untuk membela dan memuluskan langkah-langkah politiknya. Beliau seorang guru yang sayang dan memperhatikan kondisi dan keadaan para muridnya. Beliau seorang pemimpin yang mengerti akan hal dan ihwal yang beliau pimpin.
Tidak aneh jika Al-Azhar begitu hebat.
Al-Azhar dikenal sebagai sebuah institusi pendidikan tertua di dunia. Eksistensinya tidak diragukan lagi. Ia bak rahim yang sangat produktif melahirkan para ulama kenamaan, sebut saja syekh Wahbah Zuhaili, Syekh Mutawalli Sya'rawi dan masih banyak lagi.
Saat ini Al-Azhar menjadi salah satu instansi pendidikan yang begitu gencar menyuarakan perdamaian dunia. Tak terhitung rasanya berapa banyak seminar-seminar yang diadakan, kunjungan-kunjungan penting ke negara-negara untuk menyebarkan risalah Al-Azhar. Hal-hal di atas tidak terlepas dari seorang yang sedang menahkodainya, yaitu Prof. Dr. Ahmad Thayyib, grand syekh Al-Azhar.
Sehingga sangat pantas jika beliau dinobatkan sebagai sosok muslim paling berpengaruh di dunia pada urutan pertama, dua tahun berturut menurut Markaz al-Islami al-Maliki li Dirasat al-Istiratijiyah, Amman, Yordania.
Beliau menduduki peringkat pertama dari 500 sosok muslim yang paling berpengaruh di dunia. Hal ini didasari atas kinerjanya dalam memangku jabatan sebagai grand syekh Al-Azhar.
Komentar